"Tapi demi persahabatan, kami tak dapat menerima bayaran," bantah Wayan Suage. "Tentang mengapa Tuan selalu bercuriga kepada orang-orang yang Tuan jumpai, apa peduliku?"
Hajar Karangpandan heran mendengar ujar Wayan Suage. Seperti kepada dirinya sendiri ia berkata, "Kalau kamu berkata demikian pada beberapa tahun yang lalu, tanganku sudah melayang ke mukamu. Sebab aku benci kepada orang yang berani membantah kemauanku."
Made Tantre yang semenjak tadi berkesan kurang baik kepadanya, tiba-tiba menyahut sambil berdiri tegak.
"Eh, apakah dunia ini hanya Tuan seorang yang merasa diri seorang laki-laki? Kami pun laki-laki."
"Bagus! Justru kamu seorang laki-laki, aku mau membayar makanan ini. Apa salahnya? Nah dengarkan! Aku tak beruang, tapi aku mempunyai dua benda ini. Apakah kedua benda ini cukup berharga urttuk kubayarkan padamu?"
Made Tantre tergugu mendengar keterangannya. Matanya dilemparkan kepada Wayan Suage minta pertimbangan. Wayan Suage tergugu pula. Maklumlah, sama sekali dia tak mengira kalau kedua benda itu akan diberikan sebagai alat pembayaran.
"Tuan," katanya hati-hati. "Sungguh dengan hati selapang-lapangnya aku tak mengharapkan balas jasa berupa apa pun juga. Apa Tuan kuatir, pesta yang kami adakan kali ini seperti suatu jebakan seperti tuduhan semula, agar Tuan berhutang budi pada kami? Kuminta singkirkan dugaan yang bukan-bukan itu!"
"Aku salah seorang yang selama hidupku tak mau berhutang budi, kepada siapa pun juga. Akupun seorang yang tak mau pula memberi hutang budi kepada siapa pun. Kedua benda ini kuberikan kepada kalian, sebagai bayaran. lnilah pengganti terima kasihku. Dimanakah ada persoalan balas budi?"
Wayan Suage terdiam, sedangkan Made Tantre masih saja berdiri tegak. Tak sanggup lagi mereka berlawanan berbicara dengan tamunya. Tetapi mereka seia-sekata tak dapat menerima kedua benda sebagai pembayar hidangan. Ini tabu bagi mereka berdua.
Hajar Karangpandan agaknya tahu membaca gejolak hatinya. Dengan merenggutkan sekerat daging, ia berkata, "Baiklah. Apa kalian menolak kedua benda ini karena bukan milikku? Oho... Siapa pula yang berhak bilang kalau kedua benda ini miliknya? Selain Pangeran Semono yang hidup entah ribuan tahun yang lalu tidak berhak berkata demikian. Karena itu pula, tiap orang berhak memiliki dengan sah. Sekarang kedua benda ini ada padaku. Nah, akulah pemiliknya. Aku pulalah ahli waris Pangeran Semono. Kuberikan kepada siapa saja, tidak seorang pun yang akan membantah. Kecuali bangsa tikus dan cecurut."
Mendadak dia berdiri dan menyambar kedua benda itu. Kemudian diberikan kepada Sangaji dan Sanjaya, masing-masing sebuah.
"Orangtua kalian tolol dan tak pandai berpikir. Nah, kepadamu berdua benda-benda ini kuberikan," katanya. Kemudian menoleh kepada Wayan Suage dan Made Tantre.
"Siapa nama mereka?"
Wayan Suage dan Made Tantre diam berbimbang-bimbang.
"Jawablah! Siapa nama mereka!" Hajar Karangpandan membentak.
Terpaksa Wayan Suage menjawab, "Mereka bernama Sangaji dan Sanjaya."
"Yang mana yang Sangaji dan yang mana Sanjaya?"
Wayan Suage memperkenalkan masing-masing. Setelah itu, dia bersiaga menolak pemberian itu. Tetapi Hajar Karangpandan mendahului.
"Kali ini jangan kautentang maksudku. Kehormatan diriku akan tersinggung."
Mendengar ucapannya yang bernada sung-guh-sungguh, tak berani dia melawan.
Terpaksalah dia tegak seperti patung menyaksikan Hajar Karangpandan membagi kedua benda-nya kepada anak-anak. Terdengar Hajar Karangpandan berkata mengesankan.
"Kedua benda ini pusaka Pulau Jawa yang keramat. Kalian berdua yang beruntung memiliki. Kata orang, barang siapa memiliki kedua -benda itu akan dapat memerintah raja-raja seluruh Nusantara. Aku sudah terlalu tua untuk memimpikan martabat itu. Kupujikan kini padamu sekalian, semoga kalian akan menjadi penguasa kepulauan Nusantara di kemudian hari. Sanjaya, kuberikan Keris Kyai Tunggulmanik agar kamu kelak menjadi seorang pahlawan tiada tara."
Kedua anak itu surut mundur. Mereka takut menghadapi raut muka Hajar Karangpandan yang sungguh-sungguh. Gundu matanya mencari orangtuanya masing-masing. Tiba-tiba terdengarlah suatu kesibukan di luar rumah. Tujuh orang laki-laki datang memasuki halaman, sambil berseru, "Hai pendeta busuk! Biar kaulari sampai ke ujung langit. Takkan mungkin terluput dari pengamatan kami. Hayo serahkan!"
Mendengar seruan itu, Hajar Karangpandan meloncat dari kursi dan tiba-tiba saja telah berada di depan ambang pintu. Gerakan itu sangat gesit, sehingga Wayan Suage dan Made Tantre tergugu heran.
"Ih! Kiranya kamu bangsa cecurut berani mengikuti aku," bentak Hajar Karanpandan. "Jadi kalian masih saja menginginkan kedua benda itu?"
Seorang berperawakan pendek gemuk yang rupanya menjadi pimpinan mereka lantas datang menghampiri.
"Aku bernama Gandi. Aku diperintahkan pemimpin kami untuk membawa pulang benda itu. Kauserahkan tidak?"
"Mengapa harus kuserahkan?"
"Kedua benda itu milik kami turun-temurun."
"Cuh!" Hajar Karangpandan meludah ke tanah. "Kaukira apa aku ini sampai macam tampangmu berani mengelabui mataku. Katakan kepada pimpinanmu, kalau kedua benda itu bukan milik siapa pun juga. Orang bilang, kedua benda itu milik Belanda. Kemudian diberikan kepada anak-keturunan Sultan Cirebon, asalkan mereka bersedia menjadi hamba Belanda. Kemudian entah bagai-mana kalian berhasil merampas. Atau karena bersedia menjadi begundal Belanda? Cuh! Alangkah rendah kalian. Aku seorang tua mana bisa membiarkan kamu mengangkat diri menjadi majikan?"
"Lantas?" bentak si pendek gemuk.
"Siapa saja boleh memiliki, asalkan dapat mempertahankan diri. Aku telah merampas kedua benda itu dari tangan kalian, nah akulah pemiliknya. Sekarang apa yang kalian kehen-daki?"
"Serahkan!"
"Ambillah kalau mampu."
Mendengar tantangan Hajar Karangpandan, saiah seorang dari rombongan pendatang itu menyerang dengan tiba-tiba. Hajar Karangpandan meloncat ke samping. Tetapi Gandi si pendek gemuk ikut menggencet dari samping.
Hajar Karangpandan terkejut. Meskipun demikian, ia tidak nampak berusaha membe-baskan diri. Sengaja ia ingin memperlihatkan kekuatan tubuhnya. Pukulan si pendek gemuk dibiarkan mendarat didadanya. Tubuhnya tak bergetar. Sebaliknya si pendek gemuk meng-aduh kesakitan. Kaget ia mundur selangkah. Kemudian dengan mengajak teman-temannya, ia meninju dan mengirimkan tendangan bertubi-tubi.
Hajar Karangpandan tetap tak bergerak dari tempatnya. Ia membiarkan serangan itu mengenai dirinya. Tak mau ia menghindar atau membalas. Bahkan ia tertawa terbahak-bahak merendahkan lawannya. Karuan saja mereka tercengang-cengang. Ternyata tinju dan kaki-nya seperti memukul sebongkah batu. Rasa nyeri menusuk-nusuk tulangnya.
"Apa kau ini setan atau iblis?" teriaknya.
Menyaksikan tamunya dikerubut beramai-ramai, Wayan Suage dan Made Tantre jadi gelisah. Sebagai pemilik rumah mereka merasa tak dipandang mata oleh ketujuh orang itu. Maka mereka berseru berbareng.
"Stop! Di sini bukan tempat pertarungan."
Mendadak saja si pendek gemuk mencabut pedang yang disembunyikan di dalam celana-nya, kemudian menikam Wayan Suage dan Made Tantre sekali gerak. Serangan itu mengejutkan Hajar Karangpandan. Jahanam, mengapa menikam orang luar? umpatnya dalam hati. Secepat kilat ia menangkis serangan kemudian memukul tangkai pedang dengan penasaran.
Begitu pedang si pendek gemuk terbentur pukulan Hajar Karangpandan, seketika itu juga ia mengaduh kesakitan. Ia mundur selangkah dengan pandang kagum. Dengan menggeram ia menikam. Hajar Karangpandan memiring-kan tubuhnya dan memotong pergelangan tangan. Melihat serangan itu, kawan-kawan Gandi terkejut dan bersiap-siap. Cepat mereka menyerang berbareng, sehingga Hajar Karangpandan mengurungkan sabetan tangannya.
"Kurang ajar, kalian biadab tak tahu harga diri. Mengapa menyerang orang luar?"
"Tutup mulutmu!" bentak si pendek gemuk. "Suruhlah kedua temanmu itu maju berbareng. Kalau bisa merampas pedangku, akan kusem-bah serendah tanah."
Hajar Karangpandan mendongkol mendengar ucapan si pendek gemuk.
"Eh! Apa sih susahnya merebut pedangmu; Hayo cabut pedang kalian!" bentaknya.
Benar-benar mereka mencabut pedangnya. Mereka menyerang serentak dan teratur.
Hajar Karangpandan mengerahkan tenaganya. Begitu ujung pedang sampai di depannya, ia mementil dengan jarinya. Dengan suara raungan nyaring, pedang si pendek gemuk terpental di udara. Kemudian pedang-pedang yang lain menyusul bergeroncangan jatuh ke tanah.
Wayan Suage dan Made Tantre kagum menyaksikan kepandaian Hajar Karangpandan.
Karena rasa kagumnya mereka bertepuk-tepuk tangan. Waktu itu Sangaji dan Sanjaya. yang berada di ruang dalam, duduk terpaku karena terkejut. Sapartinah dan Rukmini yang bekerja di dapur berlari ke depan ketika mendengar suara keributan. Segera mereka mendekap anaknya masing-masing dan menonton pertempuran yang berlangsung di serambi rumah.
"Eh, Tuan pemilik rumah!" seru Hajar Karangpandan tiba-tiba. "Bagus tidak permainan ini?"
"Bagus! Bagus!" sahut Wayan Suage dan Made Tantre hampir berbareng.
"Itulah berkat ayam panggang kalian. Terima kasih!"
Kemudian sambil tertawa terbahak-bahak, ia mendesak lawan-lawannya sampai mundur ke pekarangan. Hujan masih saja turun deras, sehingga mereka yang sudah basah kuyup menjadi kuyup kehujanan.
Ketujuh orang itu mendongkol diperlakukan demikian. Tiba-tiba saja mereka berjajar sambil bergandengan tangan. Hajar Karangpandan sadar, dia kini sedang menghadapi perlawanan berat. Tetapi ia berlagak merendahkan. Kepada Wayan Suage dan Made Tantre dia berkata nyaring,
"Eh, kalian masakan tinggal diam? Kalian telah diserang. Jangan biarkan musuh menang tanpa pembalasan. Inilah gara-gara pusaka Pangeran Semono yang telah kalian miliki. Pertahankan pusaka itu. Matipun tak jadi soal, karena kalian berdua telah meninggalkan warisan paling berharga pada jaman ini kepada anak-anakmu. Nah, maju dan serang! Kalau takut ngumpetlah di dalam kamar. Intip saja dari kejauhan, aku akan mewakili kalian melabrak bangsa cecurut itu."
Tajam ucapan Hajar Karangpandan, sehingga bulu kuduk Made Tantre berdiri meremang.
"Tuan! Kami pun seorang laki-laki. Minggir, biar kuterjang perusuh-perusuh yang tak tahu menghargai tuan rumah."
Ia melompat maju dan menggempur musuh. Wayan Suage tak mau ketinggalan pula. Ia menyerang dari samping. Tetapi ketujuh orang itu tak mudah diundurkan. Mereka segera mengepung dengan rapat. Dan perkelahian terjadi amat sengit.
Hajar Karangpandan berdiri di luar gelanggang. Ia melihat pertempuran itu. "Kedua orang ini bisa berkelahi. Nampaknya bekas prajurit berpengalaman. Tapi kalau melawan dengan tangan kosong, bagaimana bisa mengundurkan musuh."
Berpikir demikian, ia melompat maju. Kemudian dengan sekali mengayunkan tangan ia menyerang cepat dan dahsyat. Ketujuh orang itu ditendangnya berjungkir-balik. Pedang-pedangnya terpental di udara dan jatuh bergeroncang di tanah.
"Hoo ... Berhenti!" teriak si pendek gemuk. Kawan-kawannya berdiri tertatih-tatih di tempatnya masing-masing. Kemudian berkata agak lunak, "Apakah pusaka Bende Mataram dan keris Kyai Tunggulmanik tak berada di tanganmu lagi?"
"Kedua pusaka itu ada di dalam rumah," sahut Hajar Karangpandan dingin.
"Mereka berdua inilah yang menjadi pemilik sebenarnya. Bukan kalian!"
"Ah! Jika demikian, maaf. Tak sepatutnya kami bermusuhan denganmu. Biarlah kami kini berurusan dengan mereka berdua."
Hajar Karangpandan tertawa melalui hidungnya. Tahulah dia, kalau mereka bertujuh mau mengalihkan permusuhan.
"Eh, eh, eh, kaubilang apa? Sekali kau berani meraba tubuhnya, akan kubalas seribu tamparan. Kaudengar!"
"Aku hanya akan berbicara kepadanya," sahut si pendek gemuk agak jera.
"Pusaka itu telah ada padanya."
"Siapa nama mereka."
"Mengapa begitu bertingkah?"
"Mengenal jalan pegunungan lebih baik dari pada berjalan membabi buta."
"Bagus!" Hajar Karangpandan tercengang. Barulah sekarang ingat, kalau diapun belum mengenal nama tuan rumah. Maka buru-buru dia berkata, "Tanyalah sendiri siapa mereka."
Tanpa menunggu pertanyaan, Made Tantre menyambut, "Aku Made Tantre bekas kepala prajurit Bali Klungkung. Dia Wayan Suage kepala prajurit Bali Klungkung pula. Apa yang kalian kehendaki?"
"Kedua pusaka itu benar-benar ada padamu?"
"Kalau benar, apa yang mau kalian lakukan?"
Gandi maju selangkah. Raut mukanya yang bengis mendadak padam, dengan lunak dia berkata, "Biarlah pusaka itu kami beli. Kautinggal menyebutkan jumlah uang dan aku berjanji takkan menawar barang satu sen pun."
Made Tantre merah padam. Ia merasa dihina dan direndahkan. Dengan mengerlingkan mata pada Wayan Suage, ia menjawab lantang.
"Rumah kami sudah cukup besar. Sawah kami cukup luas pula. Uangpun kami punya.
Lagi pula pusaka itu bukan milik kami. Kami tak berhak menjualnya."
Bersambung....
No comments:
Post a Comment