Friday, January 3, 2014

BENDE MATARAM "Sangaji" Jilid 5B

Sekonyong-konyong dari arah timur muncullah seorang panglima dengan mengenakan pakaian perisai. Ia menjengkelit sepucuk senapan. Lantas menembak. Dan tiang panjipanji VOC yang digenggam Mayor de Groote patah berantakan.

“Bagus!” seru Gubernur Jenderal P Vuyst.

Sekali lagi si panglima itu menembak. Dan tiang bendera kebangsaan Belanda runtuh pula. Mayor de Groote kaget. Tetapi Gubernur Jenderal tak memperhatikan hal itu. la menegakkan kepala. Matanya mencoba menajamkan penglihatannya.

“Bagus! Penembak jitu. Siapa dia?” Teriaknya nyaring.

Berbareng dengan kata-kata pujian terdengar lagi ia menembak. Dua orang pengawal yang melindungi Gubernur Jenderal jatuh terjengkang tak bernapas. Mayor de Groote menggigil cemas.

“Apa kita lepaskan tembakan tanda serbuan serentak?” Mayor de Groote berteriak.

“Sebentar lagi,” sahut Gubernur Jenderal P Vuyst.

Terdengar lagi tembakan bersuing. Gubernur Jenderal P Vuyst kaget. Kakinya kena tembakan dan peluru senapan orang itu menembus perut kuda. Serentak ia rubuh ke tanah. Kudapun rubuh setelah kedua kaki depannya meninju udara.

Seluruh pasukan pengawal terkejut bukan kepalang. Mereka gusar bercampur cemas.

Tetapi Gubernur Jenderal P Vuyst bangkit kembali. Kemudian memberi perintah, “Lepaskan tembakan tiga kali, kita menyerbu berbareng.”

Dengan perintah itu tembakan tanda serbuan dilepaskan ke udara. Dari balik gundukan dan dari arah barat muncullah dua pasukan besar, pimpinan perwira Speelman dan Kapten Doorslag. Mereka menyerbu serempak dengan teriakan-teriakan dan tembakan-tembakan bergemuruh. Mayor de Groote yang memimpin pengawal Gubernur Jenderal lantas saja memberi aba-aba maju menyerang.

Diserang dari tiga jurusan pasukan Dua Belas Majikan seketika jadi berantakan. Mereka tadi sedang menyerbu serentak. Kini mendadak didesak dan dirangsak dari samping. Keruan saja mereka keripuhan dan mundur sejadi-jadinya.

Panglima yang mahir menembak yang berada di belakang pasukan penyerbu Dua Belas Majikan, lantas saja berteriak-teriak menghadang, “Jangan kacau! Bertahan dan serang!”

Tetapi usahanya sia-sia belaka. Dia bahkan kena, diterjang mundur sampai kudanya berputar-putar berkisar dari tempatnya. Senapannya tak dapat digunakan lagi. Dia bagaikan sebuah perahu tanpa kemudi lagi dan mau tak mau terseret-seret arus. Lambat-laun, ia terpisah. Sisa pasukan Dua Belas Majikan telah lari berserabutan meninggalkan gelanggang.

“Tangkap dia!” perintah Gubernur Jenderal P Vuyst.

Beberapa puluh serdadu berkuda lantas saja mengaburkan kudanya dan berbareng mendesak. Melihat gelagat buruk panglima itu memutar kudanya dan lari mengarah ke gundukan Sangaji.

Hebat panglima itu. Sambil melarikan kudanya ia menembak. Tembakannya jitu tak pernah luput. Itulah sebabnya tujuh delapan serdadu pengejar jatuh terjungkal dari atas kudanya. Yang berada di belakangnya jadi terhalang. Mereka terpaksa menyibakkan kudanya dulu, baru mulai mengejar lagi, dengan demikian panglima itu dapat meloloskan diri.

Sangaji kagum melihat sepak terjang panglima itu. Pandang matanya tak pernah lepas daripadanya.

Mendadak saja panglima itu menelungkupi punggung kudanya. Ternyata ia kena tembakan berondongan dari kejauhan. Di kaki gundukan sebelah timur ia terpelanting dari kudanya dan jatuh terbanting di tanah.

Tubuhnya terus bergulungan dan terbaring di depan Sangaji.

Sangaji terperanjat. Tersentak oleh rasa kagumnya, ia menghampiri. Muka panglima itu penuh debu. Dadanya berlepotan darah, la terluka parah. Tetapi ia masih berusaha merangkak-rangkak sambil tangannya mencabut pedang. Tubuhnya bergoyang-goyang, matanya bersinar merah. Masih saja ia tampak garang.

“Tolong ambilkan air!” Katanya ketika melihat Sangaji.

Sangaji tertegun. Pikirannya bekerja. Mendadak teringatlah dia air sungai. Sangaji lantas lari menuruni gundukan menghampiri sungai. Setelah sampai di tepi sungai matanya celingukan mencari daun. Ia mendapat daun itik. Cepat-cepat ia menyenduk air dan dibawa hati-hati kepada panglima itu.

“Ini air sungai,” katanya.

Panglima itu tak mempedulikan. Air itu disambarnya dan terus diminum. Baru saja mulutnya menempel air, darah dari dadanya terkucur membasahi tangan. Lukanya benar-benar parah. Sedikit saja bergerak, darah terus menyemprotkan. Ia rubuh di tanah. Wajahnya pucat lesi, tetapi nampak gagah.

Sangaji terperanjat. Tak tahu dia apa yang harus dilakukan. Ia hanya berjongkok mendekati. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benak. Cepat ia menanggalkan bajunya dan dibuatnya membebat luka panglima itu.

Panglima itu ternyata seorang Indo Belanda. Namanya Willem Erbefeld. Ternyata dia salah seorang keturunan Pieter Erbefeld yang berontak melawan kekuasaan VOC pada tahun 1721 dengan kawannya Kartadriya.

Beberapa saat kemudian, Willem menyenakkan mata.

“Adik kecil ... kaupunya senjata bidik?” katanya perlahan.

“Punya.”

“Bagus. Ambilkan aku air lagi.”

Sangaji lari kembali ke kali. Ia memetik setangkai daun itik lagi dan menyenduk air dengan cepat. Setelah sampai, ia menolong meminumkan air.

“Terima kasih, adik yang baik,” bisik Willem. “Kau mengorbankan bajumu untuk lukaku.”

Willem kemudian merogoh sakunya dan mengeluarkan segenggam mata uang. Diulurkan mata uang itu kepada Sangaji. “Adik yang baik, terimalah uang ini untukmu.”

Sangaji menggelengkan kepala. “Aku dilarang menerima apa pun juga sebagai balas jasa.” “Siapa yang melarangmu?” “Ibu.”

Willem tercengang. Lalu tertawa terbahak-bahak. Tetapi justru dia tertawa darahnya menyemprot lagi. Berbareng dengan itu didengarnya derap kuda makin mendekat.

“Adik!” ia terkejut. “Mana senjata bidikmu?”

Sangaji merogoh sakunya dan mengeluarkan katapelnya. Diangsurkan katapel itu ke Willem. Willem yang tadinya mengharapkan memperoleh senapan, menjadi lesu melihat katapel. Tetapi ia tertawa lebar.

“Adik yang baik ... aku mau bertempur. Bukan mencari burung.”

Sangaji bingung. Tak dapat ia menebak maksud orang itu. Willem lantas saja tertawa berkakakan.

“Terima kasih, adik. Kau sudah berusaha memenuhi permintaanku. Tetapi maksudku senjata bidik ialah senapan. Bukan katapel.”

“Senapan? Aku tak punya,” ujar Sangaji.

Willem sadar akan kekeliruannya sendiri. Pikirnya, mana bisa seorang kanak-kanak mempunyai senapan. Dia bukan anak kompeni. Mendapat pertimbangan itu, dia tertawa lagi,

“Ah ... akulah yang salah. Sekarang minggir! Aku akan bertempur melawan mereka dengan pedang ini.”

“Kauluka parah ... tak bisa melawan mereka seorang diri. Kenapa tak sembunyi saja?”

Willem heran oleh usul itu. “Di mana aku bisa bersembunyi?”

Sekarang Sangaji yang terkejut. Ia menyapukan pandangannya. Tidak dilihatnya seonggok gerumbulan. Tiba-tiba dia teringat akan terowongan air di dalam sungai. Gap-gap ia berkata, “Di dalam tebing sungai kulihat ada sebuah terowongan. Mungkin goa ... mungkin pula ...”

Willem lantas saja bangkit. Ia harus mengambil keputusan cepat. Bertempur dalam keadaan luka, tanpa senjata pula adalah tidak mungkin. Lawan begitu banyak jumlahnya. Satu-satunya yang harus dilakukan ialah bersembunyi.

“Baik. Kuserahkan nyawaku padamu, adik yang baik. Tunjukkan tempatnya!”

Dengan tertatih-tatih Willem menghampiri sungai. Sangaji membimbingnya dan segera menunjukkan terowongan tanah. Tanpa menimbang-nimbang lebih jauh, Willem lantas saja menceburkan diri ke dalam sungai dan berenang memasuki terowongan. Ternyata terowongan itu sebuah goa air. Di sana orang bisa bersembunyi semaunya dan selama mungkin tanpa gangguan, asalkan membawa makanan.

“Aku takkan menunjukkan pada siapa pun,” teriak Sangaji.

Tatkala itu pasukan pengejar sudah hampir tiba di kaki gundukan. Sangaji cepat-cepat kembali ke atas gundukan dan bertiarap di atas tanah, la pandai berlaku tenang. Seperti, seseorang yang lagi mengintip suatu pertempuran tadi.

Tak lama kemudian pasukan pengejar tiba di atas gundukan. Mayor de Groote yang memimpin pengejaran melihat Sangaji. la menarik kendali sambil bertanya kasar, “Hai bocah! Kaulihat orang lari dengan kuda?”

Serdadu-serdadu lainnya lantas datang mengepung. Sangaji nampak bergemetaran karena takut.

“Ya, aku lihat.”

“Di mana?” mereka berbareng menegas.

“Ke sana!” dia menuding ke utara. “Dia kena tembakan.”

“Hm,” serdadu-serdadu itu sangsi. Mayor de Groote lantas memerintah serdadu-serdadunya. “Bawa kemari bocah itu!”

Sangaji digiring menghampiri Mayor de Groote. Ia telah mengambil suatu keputusan.

Biar aku dihajar, aku takkan menunjukkan tempatnya bersembunyi.

Sangaji menatap ke Mayor de Groote dengan berani. Teringatlah dia, kalau perwira itulah yang memimpin pasukan pengawal Gubernur Jenderal di kaki gundukan. Dia pulalah yang berhasil merebut panji-panji VOC tetapi tiangnya lantas kena tembak panglima yang lagi bersembunyi.

“Apa bilangnya bocah ini?” ia bertanya kepada serdadu-serdadunya dengan kasar. Dilihatnya sekitarnya. Di sebelah utara ia melihat seekor kuda tanpa penunggang lagi meng-gerumuti rumput. Lantas dia menuding sambil berkata keras, “Bukankah itu kudanya? Cari dia! Pasti ada di sekitar tempat ini!”

Bersambung....

No comments:

Post a Comment