Friday, January 11, 2013

MUHAMMAD ABDUH (Bag-1)


Pendobrak Pintu Ijtihad

Ia dikenal sebagai anak yang kritis. Saat remaja, ia tak melanjutkan belajar tajwid Al-Qur’an. Ia juga sempat melarikan diri ke desa lain karena dipaksa untuk meneruskan belajar tajwid oleh ayahnya. Ia mengecam sikap taqlid umat Islam karena hanya menutup pintu ijtihad. Dialah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah atau yang dikenal dengan Muhammad Abduh.

Abduh lahir di desa Mahallat Nashr, al-Buhairah, Mesir, pada 1849 M. Ayahnya, Abduh Hasan Khairullah, seorang petani kelahiran Turki, sedangkan ibunya keturunan Arab. Sejak kecil, Abduh sudah diajar membaca Al-Qur’an dan menulis.


Pada usia 13, ia dikirim ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha, sekitar 80 km dari Kairo, untuk mempelajari tajwid Al-Qur’an. Namun, sistem pengajaran disana dianggapnya menjengkelkan, dan tidak bisa dia pahami, sehingga setelah 2 tahun, Abduh memutuskan kembali ke desanya. Ia dinikahkan dalam usia 16 tahun pada 1865.

Karena terus dipaksa oleh ayahnya untuk belajar di al-Ahmadi, Abduh akhirnya melarikan diri ke desa Syibral Khit. Disitu ia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai Al-Qur’an dan menganut pemahaman tasawuf asy-Syadziliah.

Dari pamannya itulah, Abduh akhirnya menemukan pencerahan akan hakikat ilmu pengetahuan, dan mendapat semangat untuk kembali menimba ilmu di Masjid al-Ahmadi Thantha.

Sikap kritisnya terus berlanjut seiring dengan semangat belajarnya yang tak kenal padam. Ketika kuliah di Universitas Al-Azhar, Kairo, Februari 1866, ia melontarkan kritikan : “Kepada para mahasiswa hanya dilontarkan pendapat para ulama terdahulu tanpa mengantarkan kepada mereka pada usaha penelitian, perbandingan dan penarjihan”.

Di Al-Azhar, Abduh mengagumi Syaikh Hasan ath-Thawil yang mengajarkan kitab filsafat karangan Ibnu Sina, logika karangan Aristoteles, dan lain sebagainya. Abduh juga mengagumi sosok Muhammad al-Basyumi, yaitu orang yang banyak mencurahkan perhatian dalam bidang sastra dan bahasa.

Ia juga belajar dari pemikir besar Islam, Jamaluddin al-Afghani pada 1871. Ia rajin menghadiri pertemuan-pertemuan ilmiah yang diadakan oleh al-Afghani. Ia sangat tertarik pada mata kuliah filsafat dan pemikiran teologi rasional.

Akhirnya, Jamaluddin al-Afghani berhasil mengubah Abduh dari kecenderungan terhadap tasawuf dalam arti sempit, kepada tasawuf dalam arti lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan keadaan masyarakat, dan membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran Islam.

Itu dilakukan melalui pemahaman mempelajari faktor-faktor yang menjadikan dunia Barat mencapai kemajuan, guna diterapkan dalam masyarakat Islam selama faktor-faktor itu sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.

Bersambung.....

No comments:

Post a Comment