Tuesday, October 1, 2013

BENDE MATARAM - "Rombongan Penari Yang Aneh" Jilid 1b.

bende mataram
Wirapati adalah murid Kyai Kasan Kesambi. Dia dididik sebagai kesatria berjiwa luhur dan diajar juga membela kepentingan umum sebagai suatu kebajikan yang diwajibkan. Tak heran, kalau rakyat jelata yang seringkali menderita karena perbuatan kejam tuan-tuari . tanah dan para bangsawan banyak memper-oleh pertolongan murid-murid Kyai Kasan Kesambi. Itulah sebabnya, begitu Wirapati mendengar kata-kata pembunuhan, hati nuraninya yang luhur lantas saja berontak. Tak sampai hati ia membiarkan persoaian pembunuhan itu berbicara seenaknya.

"Masih ada waktu satu buian, rasanya takkan kasep aku menerima ajaran ilmu Mayangga Seta. Kutaksir, soal ini akan dapat kuselesaikan paling lama sepuluh hari."


Dengan ketetapan hati, segera ia mencurah-kan perhatiannya ke mereka. Ia melihat, mereka semua telah berhasil melompat ke seberang. Kini tinggal empat orang yang berdiri menjadi penyangga jembatan darurat. Dengan cekatan mereka mengikat perutnya masing-masing pada tiang gamelan, kemudian mundur lima langkah. Dilemparkan tiang gamelan tinggi ke udara dan mereka menjejak tanah. Sekaligus terbanglah mereka melintasi sungai.

”Ah, mereka bukan orang-orang lemah,” Wirapati memuji lagi. ”Sudah kuduga mereka akan berlaku demikian, tetapi perbuatan itu sendiri dapat diputuskan dengan cepat. Baiklah aku harus berhati-hati mengikuti mereka.”

Wirapati mengangkat kepalanya. Mereka telah menghilang di tengah kegelapan tanpa berisik. Dan ketika suara langkah mereka tak terdengar lagi, segera ia berdiri. Kemudian menghampiri tebing sungai. Diselidiki jejak mereka dan dengan diam-diam ia heran memikirkan ketangkasan orang-orang itu. Ternyata tanah sekitar sungai becek serta ber-lumpur. Seketika itu juga, tahulah dia apa yang akan mereka lakukan manakala telah memutuskan hendak membunuh orang. Memiliki kecakapan demikian, sebenarnya bukanlah pekerjaan yang sulit jika mau membunuh orang. Mengapa mereka menyamar sebagai rombongan penari? Apa mereka hanya mau mengelabui orang-orang yang berpapasan atau karena akan menghadapi lawan tangguh?

Tak sempat lagi, Wirapati menebak-nebak teka-teki itu. Segera ia menjejak tanah dan ter-bang meloncati sungai. Ternyata mereka tak nampak batang hidungnya. Dapatlah diduga bagaimana mereka dapat bergerak dengan cepat. Tetapi Wirapati adalah murid Kyai Kasan Kesambi yang keempat. Meskipun kecakapannya masih kalah dua tiga tingkat daripada ketiga orang kakak seperguruannya, namun menghadapi peristiwa demikian tidak-lah merasa kecil hati. Dia telah memiliki ilmu penciuman dan ketangkasan tubuh. Maka sekali loncat tubuhnya telah hilang melintasi kegelapan malam. Sebentar saja dia sudah berhasil mengejar mereka. Sekonyong-konyong terdengarlah bentakan keras.

"Siapa?"

"Apa kalian kawan-kawan dari Banyumas?" sahut seseorang yang berdiri menghadang mereka. Tak jelas siapa dia, tetapi suaranya terang seorang laki-laki yang berusia dua puluh tahunan.

"Bukan. Kami rombongan penari yang akan merayakan pesta penobatan Sultan di Dusun Karangtinalang," jawab salah seorang dari rombongan penari. Dia adaiah si gemuk pendek. Suaranya keras agak parau.

"Hm, aku tidak bisa kalian kelabui. Meskipun kalian mengenakan samaran iblis sekali-pun. Mataku tidak bisa kautipu."

"Bagus. Siapa kamu?"

Orang yang menghadang rombongan penari tidak segera menjawab. Dia mendehem dua kali, kemudian berkata, "Grusan Bende Mataram dan Keris Tunggulmanik jangan dikutik-kutik iagi. Kembalilah kalian ke Banyumas. Hidup bebas dari marabahaya, bukankah lebih menyenangkan?"

"Hooo. Hi hi hi... ha ha ha Jadi maksudmu menghadang kami berhubung dengan adanya Bende Mataram dan Keris Tunggulmanik? Apa alasanmu? Apa kamu berhak memiliki bende keramat itu?"

Orang yang menghadang tidak berbicara lagi. Ia memperdengarkan suara tertawanya yang dingin. Wirapati yang berhenti agak jauh, terkejut mendengar lagu tawa itu. Suatu perasaan aneh menyelinap dalam tubuhnya. Karena takut barangkali si penghadang lagi menggunakan mantran siluman, cepat-cepat ia bersembunyi di belakang pohon. Penglihatannya ditajamkan. Dilihatnya kini seorang ber-perawakan kurus ramping berdiri bertolak pinggang di tengah jalan.

Warna pakaian dan raut mukanya tidak nampak jelas, karena kegelapan malam. Tetapi jelas terlihat ia memegang tongkat yang selalu diputar-putarkan.

Pada saat itu si tinggi jangkung mencoba menerangkan.

"Bende Mataram dari Keris Tunggulmanik adalah pusaka turun-temurun Bupati Banyumas. Kedua pusaka itu hilang dicuri orang. Sekarang telah kami temukan jejaknya. Apa salah kami datang untuk mengambilnya?"

Si penghadang tidak menyahut. Diperdengar-kan lagu tertawanya lagi yang mengesankan perasaan aneh memuakkan. Sikapnya tinggi hati dan merendahkan lawannya. Tiba-tiba si gemuk pendek yang berwatak berangasan (gampang marah), meloncat ke depan sambil membentak.

"Jahanam, minggir. Apa kamu bosan hidup?"

Tetapi belum lagi menyelesaikan umpatan-nya, mendadak saja ia memekik tinggi. Kemudian robohlah dia seperti pohon tumbang. Menyaksikan si gemuk pendek roboh, rombongan penari aneh dari Banyumas bergerak serentak. Tetapi si penghadang meloncat menyeberang pengempangan sawah dan lenyap tanpa bekas.

Mereka mengerumuni si gemuk pendek. Ada pula yang mencoba mengejar. Tetapi si jangkung tinggi cepat-cepat mengumpulkan teman-temannya. Ia membungkuk memeriksa tubuh si gemuk pendek. Ternyata nyawanya telah melayang. Menyaksikan kematian temannya, semua anggota rombongan menggeram penuh kegusaran. Tetapi ke mana larinya si penghadang tadi?

Wirapati heran. Tak dapat ia menebak, sebab-musabab dari kematian itu. Dalam gelap malam, ia tak tahu gerakan si penghadang. Tiba-tiba, si gemuk pendek mati terjungkal. Siapa mengira, si penghadang mendadak menyerang begitu cepat tak terduga. Seumpama dia sendiri menghadapi orang itu, belum tentu dapat menghindarkan malapetaka. Nampak-nya, si penghadang mempunyai sejenis senjata rahasia yang disimpan dalam tongkatnya.

Cepat-cepat ia berjongkok, agar dapat menambah kewaspadaannya. Siapa tahu, si penghadang hanya lari berputar dan bermak-sud menikam dari belakang. Menyaksikan kecepatan geraknya, tidaklah mustahil dia dapat berbuat di luar dugaan. Lagipula, rombongan penari itu dapat mendakwanya sebagai si penghadang tadi. Bagaimana mereka dapat membedakan antara dia dan si penghadang di tengah kegelapan demikian,

"Letakkan jenazah Gandi di tepi jalan. Kita selesaikan dulu urusan ini. Setelah kita berhasil, kita menguburnya," kata si tinggi jangkung.

"Apa kita biarkan si jahanam tadi kabur tanpa pembalasan?" tungkas yang lain.

"Perlahan-Iahan kita selidiki dia. Kelak kita pasti dapat menuntut balas."

Tidak seorang pun yang membantah perintah si tinggi jangkung. Dengan rasa haru mereka meneruskan perjalanan. Langkah mereka kali ini bertambah cepat dan pesat. Sebentar saja tubuh mereka telah lenyap di gelap malam.

Waktu itu hujan yang tadi turun rintik-rintik, kian menjadi deras. Angin pegunungan meniup cepat, membungkuk-bungkukkan semua

penghalang. Mahkota pohon-pohon yang berdiri di sepanjang jalan dirontokkan dan padi di sawah terdengar bergemerisik.

Wirapati menyabarkan diri sampai rombongan penari yang aneh itu tidak terdengar iagi langkahnya. Perlahan-lahan ia muncul dari balik pohon dan datang menghampiri mayat si gemuk pendek. ia melihat mayat meliuk seperti udang terbakar. Maka diurungkan niatnya hendak menyeiidiki sebab-musabab kematiannya itu. Ia menduga adanya suatu racun berbahaya yang belum dikenalnya. Itulah sebabnya, tidak berani ia menyentuh mayat si gemuk pendek. Segera Wirapati mundur dan lari menyusul rombongan penari.

Perjalanan di malam gelap lagi hujan, tidak-lah mudah. Tanah jadi becek, sedangkan langkahnya tak boleh mengeluarkan suara sedikit pun. Siapa tahu, di antara mereka ada yang mendekam di pinggir jalan hendak menuntut balas si penghadang tadi. Kalau sampai kepergok (bertemu dengan tiba-tiba), dapatlah dibayangkan apa yang bakal terjadi. Suatu pertempuran bernapaskan suatu pembunuhan takkan mungkin dapat dihindari.

"Bende Mataram dan Keris Tunggulmanik," Wirapati komat-kamit. "Apa benar mereka

membicarakan tentang dua benda keramat itu?"

Tentang nama dua benda keramat itu, bagi Wirapati tidaklah asing. Gurunya seringkali membicarakannya bila sedang mempersoalkan benda-benda bertuah pada jaman dahulu. Menurut gurunya, kedua benda tersebut milik Pangeran Semono pada jaman kerajaan Mentaok (Mataram Kuno, Pangeran Semono putra Bathara Loano yang beristana di kerajaan Loano. Diduga, Loano adalah Ibukota Mataram Kuno. Kerajaan tersebut diceritakan sebagai kerajaan jin (lelembut). Mungkin karena tak dapat dipastikan tahun keberadaannya. Diduga jauh sebelum tahun Masehi). Kedua benda itu amat keramat dan mempunyai kekuatan mukjizat. Barang siapa yang memiliki kedua benda itu akan menjadi kebal dari segala senjata lagi sakti. Suaranya akan menjadi menggelegar. Tubuhnya ringan dan dapat melintasi pohon-pohon tinggi seakan-akan terbang. Kakinya kuasa mendepak hancur batu gunung dan mampu pula menggerakkan bidang tanah tertentu yang dikehendaki. Tetapi bagaimana cara menggunakan, gurunya tidak pernah menerangkan. Gurunya hanya mengesankan, kalau cerita perkara kekeramatan kedua benda itu adalah suatu khayal belaka.

”Ah, andaikata malam ini guru mendengar percakapan tentang adanya dua benda itu, pastilah akan lain kesannya,” pikir Wirapati. Tetapi ia yakin, gurunya yang sudah mengungkurkan keduniawian takkan tertarik untuk saling berebut.

Saat itu sampailah dia di tepi batas Desa Karangtinalang. Cahaya pelita nampak ber-pancaran. Desa dalam keadaan pesta ria. la melihat, rombongan penari tadi berhenti sejenak di tepi jalan. Mereka berunding sebentar, kemudian berjalan berpencaran menuju ke selatan.

Diam-diam Wirapati heran. Ke mana tujuan mereka? Ia memanjat pohon agar bisa melihat lebih leluasa. Tetapi sekali lagi, gelap malam menggagalkan maksudnya. Maka turunlah dia ke tanah dan menyusul ke selatan.

Sekiranya ini perbuatan iblis, hai malaikat, bimbinglah aku kepada mereka. Tapi apabila mereka bermaksud berbuat kebajikan, hai malaikat sesatkan aku, kata Wirapati dalam hati.

Tiba-tiba ia melihat sebuah rumah panjang yang berbeda di tepi sungai. Rumah itu terbuat dari papan dan berdiri di tengah ladang yang agak luas. Pagarnya terbuat dari ranting-ranting bambu. Kesannya tenteram damai.

Rombongan penari yang berjalan berpencaran itu, sekaligus mengepung rumah. Kini mereka berjongkok menghadap gamelannya.

Masing-masing menyalakan obor. Gerak-geriknya seperti penabuh-penabuh gamelan yang hendak ditanggap si pemilik rumah. Tapi mereka tahu, kalau seluruh penduduk berkumpul di kelurahan.

Sungguh ajaib! kata Wirapati dalam hati. Jika peristiwa malam ini kuceritakan kepada rekan-rekan seperguruan pasti mereka takkan percaya. Lihat, bagaimana pandai dan licin-nya! Mereka berbuat begitu agar tidak dicurigai orang. Sebagian berpura-pura menabuh gamelan dan yang lain bekerja dengan diam-diam.

Mereka yang memisahkan diri dari penabuh, berjalan mengelilingi rumah. Mereka mengeluarkan segulung tali halus. Kemudian direntangkan dari tempat ke tempat. Sebentar saja, rumah panjang itu telah terlingkari. Mereka bekerja dengan hati-hati. Wirapati segera menyadari, gulungan tali itu pasti mengandung racun berbahaya.

Seketika itu juga, jiwa kesatria Wirapati ter-bangun. Hm! Tak peduli pihak mana yang benar atau salah, aku tak boleh membiarkan mereka seenaknya meracuni orang. Itu bukan perbuatan kesatria. Sayang mengapa mereka yang begitu tangkas bisa berbuat sedemikian rendah dan keji. Biarlah kuberi kisikan penghuni rumah ini, agar teriepas dari jebakan keji, iicik dan terkutuk, pikir Wirapati.

Berpikir demikian ia memperhatikan gerak-gerik rombongan penari yang sedang sibuk mengatur jebakan. Pagar tali yang direntang-nya belum lagi setinggi leher. Cepat ia mengumpulkan napas dan menjejak tanah. Segera ia melintasi tali beracun itu dan hinggap di atas genteng. Kemudian meloncat ke talang air. Dibongkarlah beberapa deret genteng. Sambil meringkaskan tubuh, ia menerobos ke bawah.

Ruang rumah panjang itu ternyata di bangun dalam beberapa sekat. Bagian depan berderet empat buah kamar yang sama besar. Kemudian ruang tengah yang memanjang. Di ujung sana nampak siku-siku jalan penghubung. Karena keadaan gelap gulita, Wirapati tidak dapat melihat dengan jelas. Khawatir jika penghuni saiah sangka kepadanya, maka ia berjongkok kemudian berteriak, "Aku Wirapati, murid keempat Kyai Kasan Kesambi. Ada sesuatu hai yang harus kusampaikan kepadamu. Kuharap jangan salah paham!"

Suaranya cukup keras. Ia menunggu jawaban. Tapi dari dalam rumah tidak terdengar

suatu suara yang berkutik. Suasananya sunyi hening.

Wirapati mengulangi perkataannya lagi. Sekali lagi dan sekali lagi. Tetapi tetap tak ter-jawab. Suasana rumah bertambah sunyi hening. Ia melangkah maju. Tiba-tiba nampaklah sinar berkedip. Cepat ia berjongkok. Berteriak.

"Aku Wirapati, murid keempat Kyai Kasan Kesambi. Ada sesuatu yang harus kusampaikan”

Bersambung.....

No comments:

Post a Comment