Wednesday, October 12, 2016

ANDALUSIA SEBAGAI PUSAT ILMU PENGETAHUAN ( 1 )

Ketika sains Arab merosot di bumi Islam Timur, ia berkembang maju di bumi Baratnya. Cordoba mengambil alih posisi Baghdad sebagai pusat pembelajaran, sementara Toledo dan Seville turut pula dalam usaha intelektual. Sarjana Arab Spanyol membangun di atas dasar yang telah dibangun oleh saudara seagama mereka di Irak, Suriah, Mesir, dan Pakistan. Zaman keemasan mereka berlangsung antara abad ke-11 hingga ke-12. 

-- Hitti, 1970: 112 --



Pengakuan Hitti di atas menunjukkan besarnya peranan Andalusia sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan di Eropa pada Abad Pertengahan. Kekuasaan Islam di Andalusia yang berlangsung selama hampir delapan abad mempunyai arti yang besar bagi perkembangan kegiatan keilmuan, tidak saja bagi bagi masyarakat Andalusia, tetapi juga bagi masyarakat Eropa dan dunia pada umumnya. 

Sebelum kedatangan kaum muslim, hampir tidak ada kegiatan keilmuan di Andalusia dan tidak ada tokoh yang menonjol yang bisa memberikan sumbangan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan sains. Keadaan semacam ini terus berlangsung hingga kedatangan kaum muslim pada tahun 711. Kedatangan mereka ibarat matahari yang membawa cahaya yang menerangi kegelapan yang sedang menaungi bangsa Eropa berabad-abad setelah pudarnya peradaban Yunani.

Para Ilmuwan Andalusia

Pada mulanya, kegiatan keilmuan terbatas pada bidang hukum Islam dan bahasa Arab. Kegiatan tersebut kemudian berkembang dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mulai marak di kalangan para sarjana muslim di seluruh wilayah kekhalifahan Umayyah dan kemudian Abbasiyah. Kegiatan keilmuan di Andalusia menghasilkan banyak tulisan dalam bahasa Arab yang mencakup berbagai bidang ilmu yang kita kenal sekarang, seperti ilmu keagamaan, bahasa, sejarah, sastra, geografi, kedokteran, matematika, astronomi, dan filsafat. 

Pada akhir abad ke-10, Cordoba muncul sebagai pusat intelektual di Eropa. Kota ini menjadi tujuan para penuntut ilmu dari berbagai negara. Perkembangan kegiatan keilmuan di Andalusia mencapai puncaknya pada masa pemerintahan ‘Abd ar-Rahmân III dan anaknya, al-Hakam II. Kedua khalifah ini memberikan dukungan besar kepada para ilmuwan pada waktu, seperti Ibnu Abul Rabbihi, al-Qâlî, dan az-Zubaidî. Dengan dukungan semacam itu, Andalusia mulai menelurkan sendiri pemikiran-pemikiran orisinil dari para ilmuwannya. Cordoba, Seville, dan kota-kota lain di Andalusia menjelma menjadi pusat-pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan di Eropa.

Kegiatan keilmuan di Andalusia sedikit terganggu ketika terjadi pergolakan politik di akhir abad ke-11. Huru-hara politik tersebut baru reda ketika Dinasti Murabitun dan kemudian digantikan oleh Dinasti Muwahhidun datang dari Afrika dan mempersatukan kembali Andalusia muslim. Kedua dinasti itu melanjutkan tradisi keilmuan yang telah berkembang di sana. Pada masa mereka pula muncul para intelektual dan ilmuwan muslim yang brilian.

Dalam bidang sastra, Andalusia memiliki beberapa tokoh terkenal. Di antaranya adalah Ibnu ‘Abdi Rabbihî (860–940), yang merupakan sastrawan Cordoba pertama. Ia menulis al-‘Iqd al-Farîd atau the Unique Neclace, karya sastra pertama dalam sejarah Islam. Namun, tokoh sastra yang paling menonjol adalah Ibnu Hazm (994–1064). Pada masa muda Ibnu Hazm bertugas sebagai wazir bagi ‘Abd ar-Rahmân V dan Hisyâm III. Setelah Umayyah jatuh, ia pensiun tetapi tetap menjadi penulis. Ibnu Khâlikân, seorang penulis biografi Islam yang terkenal, menyatakan bahwa Ibnu Hazm telah menghasilkan sebanyak 400 buku dalam berbagai subjek, seperti sejarah, puisi, tradisi, dan logika. Ibnu Hazm juga dikenal sebagai ahli perbandingan agama lewat karya-karyanya, seperti Al-Fishal fi al-Minal wa al-Nihal.

Sastrawan Andalusia lainnya adalah Ibnu Zaidûn (1003–1071) dan putrinya yang bernama Wallâdah. Mereka sangat masyhur pada abad ke-11. Selain mereka, juga ada Ibnu Sidah, yang mampu menyusun kamus meskipun kedua matanya buta. Tokoh sastra lainnya adalah Abû Bakr at-Turtusî atau Ibnu Abî Randazah. Ia telah mengarang sebuah ensiklopedia sastra berjudul Sîrah al-Mulûk, yang berisi cerita-cerita mengenai kehidupan di istana. Selain itu, juga ada tokoh sastra dan filologi yang bernama Badî‘ az-Zamân, al-Harirî, Abû al-‘Abbâs asy-Syarisyî dari Jerez, dan Abû Tâhir Muhammad Tamîmî as-Sarqusti al-Asytarkun dari Estercuel. Tokoh sastra lainnya adalah Yûsuf bin asy-Syeikh, asy-Syaqundî, Abû al-Walîd al-Himyarî, Ibnu Bassâm, Muhammad bin ‘Abdillâh atau Ibnu Mâlik, Abû Hayyân, Ibnu Sa‘îd al-Maghribî, Lisân ad-Dîn bin al-Khatîb, dan Ibnu Zamrah. 

Kegiatan intelektual juga terjadi di bidang filsafat meskipun sempat mendapat sambutan yang kurang hangat. Ilmu ini telah berkembang pada abad ke-10. Orang yang bertanggung jawab memperkenalkan filsafat di Andalusia adalah Ibnu Masarrah (883–931). Di antara karya-karyanya adalah Kitab at-Tabsirah, yang berisi dasar-dasar pemikiran filsafat. Tokoh filsafat Andalusia lainnya adalah Abû al-Walîd Sulaimân bin Khalaf, Abû Bakr at-Turtusî, Ibnu ‘Ârif, Ibnu ‘Arabî, Ibnu Sab’in, serta seorang keturunan Yahudi yang bernama Sulaimân bin Yahyâ bin Jabirul.

Di samping mereka, terdapat empat tokoh filsafat dari Andalusia yang paling terkenal. Mereka adalah Ibnu Bâjah Muhammad bin Yahyâ atau Avempace dalam istilah barat, Ibnu Tufail Abû Bakr Muhammad bin Mâlik bin Tufail atau Bubacaris, Ibnu Rusyd Abû al-Walîd atau Averroes, dan Ibnu Maimûn atau Maimonides.

Bidang Astronomi juga memunculkan sejumlah astronom terkenal. Di antaranya adalah Ahmad bin Nasr dan Abû Qâsim Maslamah al-Majritî dari Cordoba. Al-Majritî berusaha menyelidiki jadwal astronomi yang dibuat oleh al-Khawarizmî dan menyesuaikannya dengan kebutuhan orang Islam. Ia juga dikenal sebagai al-Hâsib karena kepakarannya dalam matematika. Tokoh astronomi lainnya adalah Abû Ishâq Ibrâhîm bin Yahyâ az-Zarqalî (1029–1087) dari Toledo. Az-Zarqalî telah membetulkan ukuran panjang laut Mediterania yang dibuat oleh al-Khawarizmî. Ia adalah orang pertama yang mengetahui kedudukan matahari dengan membuat rujukan kepada bintang yang kemudian diakui oleh Copernicus dalam tulisannya.

Dalam bidang sufisme atau tasawuf, Andalusia terkenal lewat nama Muhyiddîn bin ‘Arabî (1165–1240). Ia lahir di Murcia pada tahun 1165 dan menetap di Seville. Setelah menunaikan haji di Makkah pada tahun 1202, ia mengembara ke Iraq, Suriah, Asia Kecil, dan akhirnya menetap di Damaskus dan meninggal dunia di kota ini pada tahun 1240. Ibnu ‘Arabî banyak dipengaruhi oleh mistik Abad Pertengahan dari Eropa dan Timur Tengah.

Ilmu keagamaan juga berkembang pesat di Andalusia. Sepanjang 800 tahun pemerintahan Islam di Semenanjung Iberia ini, banyak bermunculan para pakar tafsir, hadits, fikih, tasawuf, dan ilmu-ilmu agama lainnya. Khalifah ‘Abd ar-Rahmân III dan putranya, al-Hakam II, yang memerintah pada abad ke-10 M adalah penguasa yang bertanggung jawab atas perkembangan ilmu pengetahuan di kawasan ini. Mereka mendirikan sekolah-sekolah agama dan mendatangkan para ulama dari Timur untuk mengajar di Andalusia. 

Usaha mereka ini diteruskan oleh para penguasa muslim sesudah mereka. Pada masa inilah munculnya ulama-ulama terkemuka di Andalusia, khususnya pada abad ke-11 dan 12. Mereka antara lain Ibnu Hazm (994–1064), dengan karyanya yang bertajuk al-Ihkâm fî Usûl al-Ahkâm, Risâlah fî Usûl al-Fiqh, al-Fasl fî al-Milal wa an-Nihal wa Ahwâ’, dan al-Muhallâ; Ibnu ‘Abd al-Barr (978–1070 M), dengan karyanya al-Istî‘âb fî Ma‘rifat al-Ashâb; dan al-Humaydî. 

Ulama lain yang terkenal pada abad ke-12 adalah Qâdî al-‘Iyâd. Ia seorang pakar dalam hadits, fikih, dan sejarah. Ia menghasilkan sekurang-kurangnya 20 kitab yang berhubungan dengan ilmu-ilmu tersebut. Ia seorang penganut mazhab Mâlikî dan pernah bertugas sebagai penasihat Dinasti Murabitun.

Di bidang sains, di antara ilmuwan muslim yang terkenal adalah Jâbir bin Hayyân atau Geber menurut lidah Barat. Ia seorang pakar ilmu kimia. Ia banyak membuat kaidah proses kimia dan berhasil menemukan asid sulfurik, asid nitrik, dan asid nitro muriatik. Selain Geber, tokoh kimia lainnya adalah ‘Abbâs bin Firnas, yang berhasil menemukan teknik membuat kaca dari kristal, melakukan percobaan untuk menghasilkan guruh dan kilat rekaan di laboratorium, dan juga orang pertama yang membuat percobaan terbang dengan menggunakan sayap.

Selain di bidang kimia, sarjana muslim juga mengembangkan ilmu botani. Di antara ahli botani Andalusia pada pertengahan terakhir abad ke-11 adalah Ibnu Bassal, Ibnu al-Wafid, at-Tighnarî, al-Gharnatî, Abû ‘Umar Ahmad bin Hajjâj, dan Abû Khair al-Isybilî. Mereka begitu serius mengkaji alam tumbuh-tumbuhan dan hubungannya dengan pengobatan sehingga berhasil menyusun berbagai karya yang berhubungan dengan tumbuh-tumbuhan. At-Tighnarî menghasilkan karya berjudul Zahar al-Bustân wa Nuzhat al-Adhân yang terdiri 12 bagian dan 360 bab. Salinan kitab ini dalam bentuk manuskrip masih tersimpan di perpustakaan di Granada, Rabat, dan Tetuan. Ibnu Bassal menghasilkan karya berjudul al-Qasd wa al-Bayân, sementara Ibnu Hajjâj menyusun al-Muqna.

Di bidang kedokteran, Andalusia juga menyumbangkan putra-putra terbaiknya. Mereka bisa dikatakan melebihi pencapaian ahli kedokteran dari dunia Islam Timur. Mereka bukan saja melakukan berbagai eksperimen yang sulit, tetapi juga menghasilkan karya-karya di bidang kedokteran sesuai dengan spesialisasi mereka masing-masing.

Di antara tokoh kedokteran muslim Andalusia adalah Gharib bin Sa‘îd dan Yahyâ bin Ishâq, yang hidup pada masa pemerintahan Khalifah ‘Abd ar-Rahmân III. Selain mereka ada Abû Dâwud Sulaimân bin Juljul, yang bertugas sebagai dokter pribadi Khalifah Hisyâm II. Tokoh kedokteran lainnya adalah ‘Abd ar-Rahmân Ishâq bin Haitsam (dokter pribadi Hâjib al-Mansûr) dan Abû Qâsim Khalaf bin ‘Abbâs az-Zahrawî atau Abulcasis (dokter pribadi Khalifah al-Hakam II). Abû Qâsim terkenal sebagai pakar kedokteran di Timur dan Barat. Ia menyusun ensiklopedia pengobatan yang terdiri dari 30 bagian utama. Karyanya ini telah menjadi buku teks penting bagi ilmu bedah di Eropa pada Abad Pertengahan. Tokoh kedokteran lainnya adalah Ibnu Zuhr, dengan karya berjudul Kitab at-Taisîr. Filsuf dan ulama Ibnu Rusyd juga mempunyai 16 karya di bidang kedokteran dan farmasi. Di antara karya-karyanya adalah al-Kulliyah fî at-Tibb. Tokoh-tokoh kedokteran Andalusia lainnya adalah Ibnu al-Khâtimah, Ibnu al-Khatîb, Ibnu al-‘Usfûr, Ibnu Mâlik, Ibnu Sanigh, dan Ibnu Idrîs al-Faranî.

Kehadiran para dokter dan ahli pengobatan ini sekaligus menggalakkan pertumbuhan rumah sakit umum dan khusus di Andalusia. Setidaknya terdapat 40 rumah sakit di Cordoba pada masa pemerintahan Bani Umayyah. Selain bertugas di berbagai rumah sakit tersebut, mereka juga mengajar di berbagai universitas di seluruh Andalusia. Hal ini menunjukkan bahwa Andalusia pada masa pemerintahan muslim sangat maju dalam bidang kedokteran. 

Bersambung.....

No comments:

Post a Comment