Disalah satu sudut Surakarta, ada
sebuah jalan bernama Rabindranath Tagore. Tapi sayangnya, penulisan nama pada
jalan tersebut menunjukkan kesalahan besar. Tertulis Jalan Rabrin Dranath
Tagore, dengan tambahan huruf R pada Rabin, dan pemenggalan nama antara Rabrin
dan Dranath. Fenomena kecil itu menunjukkan korelasi besar.
Pertama, betapa pamongpraja yang
menulis nama jalan tersebut tidak mengetahui sejarah dan abai pada
detail-detail pentingnya. Kedua, betapa besar pengaruh Rabindranath Tagore
sehingga namanya dipakai sebagai salah satu nama jalan di kota Surakarta.
Biasanya nama-nama jalan besar di
kota besar, menggunakan nama pahlawan lokal atau nasional. Tapi untuk jalan
yang satu itu, nama Rabindranath Tagore justru dipilih untuk diabadikan sebagai
nama jalan. Apa yang membuat namanya sampai mendunia? Dan mengapa penting, nama
Tagore diabadikan sedemikian rupa.
Rabindranath Tagore lahir di
Bengali pada 7 Mei 1861. “Tagore” adalah sebutan internasional dari kata
Thakur. Jadi, ketika seorang penonton film India menyebut nama “Tuan Takhur”,
sesungguhnya nama itu mendunia berkat sumbangan Tagore pada manusia.
Salah satu sumbangannya adalah
ide dan inspirasi pendidikan yang di abadikan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam
sekolah Taman Siswa. Ide dasar Taman Siswa sesungguhnya di ilhami oleh pusat
pendidikan yang di dalamnya Tagore banyak berperan, Santhiniketan, India.
Tagore sendiri pernah melawat ke Indonesia, tepanya ke Surakarta, dan berkawan
baik dengan Ki Hadjar Dewantara. Mungkin peristiwa itu yang menjadi salah satu
alasan adanya Jalan Rabindranath Tagore di Solo.
Tagore adalah orang Asia pertama
yang menerima anugerah hadiah Nobel Sastra dari Akademi Swedia. Pada tahun
1913, saat hadiah itu diberikan, ia tak bisa datang, dan hanya berkirim
telegram singkat yang dibacakan di depan khalayak yang begitu penasaran pada
dirinya.
“Sanjungan saya pada Akademi
Swedia yang penuh apresiasi dan pemahaman yang telah membawa kedekatan atas
jarak yang terbentang. Dan telah menjadikan seorang asing (seperti saya)
sebagai saudara.”
Begitu susah menyebut identitas
Tagore dalam satu kata atau satu definisi saja. Ia seorang brahma, tapi ia juga
penyair. Ia seorang filsuf, sekaligus dramawan tradisional yang penuh inspirasi
dan kebijakan. Ia seorang musikus dan sastrawan Bengali yang sangat besar. Di
India dan Bangladesh, bagi masyarakat Hindu, namanya sudah menjadi seperti nama
nabi. Itu semua karena kearifan mendalam yang terdapat di berbagai karya
sastranya. Salah satu yang sangat berpengaruh adalah “Gitanyali”, yang telah
diterjemahkan ke bahasa Indonesia dalam banyak versi.
Ia adalah anak bungsu dari 14
bersaudara. Ayahnya, Debendranath Tagore adalah pemimpin sekte Hindu yang
sangat besar dan disegani di Bengali. Saat usianya 11 tahun, sang ayah menyelenggarakan
“Upayana”, sebuah upacara yang menandakan seorang laki-laki memasuki usia
“Brahmacari” atau masa menuntut ilmu. Setelah itu, bersama sang ayah, Tagore
berkeliling India.
Bersambung.....
No comments:
Post a Comment