Saturday, January 4, 2014

BENDE MATARAM "Sangaji" Jilid 5C

Begitu ia memberi perintah sepuluh orang serdadu lalu menghampiri kuda. Mereka menyebar dan menubras-nubras semak-semak. Dijenguknya sungai. Mereka melihat percikan darah di bawa arus air.

Kuda itu kemudian dituntun oleh dua orang serdadu dan dibawa menghadap Mayor de Groote.

“Hm,” dengus Mayor de Groote. “Bukankah ini kudanya Kapten Willem Erbefeld?” “Benar,” mereka menjawab gemuruh. Mayor de Groote lantas merampas cambuk salah seorang serdadunya. Lalu dicambukkan ke kepala Sangaji.

“Dia bersembunyi di mana? Bilang!” ia menggertak bengis. “Jangan kau berdusta. Nyawamu ada di tanganku, kautahu setan cilik?”

Willem Erbefeld yang bersembunyi di dalam goa air, mengikuti peristiwa di atas tebing dan mendengarkan setiap pembicaraan, la menggenggam hulu pedang sambil menggertak gigi, tatkala mendengar cambuk meletus menampar kepala Sangaji. la kenal tabiat Mayor de Groote yang gila pada pujian. Bocah itu pasti akan dianiaya semaunya sampai mengaku. Biarlah aku keluar saja mengadu nyawa, pikirnya.

Sangaji kesakitan kena cambuk. Tetapi ia tak mau merintih, la tahan rasa sakitnya. Lantas berteriak, “Mana aku tahu dia bersembunyi di mana.”

“Setan cilik! Kau dapat sogokan berapa?” bentak Mayor de Groote. Pada saat itu masalah sogokan sudah menjadi umum. Orang menggunakan istilah itu untuk memuaskan rasa sangsinya.

“Aku tak tahu! Aku tak tahu!”

Tatkala itu rombongan serdadu yang melihat percikan darah segera memeriksa sungai.

Diketemukan pula dua jejak kaki yang berlainan. Satunya bertelanjang kaki, lainnya bersepatu. Terang itulah jejak kaki Sangaji. Serdadu-serdadu itu lalu melaporkan.

“Hm. Apa kau bilang sekarang?” bentak Mayor de Groote. “Mau ngaku tidak?”

Sangaji tahu tak dapat dia mengelakkan tuduhan itu. Tetapi ia nekad. Jeritnya lagi. “Apa yang harus kukatakan? Aku tak tahu! Aku tak tahu!”

Mayor de Groote mengayunkan cambuknya lagi. Mendadak didengarnya derap barisan dari arah belakang. Itulah barisan Gubernur Jenderal P Vuyst.

Mayor de Groote mengurungkan niatnya. Cambuk dilemparkan ke tanah. Dan bergegas ia memutar kudanya menyambut kedatangan Gubernur Jenderal. Ia melompat dari kudanya dan melihat Gubernur Jenderal Vuyst menderita karena lukanya.

Darahnya terus merembes keluar meskipun kakinya telah dibebat kencang-kencang. Ia nampak gusar dan memerintahkan Mayor de Groote mencari Willem Erbefeld sampai ketemu. Ingin ia menawan kapten itu dan mau menghukum dengan tangannya sendiri untuk memuaskan hatinya.

“Kudanya telah tertangkap. Jejaknyapun telah kami ketahui,” lapor Mayor de Groote.

“Aku mau orangnya yang tertangkap, bukan kudanya. Mana dia?”

Didamprat begitu Mayor de Groote mengalihkan rasa mendongkolnya kepada Sangaji. Serentak ia berpaling ke arah Sangaji. Kemudian dengan menghunus pedang ia menghampiri.

“Kau bilang tidak?” bentaknya.

Sangaji tetap membandel. Karena itu Mayor de Groote menghajar kepalanya dengan gagang pedang. Darah lantas saja mengucur. Tetapi justru melihat darahnya sendiri keberanian Sangaji muncul.

“Tak mau aku bilang. Tak mau aku bilang,” teriaknya.

Gubernur Jenderal memperhatikan bocah itu. Ia tersenyum tatkala mendengar ucapannya. Kapten Doorslag dibisiki, “Bujuk dia dengan cara lain agar mau mengaku. Dia berkata tak mau bilang, bukan berkata tak tahu.”

Kapten Doorslag tersenyum pula. Yakinlah dia, kalau Sangaji mestinya tahu dan berusaha membebaskan diri dari tuduhan. Hanya dia salah ucap.

“Bocah!” kata Kapten Doorslag lembut. “Berbicaralah yang benar! Kuberi hadiah ini.”

Kapten Doorslag mengangsurkan sebilah belati. Tetapi Sangaji tetap mengulangi teriakannya, “Aku tak mau bicara!” Mayor de Groote kehilangan kesabarannya. Ia merampas cambuk serdadu yang berada di dekatnya. Kemudian menghajar Sangaji bolak-balik sehingga jatuh bergelimpangan. Keruan Sangaji menderita kesakitan. Darahnya mengucur dan seluruh badannya bergarit-garit babak-belur.

“Ceburi sungai! Aduk airnya! Gerayangi tebing-tebingnya. Pasti dia ada di situ,” perintahnya lagi.

Sangaji dengan Willem Erbefeld baru kali itu bertemu. Meskipun demikian ia bersedia membela dan melindungi. Ada dua sebab. Pertama, karena ia kagum kepada kegagahan Willem Erbefeld. Kedua, jelas karena pengucapan naluriah, la memiliki jiwa luhur. Sesuatu hal yang tak dapat diajarkan oleh manusia.

Demikianlah, tatkala mendengar Mayor de Groote memberi perintah mengaduk sungai, ia jadi nekat. Kenekadan ini timbul dengan mendadak. Hal ini disebabkan letupan rasa amarah karena dianiaya sampai kesakitan.

“Jangan aduk! Jangan aduk!” teriaknya berulang kali.

Mayor de Groote lantas saja dapat menebak teka-teki itu. Ia tertawa berkakakkan sambil menghajar lebih keras sebagai hukuman orang berdusta. Mendadak di luar dugaannya Sangaji terus menubruk kakinya dan menggigit keras-keras. Keruan dia berkaok-kaok kesakitan. Cambuknya diayunkan dan disambarkan sejadi-jadinya sambil berusaha merenggutkan diri. Tetapi Sangaji sudah nekat, la memeluk kaki Mayor de Groote erat-erat dan menggigit lebih keras lagi sampai giginya bergetaran.

Mayor de Groote kelabakan. Ia berputar-putar. Mulutnya berkaok-kaok. Menyaksikan kejadian itu Kapten Doorslag tertawa terpingkal-pingkal. Juga Gubernur Jenderal Vuyst.

Melihat Gubernur Jenderal tertawa, serdadu-serdadu yang bersikap segan kepada Mayor de Groote lantas saja tertawa meledak. Mereka tak segan-segan lagi.

Karena rasa sakit tak terperikan lagi Mayor de Groote melemparkan cambuk. Kini mengalihkan pedangnya yang digenggam di tangan kiri ke tangan kanannya. Kemudian menumbuki kepala Sangaji dengan gagang pedang. Dua kali ia menumbuk kepala Sangaji. Dengan mendadak didengarnya suara beriuh. Ternyata Willem Erbefeld muncul dari tebing sungai. Dengan menekan dada ia menghampiri Mayor de Groote dan menendang perutnya. Mayor de Groote terpental. Sangaji ikut pula terbanting. Gigitannya lantas saja terlepas.

Sambil membangunkan Sangaji, Willem Erbefeld mendamprat. “Kausiksa seorang kanak-kanak, apa tidak malu?”

Mayor de Groote tertatih-tatih bangun, la menderita kesakitan luar biasa. Daging pupunya semplak. Darahnya merembesi celananya. Perutnya seakan-akan terasa hampir meledak pecah. Ia tak dapat berbicara. Wajahnya pucat. Napasnya tersengal-sengal.

Serdadu-serdadu lantas saja mengepung Willem Erbefeld rapat-rapat. Tetapi Willem Erbefeld tak mengenal takut. Dengan tenang ia menyapukan pandangan. Kemudian berkata kepada Gubernur Jenderal Vuyst dengan meludah. “Sayang! Sayang! Mengapa VOC akhirnya jatuh ke tangan manusia-manusia rendah semacam ini.”

Semenjak VOC dibentuk Oldenbarneveld pada tanggal 20 Maret 1602 “kekuasaan di Indonesia dipegang oleh Gubernur Jenderal dengan dibantu oleh Raad van Indie. Sekarang tiba-tiba orang mendamprat begitu rupa kepada seorang Gubernur Jenderal. Keruan saja Gubernur Jenderal Vuyst menjadi gusar.

“Apa kau bilang?”

“Aku bilang, manusia-manusia ini tak mempunyai moral,” sahut Willem Erbefeld. “Dia sudah dapat menyiksa seorang anak di bawah umur. Dan seorang macam itu kau gunakan sebagai perwira pengawal pribadi. Bukankah pengawal itu mencerminkan hati yang dikawal?”

Gubernur Jenderal P Vuyst lantas menghunus pedang. Willem Erbefeld tidak gentar. Ia tentang pedang itu dengan pandang tajam.

“Kau bunuhlah aku! Aku takkan melawan.” katanya dengan keras.

Gubernur Jenderal menggigil menahan marah. Tetapi ia mengurungkan niatnya menyabet pedang. Ia pandang Willem Erbefeld tanpa berkedip.

“Siapa kau sebenarnya!”

“Willem! Willem Erbefeld. Aku keluarga pemberontak. Leluhurku dihukum pancung. Nah, hukumlah aku!” sahut Willem Erbefeld dengan berani. “Tetapi aku mau mati secara kesatria. Sayang, di sini tidak seorangpun yang berhati jantan.”

Gubernur Jenderal Vuyst berpaling kepada Mayor de Groote.

“De Groote! Kau kena tendangnya. Kau kuberi kehormatan untuk berduel. Hukum dia!” perintahnya.

Perintah itu mana menyenangkan hati Mayor de Groote. Ia lagi kesakitan. Tapi mengingat Willem Erbefeld luka parah pula, timbullah keberaniannya. Lantas saja ia mencari pedangnya yang terpental dari tangan. Lalu maju menghampiri dengan menahan perutnya yang terasa sakit luar biasa.

Willem Erbefeld telah menghunus pedang. Maka kedua Orang itu lantas saja bertarung. Para serdadu membuat pagar arena. Mereka menahan napas. Dalam hatinya, mereka menyokong Mayor de Groote. Sebaliknya Sangaji berdoa untuk kemenangan Willem Erbefeld.

Willem Erbefeld tak berani bergerak dan menggunakan tenaga yang tak perlu. Ia hanya menangkis dan berkisar seperempat atau setengah langkah. Tetapi sabetan pedangnya cepat dan bertenaga.

Mayor de Groote mana mau mengalah bertempur di depan Gubernur Jenderal Vuyst. Meskipun perut dan kakinya kesakitan, ia berkelahi dengan penuh semangat. Ia cerdik lagi. Tahu kalau musuhnya luka parah di dadanya, ia merangsak hebat. Ia mau mengaduk tenaga lawannya. Dengan cara demikian ia mengharap lawannya letih sendiri karena kehilangan banyak darah.

Willem Erbefeld sadar akan kelemahannya sendiri. Tetapi ia seorang kapten yang gagah berani. Ia melayani rangsakan Mayor de Groote dengan tenang. Mendadak pundaknya kena tersabet pedang, la jatuh miring. Sangaji terperanjat. Sebaliknya serdadu-serdadu bersorak penuh kemenangan.

Mayor de Groote berbesar hati melihat tikamannya mengenai. Tetapi ia terlalu tergesa-gesa membusungkan dadanya. Ia kehilangan kewaspadaan. Tatkala menyabetkan pedang hendak mengakhiri pertarungan hatinya sudah beralih kepada Gubernur Jenderal mengharap mendapat pujian.

Ia lengah. Kelengahan itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Willem Erbefeld. Memang ia mengetahui tabiat lawannya itu yang merupakan titik kelemahan. Sengaja ia membiarkan pundaknya terkena tikaman pedang. Tetapi mendadak ia menusuk tubuhnya dengan menggulungkan diri. Pedang Mayor de Groote menusuk tanah. Karena hebatnya tenaga yang dikeluarkan pedangnya sampai tertancap kuat. Willem Erbefeld lantas saja membabatkan pedangnya ke lengannya. Mayor de Groote memekik terkejut. Sedetik itu ia sadar akan kesalahannya. Tetapi pedang tak mempunyai mata dan pendengaran. Dalam sedetik itu lengannya terputung menjadi dua. la memekik tinggi dan tubuhnya roboh di atas tanah.

Bersambung......

No comments:

Post a Comment