KALA itu permulaan musim panen tahun 1792. Sultan Hamengku Buwono II baru beberapa hari naik tahta kerajaan Yogyakarta. Di seluruh wilayah negara, rakyat ikut merayakan hari penting itu. Tontonan wayang dan sandiwara rakyat hampir digelar di semua pelosok desa. Keadaan demikian tidak hanya menggembirakan rakyat desa, tetapi merupakan suatu karunia besar bagi seniman-seniman kecil.
Di suatu jalan pegunungan yang melingkari Gunung Sumbing, berjalanlah seorang laki-laki tegap dengan langkah panjang. Laki-laki itu kira-kira berumur 24 tahun. Ia mengenakan pakaian model pada masa itu. Bajunya surjan Mataram (bentuknya seperti jas tertutup) dari bahan lurik halus. Anehnya, memakai celana panjang seperti Kompeni Belanda. Kakinya mengenakan sandal kulit kerbau yang terikat erat-erat pada mata tumit-nya.
Dia bernama Wirapati, murid keempat Kyai Kasan Kesambi yang bertapa di pertapaan Gunung Damar (disebelah utara Purworejo-Jawa Tengah).
Kyai Kasan Kesambi waktu itu sudah ber-umur 70 tahun. Selama puluhan tahun, ia menyekap dirinya di atas pegunungan untuk menyempumakan ilmu-ilmu yang diyakini. Setelah berumur 60 tahun barulah dia menerima murid. Muridnya hanya berjumlah lima orang. Murid yang tertua bernama Gagak Handaka. Kemudian Ranggajaya, Bagus Kempong, Wirapati dan Suryaningrat. Umur murid-murid-nya paling tinggi 40 tahun. Sedangkan murid termuda Suryaningrat lagi berumur 17 tahun.
Meskipun murid-murid Kyai Kasan Kesambi masih tergolong berusia muda, tetapi nama mereka terkenal hampir di seluruh wilayah Jawa Tengah. Manakala rakyat lagi membicarakan tentang tokoh-tokoh sakti pada jaman itu, pastilah nama mereka takkan ketinggalan. Mereka disebut sang Pandawa (tokoh ksatria sakti dalam Mahabarata : Judistira, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa), karena jumlahnya hanya lima orang belaka.
"Murid-murid Kyai Kasan bagaikan kesatria-kesatria Pandawa," kata mereka. "Guru-nya suci, murid-muridnya pun luhur budi."
Pada bulan pertama 1792, Wirapati diutus gurunya menghadap Kyai Haji Lukman Hakim di Cirebon untuk mengabarkan tentang geringnya Sri Sultan Hamengku Buwono I yang sudah berusia 83 tahun. Kyai Haji Lukman Hakim dulu adalah teman seperjuangan Kyai Kasan dalam perang Giyanti.
"Sampaikan hormatku padanya," kata Kyai Kasan kepada Wirapati. "Kamu harus dapat membawa sikap tata santun gurumu kepada-nya. Pintalah kepadanya, agar dia sudi mengusahakan daun Tom demi kesehatan Sri Sultan. Barangkali usia Sri Sultan bisa diperpanjang dengan kesaktian daun itu."
"Apakah daun Tom itu?" tanya Wirapati kekanak-kanakan.
"Daun sakti itu hanya tumbuh di tepi pantai, Tak banyak orang mengetahui. Jenisnya hampir serupa dengan daun-daun tapangan dan daun pedang. Hanya mata ahli saja yang dapat membedakan jenis daun-daun itu."
Wirapati gembira mendapat tugas itu. Inilah kesempatannya hendak menyaksikan kesaktian sahabat gurunya yang seringkali dibicara-kan dalam perguruan.
Rumah Kyai Haji Lukman Hakim berada di atas gundukan tanah di tepi pantai. Rumahnya sederhana. Terbuat dari papan pohon nangka dan beratap alang-alang. Meskipun demikian nampak berwibawa. Pekarangannya penuh dengan tanaman yang mengandung khasiat obat-obatan. Bunga-bunganya menebarkan bau wangi tajam.
Dengan diantar oleh seorang gembala ia bergegas mendaki gundukan tanah itu. Tetapi alangkah terkejut dan kecewanya, setelah dia sampai di depan pintu. Seorang perempuan tua datang menyambut dan mengabarkan, kalau Kyai Haji Lukman Hakim telah wafat dua bulan yang lalu.
Penuh kecewa, ia segera pulang. Waktu itu bulan tiga tanggal 29 tahun 1792. Mendadak ia mendengar berita, Sri Sultan Hamengku Buwono I telah wafat pada tanggal 24 Maret 1792. Peristiwa berita kematian yang berturut-turut itu mengejutkan hati nuraninya. Gumamnya, "apakah ini alamat buruk juga untukku?"
Ia mempercepat langkahnya. Kali ini perjalanan ke Gunung Damar disekatnya dengan melewati lereng Gunung Sumbing, setelah melintasi perbatasan daerah Pekalongan Selatan. Meskipun demikian, dalam waktu satu bulan ia sampai di balik gunung. Ia masih harus melintasi dusun-dusun Kidang, Butuh, Karangtinalang, Kemarangan, Krosak dan Gemrenggeng untuk sampai di dataran Lembah Loano.
Hari hampir petang. Matahari telah condong jauh ke barat. Angin meniup lembut sejuk. Pemandangan sekitar Gunung Sumbing sangatlah indah. Hatinya yang murung kini agak pudar.
Apalagi sepanjang perjalanan, ia melihat dusun-dusun sedang berpesta merayakan hari penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono II.
"Hari ini tanggal 6 bulan April 1792. Bulan depan guru akan menurunkan ilmu Mayangga Seta. Ah, masih sempat aku mengikuti tahap permulaan. Mudah-mudahan di tengah perjalanan tidak ada aral melintang."
Ilmu Mayangga Seta merupakan suatu ilmu kebanggaan pada jaman itu untuk setiap prajurit. Barang siapa dapat menguasai ilmu itu, akan pandai mengubah tempat kedudukannya dalam sedetik dua detik. Hal ini sangat berguna dalam pertempuran kerubutan. Tetapi jenis Ilmu Mayangga Seta banyak ragamnya. Setiap perguruan mempunyai paham dan pendapat sendiri.
Selagi memikirkan tentang ilmu itu, tiba-tiba ia melihat dari persimpangan jalan arah barat serombongan orang yang membawa kotak-kotak kayu dan seperangkat gamelan. Mereka berjumlah 14 orang dan berjalan kearahnya.
Wirapati tertarik pada pemandangan itu. Mereka mengenakan dandanan penari dan penabuh (Pemukul gamelan disebut Pradangga) gamelan. Muka mereka dicat beraneka-warna. Agaknya mereka telah memper-siapkan diri menjadi tokoh-tokoh yang akan diperankan.
Dari tutur-kata penduduk sepanjang jalan, Wirapati mendapat keterangan kalau perayaan penobatan Sri Sultan Hamengku Buwono II akan berlangsung selama 40 hari 40 malam.
Penduduk bebas memilih macam hiburan yang cocok dengan kata hatinya. Mereka bebas pula mengundang seniman-seniman dari daerah lain, itulah sebabnya, seniman-seniman dari Banyumas, Jepara, Madiun, Surakarta dan Bagelen banyak memasuki daerah Kasultanan.
Rombongan yang mendatanginya, berperawakan tegap. Gerak-geriknya tangkas. Mereka berjalan cepat dan mencurigai tiap orang yang dijumpai. Tatkala mereka berpapasan dengan Wirapati, mereka menunduk. Mulutnya berkomat-kamit: "Awas, bertemu satu."
Sekalipun kata-kata itu diucapkan dengan berbisik-bisik, tapi bagi pendengaran seorang berilmu seperti Wirapati cukuplah jelas. Wirapati heran mendengar kata-kata demikian. Ia mulai memperhatikan dan men-coba menebak-nebak maksud tiap patah katanya. Keheranannya kini kian menjadi-jadi.
Mereka ternyata membawa gamelan yang terbuat dari perunggu pilihan. Gong besar, lima buah kempul, dua pasang bonang, lima buah demung, sepasang gender, slentem dan gambang (Perangkat gamelan) berat timbangannya paling tidak masing-masing limaratusan kati. Belum lagi ditambah dengan berat timbangan alat penabuh dan goyor (gawang tempat menggantung gong), meskipun demikian, mereka sanggup memikul dengan berjalan sangat cepat.
”Ah, mereka lebih mirip pencoleng-pencoleng sakti,” pikir Wirapati. Mukanya di cat tebal. Meskipun teman karib sekampung takkan begitu gampang mengenal mukanya.
Mendapat pikiran demikian, dia ingin menguntit sambil menyelidiki. Biasanya memang ia usil, jika menjumpai sesuatu yang aneh. Hatinya takkan puas, jika belum mendapatkan keterangan yang cukup jelas. Tetapi ia teringat akan masa pengajaran Ilmu Mayangga Seta pada bulan depan. Kalau sampai membiarkan diri terlibat dalam perkara itu, pastilah akan membutuhkan suatu penyelesaian berminggu-minggu lamanya. Agaknya itu tidak menyenangkan..
Tetapi gerak-gerik rombongan penari yang aneh itu, mengganggu hati dan penglihatan-nya. Untuk melupakan dan mengalihkan per-hatiannya, ia harus mendahului mereka. Segera Wirapati mempercepat langkahnya. Sebentar saja ia telah melampaui mereka.
Menyaksikan bagaimana dia dapat berjalan begitu cepat, di antara mereka terdengar bisikan lagi.
"Awas, berjaga-jaga."
Wirapati sengaja menelan kata-kata itu. Nafsu usilannya diendapkan. Ia mempercepat langkahnya lagi, seperti seseorang yang berlari sangat cepat.
Pada petang hari, tibalah dia di Dusun Butuh. Dia harus melintasi Kali Bergata. Dari sana ia akan sampai di Karangtinalang. Dengan mendaki bukit dan menyeberang hutan, dalam beberapa hari akan sampai di jalan raya Magelang—Kedungkebo.
Petang hari itu, hujan turun rintik-rintik. Sisa musim hujan belum juga habis. ltulah sebabnya, air sungai masih saja mencapai tepi tebing. Perahu tambang tidak tampak lagi. Penduduk mulai mengungsikan kepenatannya di tengah keluarganya masing-masing. Maka terpaksalah Wirapati mencari sebuah gardu untuk menginap. Tapi gardu di Dusun Butuh tidak dapat diketemukan.
Sebagai seorang murid Kyai Kasan Kesambi yang biasa dilatih berkelana berbuat kebajikan, ia tak mengeluh. Segera ia menyeberang ladang dan mencari gubuk peronda tetanaman. Ditemukan sebuah gubuk reyot. Tanahnya agak basah, tetapi ada seonggok jerami kering yang agaknya sengaja diting-galkan oleh pemiliknya untuk keperluan berjaga malam. Jerami itu kemudian dijajamya rapi. Tatkala hendak merebahkan badan, tiba-tiba didengarnya di jauh sana suara tapak-tapak ringan. Ternyata mereka adalah rombongan penari tadi.
Mereka berhenti di tepi pengempangan sawah. Kemudian berbicara dengan logat Banyumas. Wirapati melongok dari gubug sambil memasang telinga.
"Bagaimanapun juga kamu harus bersikap sopan kepadanya," kata yang tinggi jangkung. "Mereka itu adalah manusia seperti kita. Pasti bisa diajak berbicara."
"Aku sudah mencoba berbicara. Kucoba membeli benda itu. Kucoba meminjam. Kucoba menyewa. Kucoba ... ya kucoba segala tata-santun. Tapi usahaku sia-sia," bantah yang gemuk pendek. "Mereka tetap mempertahankan benda itu. Akhirnya kucoba merebutnya dengan paksa. Bangsat betul mereka ... cuh! Mereka pandai berkelahi. Pandai mempertahankan diri dan menyerang. Karena merasa takkan menang, aku lari memanggil kawan-kawan. Apakah sudah cukup keteranganku tentang mereka?"
"Tapi ini soal nyawa," bentak yang tinggi jangkung. "Bagaimanapun juga kita harus menghindari suatu pembunuhan. Ini pendirianku. Dan aku adalah pemimpin kalian. Kalian harus tunduk dan patuh kepadaku. Siapa membantah lagi?"
Tidak ada di antara mereka yang berani berbicara. Nampak benar betapa besar pengaruh si tinggi jangkung. Tetapi sejurus kemudian, yang pendek gemuk berkata hati-hati.
"Tetapi andaikata ... andaikata mereka tetap bertekad mempertahankan benda itu dan ter-nyata kita kalah, apa yang akan kaulakukan?"
"Masa kita kalah melawan dua orang laki-laki saja?"
"Siapa tahu, mereka sekarang memanggil penduduk dusun untuk membantu dan benar-benar mereka jadi tangguh."
"Kalau memang begitu ... nanti kupertimbangkan. Tapi sekarang, tujuan membunuh harus dihindarkan sejauh mungkin. Pekerjaan ini jangan sekali-kali menjadi perhatian umum."
Si gemuk pendek diam. Kesenyapan yang mengerikan mulai terasa. Kemudian terde-ngarlah suara si jangkung tinggi.
"Nah ... kita berangkat. lngat ya, kalian se-mua harus dapat membawa din' sebagai rombongan penari yang sesungguhnya. Sedikit saja menimbulkan kecurigaan orang, pasti akan menggagalkan pekerjaan besar ini. Kalau sampai gagal, apa kamu berani mempertanggungjawabkan kepada sang Dewaresi?"
Seperti saling memberi isyarat, mereka menarik napas panjang. Wirapati merasakan sesuatu pengaruh ucapan kata-kata sang Dewaresi. Apakah orang itu pemimpin mereka di Banyumas? Ia menajamkan pendengaran-nya. Tapi mereka tidak menyinggung nama itu lagi. Sebentar kemudian mereka berangkat dengan hati-hati. Mereka mendekati tebing sungai. Beban ditumpuk menjadi undukan. Setelah itu mereka berunding dengan berbisik-bisik.
Wirapati tertarik pada sepak-terjang mereka. Segera ia menguntit dari jarak dua puluh langkah, kemudian mendekam di atas tanah. Malam guiita meiindungi dirinya, karena itu tak perlu dia takut akan ketahuan.
Pada saat itu, di tebing sungai terjadilah suatu pemandangan yang menarik. Mereka menyusun sebuah jembatan darurat. Empat orang memapah tiang-tiang gamelan. Dan yang lain membantu pekerjaan dengan sangat cepat. Kepandaian menyusun beban hingga menjadi sebuah jembatan darurat, sungguh mengherankan. Seandainya mereka tidak mengalami latihan tertentu, bagaimana mungkin mereka bisa melakukan hal itu untuk menyeberangi sungai yang deras arusnya.
Dua tiga orang lari berputaran. Mereka melintasi jembatan darurat dengan gesit. Kaki mereka menjejak ujungnya. Sekejap saja terapunglah tubuh mereka tinggi di udara dan tiba di seberang dengan selamat.
”Bagus,” Wirapati memuji dalam hati. ”Meskipun aku tak kalah dibandingkan dengan kecakapan mereka, tetapi kecekatan seperti itu jarang terjadi. Mengapa memusuhi seseorang tak dilakukan dengan terang-terangan? Bukankah cukup kepandaian mereka untuk mencapai maksud tertentu?"
Teringatlah dia akan kata-kata si tinggi jangkung.
"Ingat ya, kalian semua harus dapat membawa diri sebagai rombongan penari yang sesungguhnya. Sedikit menimbulkan kecurigaan orang, pasti akan menggagalkan pekerjaan besar ini."
”Pekerjaan besar apakah yang sedang dikerjakan?” Wirapati menebak teka-teki mereka, karena macam benda yang hendak dipere-butkan tak pernah disinggung dengan jelas. Meskipun demikian, samar-samar dia menda-patkan kesan tertentu.
Pastilah mereka bukan orang-orang baik. Kalau mereka bermaksud baik kenapa harus menyamar sebagai rombongan penari, pikir Wirapati. Agaknya benda yang akan diperebutkan, cukup berharga untuk sebuah peristiwa pembunuhan.
Bersambung.........
No comments:
Post a Comment