Rumi, yang langsung merasakan energi
tatapan mata sang penanya menembus jiwanya, menjawab, "Nabi Muhammad lebih
agung!" Orang tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Syams, berkata lagi,
"Mengapa Nabi Muhammad? Bukankah Nabi mengatakan, 'Kami belum mengenal-Mu
sebagaimana Engkau layak dikenal', sementara Abu Yazid berseru, 'Betapa agung
kedudukanku; mahasuci dan mahatinggi diriku'?"
Rumi terdiam membisu. Ucapan Syams
seakan-akan menunjukkan Abu Yazid, yang mengaku mengalami "persatuan"
(al-ittihad) dengan Tuhan, lebih agung dibanding Nabi. Melihat Rumi terdiam,
Syams memberitahu bahwa kehausan Abu Yazid akan Tuhan terpuaskan sesudah minum
seteguk air makrifat, sementara Nabi Muhammad tak pernah terpuaskan, sebab
beliau senantiasa haus akan pengetahuan ilahi lebih banyak lagi. Jadi, justru
di sinilah keagungan Nabi Muhammad yang melebihi Abu Yazid.
Penjelasan Syams konon membuat Rumi jatuh,
menangis dan tak sadarkan diri. Kita tak tahu apa yang dirasakan oleh Rumi saat
itu, yang jelas sejak peristiwa itu Rumi berkhalwat bersama Syams selama tiga
bulan. Rumi belajar kembali dari awal tentang Cinta Ilahi.
Kisah di atas menggambarkan betapa Tuhan itu amat dekat dengan kita--"lebih dekat dari urat leher kita"-- namun sebenarnya pada saat yang sama ada jarak yang tak terhingga antara seorang hamba dengan Tuhannya. Allah itu sangat dekat namun ia pun sangat jauh pada saat yang bersamaan.
Ilustrasi berikut mungkin bisa
menyederhanakan persoalan: Ketika kita lama tak bertemu dengan orang yang kita
kasihi, di saat kita bertemu kembali kita peluk dia dengan segenap perasaan
cinta dan rindu; seakan-akan kita adalah tubuh yang satu, hati kita menyatu
dengan hatinya, hasrat dan kerinduan kita menyatu dengan hasrat dan
kerinduannya jua. Namun, pada saat itu pula kita tetaplah kita dan kekasih kita
tetaplah manusia yang lain. Begitulah, hamba tetaplah hamba; dan Allah tetaplah
sebagai Tuhan kita.
Di sinilah lahir pengakuan Nabi Muhammad
bahwa beliau belum mengenal Allah sebagaimana Allah layak dikenal. Pengakuan
ini menunjukkan tidak pernah ada kata akhir dalam mendekati dan mengenal Tuhan.
Tidak bisa seorang manusia mengklaim bahwa dia telah "bersatu" dengan
Tuhan secara utuh, penuh.
Ketika seorang hamba telah mencapai satu
maqam (kedudukan) di sisi Allah, sebenarnya ia baru saja hendak mencapai maqam
yang lebih tinggi. Tidak ada maqam atau stasiun terakhir dalam berupaya
mendekati Allah. Tidak ada kata final dalam memeluk Islam!
Di bulan Ramadhan ini kita dekati Allah
dengan penuh harap. Kita tundukkan ego kita, kita tahan lapar dan dahaga demi
untuk-Nya. Kita penuhi malam kita dengan ayat suci al-Qur'an dan shalat malam.
Boleh jadi di penghujung Ramadhan "kelas" kita telah naik; maqam kita
telah meningkat.
Selepas bulan ramadhan, di saat
"pintu-pintu neraka di buka kembali", di saat ikatan iblis telah
dilepas kembali", pada saat itulah kita menempuh ujian: apakah
"kelas" kita akan turun lagi, atau semakin meningkat?
Pertanyaan Syams, yang kemudian menghilang
secara misterius pada 1247, di atas telah mengajari kita bahwa kita sebaiknya
tak pernah puas akan amal ibadah kita. Ramadhan sebentar lagi akan berlalu,
puaskah kita hanya shalat malam di bulan ramadhan? Cukupkah bagi kita hanya
menundukkan ego di bulan Ramadhan semata?
Seperti Rumi yang bersedia merajut kembali Cinta Ilahi dari awal, semoga kita masih bersedia mencari Cinta Ilahi selepas Ramadhan nanti.Seperti Nabi Muhammad, semoga kita tak pernah puas meminum "seteguk air ilahi", di dalam Ramadhan; lebih-lebih di luar bulan Ramadhan.
No comments:
Post a Comment