Thursday, October 3, 2013

BENDE MATARAM - "Pusaka Pangeran Semono" Jilid 1. 2c.

Bende Mataram
”Tapi pusaka itu ada padamu, kan? Itu suatu karunia. Kau tak bermodal, tapi mendapat tawaran. Iya, kan?"

"Apa kaubilang?" bentak Made Tantre. "Sekiranya pusaka itu diberikan kepada kami sebagai barang milik, kami pun akan mempertahankan. Kami takkan berlaku hina menjual pusaka pemberian."

"Bagus!" Hajar Karangpandan bertepuk-tepuk. "Itu jawaban seorang laki-laki. Nah, sekarang kalian minggat dari sini!"

Tetapi mana bisa Gandi menyia-nyiakan kesempatan itu. Dua minggu yang lalu rombongan mereka yang membawa kedua pusaka itu dari Cirebon, dihadang oleh Hajar Karangpandan. Pusaka terampas dan mereka tak berani pulang ke Banyumas. Maklumlah, pusaka itu diperoleh dengan susah payah. Pemimpinnya yang bernama sang Dewaresi berhasil membeli pusaka itu dengan harga tinggi dari tangan keturunan Sultan Cirebon. Tetapi keluarga Sultan Cirebon yang lain tak menyetujui. Perselisihan segera terjadi. Rombongan sang Dewaresi berhasil merebut pusaka itu dengan suatu kekerasan. Begitu berhasil, sang Dewaresi kemudian memberi perintah kepada dua puluh orang anak buah-nya mendahului pulang ke Banyumas. Sedangkan dia sendiri, menghadapi perlawanan keluarga Sultan Cirebon dengan beberapa orang bawahannya.


Secara tak terduga, pusaka itu telah berpindah tangan begitu gampang.

"Pendeta busuk!" bentak Gandi. "Berhari-hari kami mengikuti jejakmu. Bagaimana aku harus melepaskan moncongmu. Meskipun langit runtuh, kami takkan mundur sebelum berhasil membawa pusaka pulang ke Banyumas."

"Itulah tekad yang patut dipuji!" Hajar Karangpandan mengacungkan ibu jari. Kemudian berkata kepada Wayan Suage dan Made Tantre, "Heh, kalian berdua siaplah! Cobalah pertahankan pusaka itu! Aku seorang tua akan berdiri di luar gelanggang. Kalau kalian dapat mempertahankan diri, pantaslah pusaka itu menjadi milik kalian. Nah, kalau kalian keok (bertekuk lutut ), aku akan merampasnya kembali."

Dibakar demikian, bangkitlah semangat Wayan Suage dan Made Tantre. Mereka seia-sekata hendak berjuang sebisanya.

"Kalian mencari mati. Jangan salahkan kami!" ancam Gandi dengan mendongkol. Kemudian dengan berteriak, ia menyerang dengan dahsyat. Pedangnya berkelebat menikam Jambung. Wayan Suage memiringkan tubuhnya dan menghantam pergelangan. Kena hantaman itu, pedang Gandi terpental. Secepat kilat ia menendang. Tendangannya mengenai betis Wayan Suage.

Wayan Suage tak dapat mempertahankan diri. Ia jatuh tersungkur, tetapi tangannya berhasil menyambar pedang Gandi tatkala kaki Gandi hendak menendangnya lagi, ia menyingkir dengan bergulingan.

Sekarang ia dapat berdiri tegak sambil menggenggam pedang rampasan. Pakaiannya sekaligus kena lumpur basah. Sekujur badan-nya basah kuyup.

Gandi tak memberinya kesempatan bernapas. Ia menerjang dengan sepenuh tenaga. Wayan Suage terkejut. Cepat-cepat ia menangkis serangan itu. Pedangnya berkelebat memapas tangan, sedang tangan kirinya me-nerkam tulang rusuk. Melihat tangkisan Wayan Suage. Gandi mengurungkan serangannya. Ia menjatuhkan diri ke tanah sambil menyepak-kan kakinya. Suatu kesiur angin mendesak udara. Wayan Suage melompat tinggi sambil berjumpalitan.

"Bagus!" puji Hajar Karangpandan.

Tetapi belum lagi Wayan Suage menjejak-kan kaki ke tanah mendadak dia dirangsang empat orang kawan-kawan Gandi. Ia mengeluh dalam hati, meskipun demikian pantang menyerah. Pedangnya diputar kencang seperti kitiran. Tubuhnya ditutup rapat-rapat.

Gandi mendongkol, karena serangannya gagal. Cepat ia bangun dan merampas pedang temannya. Kemudian merangsang maju sambil mengirimkan tikaman berbahaya. Wayan Suage dengan cepat terdesak mundur sampai memasuki serambi rumah. Memang ia kalah berpengalaman dengan si pendek gemuk. Lagi pula ia dikerubut empat orang yang menyerang bergiliran.

Melihat Wayan Suage terdesak mundur, Gandi berlega hati. Yakinlah dia, kalau kemenangan ada pada pihaknya. Hanya saja ia mengkhawatirkan Hajar Karangpandan. Kalau orang itu tiba-tiba turun ke gelanggang, akan terjadi sebaliknya. Dulu orang itu dapat mem-buat kalang kabut kedua puluh teman-teman-nya. Apa lagi sekarang, dia hanya berenam.

Memikirkan hai itu, ia ingin merebut kemenangan secepat mungkin. Ia mengirimkan tusukan dahsyat sambil berteriak keras. Wayan Suage kerepotan. Dalam repotnya ia melompat mundur sambil memiringkan tubuh-nya. Tak urung ujung pedang Gandi masih saja merobek bajunya.

Wayan Suage bergerak cepat. Pedangnya dfcenturkan ke pergelangan tangan Gandi. Tetapi Gandi bermata tajam. Pedangnya disonteknya ke atas. Suatu benturan tak terelakkan, kemudian tangan kirinya membentur dada.

Wayan Suage terkejut. Pedangnya lepas. Hendadak empat orang lainnya menyerang dari samping. Dalam gubuknya ia men-jatuhkan diri sambil memungut pedangnya. Tetapi tendangan kaki Gandi mengenai lambungnya. Ia terguling dan berdiri sempoyongan. Kesempatan itu dipergunakan baik-baik oleh Gandi. Sekali lagi ia menikam. Kali ini, Wayan Suage hendak mengadu tenaga. Ia menangkis dan kedua-duanya tergetar mundur.

Di sudut lain, Made Tantre menghadapi tiga orang musuh. Ia bertangan kosong, sehingga terpaksa mengandalkan kegesitannya. Untung, ketiga lawannya tidaklah seperkasa Gandi. Ia masih sanggup mengadakan perlawanan dengan seimbang. Namun, karena dia tak bersenjata lambat laun terdesak juga. Segera ia mengirimkan serangannya dengan gerak khas ajaran Pulau Bali. Kedua tangan-nya bergerak berserabutan seperti gerak tari Bali. Tetapi tiba-tiba berubah menjadi cengkraman yang mengancam kepala.

Ketiga lawannya terkejut. Mereka mundur berdesakan. Diam-diam mereka heran atas perlawanannya. Dengan bergandengan tangan, mereka maju berbareng. Mereka ber-maksud mau mengurung. Tetapi Made Tantre tidak memberi kesempatan mengatur serangan. Dengan tangkas ia menerjang sambil me-nyapu kaki.

Mereka tak gentar. Pertahanannya sangat teguh. Kini bahkan telah berhasil membuat kurungan dan sedikit demi sedikit maju selangkah. Terpaksalah Made Tantre bersikap hati-hati. Ia mundur pula sambil menajamkan penglihatan. Tiba-tiba Rukmini datang melemparkan sebuah pisau.

"Ini, gunakanlah!"

Made Tantre menoleh. Besar hatinya, karena mendapat bantuan isterinya. Pisau itu ia sambar dengan sebat, kemudian menerjang lawan. Hatinya berubah mantap. Ia bersilat berputaran. Gerak-geriknya tak ubah tarian Leyak. Ia berputar-putar sambil menikam. Kadang-kala menjatuhkan diri sambil menyapu kaki lawannya.

"Ah, bagus!" seru Hajar Karangpandan. "Tapi gerak begitu menghabiskan tenaga.

Dekatilah Wayan Suage. Kamu berdua memiliki corak perkelahian yang sama, sehingga kalian bisa saling membantu."

Seruan Hajar Karangpandan itu menyadarkan mereka berdua. Meskipun tak pernah berlatih bersama, tetapi hati mereka seia-sekata. Mereka sependirian dan seperasaan, bagaikan saudara kembar. Itulah sebabnya tidak ragu-ragu lagi, mereka saling mendekati. Kini bertempur dengan berendeng.

Gandi yang bermata tajam tak membiarkan mereka menjadi kuat. Secepat kilat ia menyerang. Dada Wayan Suage terancam. Made Tantre melihat bahaya itu, segera ia melompat menangkis serangan.

"Terima kasih!" kata Wayan Suage bersyukur. Dalam hati ia memuji kelincahan sahabat-nya. Segera ia beralih tempat menghadapi lawan-lawan Made Tantre.

Kala itu Gandi mulai menyerang lagi. Kawan-kawannya mengikuti sepak terjangnya. Mereka mengepung sambil menyabetkan pedangnya. Yang bertangan kosong meliuk rendah dan mengirimkan tinju. Wayan Suage dan Made Tantre terkejut. Serentak mereka mendekatkan tubuh. Wayan Suage sadar, kalau senjata Made Tantre terlalu pendek untuk menghadapi perlawanan pedang lawan. Maka ia membabatkan pedangnya mengarah muka lawan. Made Tantre mengerti maksud sahabat-nya. Dengan sebat ia membenturkan pisaunya. Karuan saja pisaunya tak dapat mempertahankan diri. Kena sabetan pedang seketika terlepas kutung, dan tapak tangannya terasa sakit.

Hajar Karangpandan yang melihat pertempuran dari luar gelanggang mengerti bahaya mengancam tuan rumah. Tak sampai hati ia membiarkan tuan rumah terluka di depan matanya. Secepat kilat ia melompat menerjang sambil membentak, "Hai, bangsa tikus! Kalian mencari ajal, tak tahu diberi hati. Minggat!"

Ia menggempur seorang yang berpera-wakan tinggi ramping. Orang itu terkejut bukan kepalang, sampai tak sempat menangkis atau mengelakkan diri. Akibatnya hebat! Lengannya kena, tergempur patah dan tak dapat digerakkan lagi.

Gandi menggeram menyaksikan serangan Hajar Karangpandan yang datang begitu cepat. Tanpa berkata lagi ia membalas. Kawan-kawannya bergerak juga membantu dari samping. Hajar Karangpandan mengangkat kedua tangannya tinggi ke udara. Kemudian seperti kilat, ia menyambar kepala mereka dan menghadiahkan satu tamparan kepada muka mereka masing-masing.

Dalam kagetnya, mereka tertegun. Kesempatan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Wayan Suage dan Made Tantre. Mereka berdua lantas saja menerjang dan mengirimkan ten-dangan keras. Tak ampun lagi mereka yang kena tendangannya jatuh terbalik sambil berteriak kesakitan.

Dengan masuknya Hajar Karangpandan ke gelanggang, suasana pertempuran cepat berubah. Rombongan Gandi kena dihajar bolak-balik sehingga jadi kalang kabut. Empat orang terluka berat. Ketiga orang lainnya terdesak mundur sampai ke jalan.

Hajar Karangpandan agaknya tidak bemiat menghabisi nyawa mereka. la menghentikan serangannya, kemudian berkata memerintah, "Hari-hari penobatan raja, tabu aku membunuh orang. Pergilah kalian! Bawalah kawan-kawanmu yang terluka, aku tak akan meng-ganggumu."

Tersipu-sipu Gandi memberi isyarat teman-temannya agar tunduk pada peringatan itu. Empat orang kawannya segera dipanggul bersama dan mereka lantas meninggalkan halaman rumah dengan sempoyongan.

Hajar Karangpandan tidak menghiraukan mereka lagi. Hatinya sangat senang mendapat kesan pertempuran itu. Kepada Wayan Suage dan Made Tantre dia berkata, "Siapa mengira aku bakal berjumpa dengan dua orang bekas kepala perajurit Bali yang gagah perkasa di suatu dusun begini sunyi. Tenaga kalian masih murni. Jika mau berlatih selama sepuluh tahun, jarang orang bisa menandingi kalian berdua. Selamat! Selamat!"

Tetapi Wayan Suage dan Made Tantre tidak menanggapi kata-katanya. Napas mereka tersengal-sengal. Tubuhnya basah kuyup. Rasa nyeri kini terasa menjalari sekujur tulang-tulangnya. Maklumlah, selama merantau di Pulau Jawa, tak pernah sekali juga berkelahi begitu mati-matian.

"Nah, tahulah kini kalian, bagaimana berharganya kedua pusaka itu," kata Hajar Karangpandan lagi. "Rawat dan peliharalah baik-baik. Kelak kalau anak-anakmu bisa menjadi majikan seluruh kepulauan Nusantara, janganlah lupakan aku si orang tua ini."

Sehabis berkata demikian, mendadak ia meloncat pergi. Sebat sekali ia meloncati pagar halaman dan dalam beberapa detik telah lenyap dari pandangan.

Wayan Suage dan Made Tantre tertegun seperti orang linglung. Sama sekali tak diduganya, tamunya akan pergi dengan begitu saja tanpa mengucapkan kata-kata perpisahan sebagai lazimnya tata-santun dalam pergaulan. Mereka saling memandang, kemudian mengejar berbareng. "Tuan! Hujan belum lagi reda!"

Hajar Karangpandan tak nampak lagi batang tubuhnya. Mereka berusaha memanggil tetapi sia-sia belaka. Akhirnya mereka memasuki halaman dengan kepala menunduk. Tak habis mengerti mereka memikirkan perangai tamunya yang datang pergi seperti iblis.

Di serambi rumah, mereka disambut isterinya masing-masing. Mereka inipun ter-cengang-cengang melihat perginya Hajar -karangpandan. Pengalaman hari itu amat hebat bagi mereka, sampai-sampai mulutnya nyaris terbungkam karena tak kuasa menterjemahkan kesan hatinya.

"Alamat apakah ini?" kata Sapartinah terbata-bata.

Wayan Suage dan Made Tantre tidak menjawab. Mereka tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Tenaganya terasa seperti terlolosi. Lemah lunglai mereka memasuki rumah. Wajahnya kuyu, sekujur badannya dingin kaku.

Sapartinah dan Rukmini ke kamar menyediakan pakaian kering. Sangaji dan Sanjaya dibiarkan berdiri tanpa teman.

"Tinah! Rukmini! Dan kau Sangaji dan Sanjaya, kemarilah!" kata Wayan Suage dengan napas tersekat-sekat. "Marilah kita periksa kedua pusaka itu."

Bersambung....

No comments:

Post a Comment