Sunday, January 5, 2014

BENDE MATARAM "Sangaji" Jilid 5D

Para serdadu gusar bukan main. Mereka merangsak maju. Tetapi Gubernur Jenderal melarang mereka bertindak.

“Aku mau ia mati puas. Jangan sampai kita disebut perempuan,” katanya nyaring.

Willem Elbefeld nampak kehabisan tenaga. Darahnya menyemburi dadanya. Wajahnya pucat. Tubuhnya bergoyang-goyang. Napasnya naik ke leher. Meskipun demikian ia memaksa diri untuk berbicara.

“Aku bisa membunuhnya. Tapi aku menghendaki suatu pertukaran.”

“Apa maksudmu?”

“Satu nyawa ditukar dengan satu nyawa.”

Serdadu-serdadu menggerendeng mendengar perkataanya. Tetapi Gubernur Jenderal Vuyst tersenyum.

“Kamu ingin kubebaskan? Baiklah. Akupun seorang laki-laki. Kamu kubebaskan.”

Tetapi Willem Erbefeld menggelengkan kepala. Sahutnya, “Bukan untukku. Tapi aku menghendaki agar anak itu dibebaskan dari segala hukuman.”

Gubernur Jenderal Vuyst tercengang-cengang mendengar kata-kata Willem Erbefeld. Sampai-sampai ia tak percaya kepada pendengarannya sendiri. Diam-diam ia mengagumi. Sekarang kesannya berbalik. Kalau tadi ia menaruh dendam, kini mendadak merasa sayang.

“Hm. Kau tak sayang nyawamu sendiri. Jangan menyesal! Pertimbangkan lagi. Apa gunanya membela bocah Bumiputra?”

Willem Erbefeld tersenyum pahit.

“Bocah ini belum pernah berkenalan denganku. Namun ia berani mengorbankan keselamatannya sendiri. Kalau bocah sekecil ini sudah berani mengorbankan nyawa, aku yang sudah berumur hampir setengah abad mengapa sayang pada nyawa sendiri. Aku dididik keluargaku untuk menghormati jiwa besar dan watak jantan. Aku merasa takluk padanya. Dan bukan kepada ancaman serdadu-serdadu rendahan tak berarti ini.”

Tajam perkataannya, tetapi Gubernur Jenderal Vuyst malahan kian tertarik.

“Baiklah, bocah itu kami bebaskan dari segala hukuman. Sekarang tentang dirimu sendiri. Siapa yang kautantang lagi? Pilihlah di antara perwira-perwiraku.”

Tanpa berkedip Willem Erbefeld menjawab, “Semuanya maju berbareng, itulah permintaanku.”

“Kau berani melawan?” Gubernur Jenderal Vuyst menebak-nebak.

“Aku tidak melawan. Tidak ada gunanya aku melawan, karena aku sedang luka parah.”

Kesunyian terjadi. Gubernur Jenderal Vuyst mengalihkan pandang ke Kapten Doorslag, “Kau maju! Habisi dia!”

Kapten Doorslag menghunus pedang. Kemudian berkata dengan takzim. “Perintah Gubernur Jenderal akan kami lakukan. Tetapi izinkan kami berbicara.”

“Bicaralah!”

“Dia terluka parah. Dengan sekali tebas kami sanggup menghabisinya. Tetapi bagi kami itu bukan tugas yang terhormat. Bagaimana tidak? Karena aku pasti tak mendapat perlawanan yang layak. Namaku akan dikutuknya sampai ke alam baka sebagai laki-laki rendahan. Sebaliknya dia mati sebagai seorang laki-laki. Mati karena dikerubut banyak orang. Itulah sebabnya apabila Gubernur Jenderal menyetujui, ampunilah dia.”

Gubernur Jenderal menjatuhkan pedangnya ke tanah. Ia mendengar rintih Mayor de Groote. Timbulah pikirannya, perwira pengawalku tidak dapat memenuhi tugasnya lagi dengan sempurna. Dia telah cacat. Mengapa aku tak mengharapkan bantuan orang itu?

Mendapat pikiran begitu lantas dia berkata nyaring kepada Willem Erbefeld. “Apakah kamu masih akan melawan kami?”

Dengan memaksa diri Willem Erbefeld maju tertatih-tatih.

“Aku menghendaki mati terhormat. Seumpama seseorang dijatuhi hukuman mati, perkenankan aku memohon satu kali permintaan.” Ia berhenti mengesankan. “Tak sudi dan tak rela aku, kalau yang membunuh diriku adalah seorang yang sederajat denganku. Aku minta agar Gubernur Jenderal sendiri yang menjatuhkan hukuman.”

Mendengar permintaan orang itu, Gubernur Jenderal Vuyst tertegun. Memang ia ingin menghukum orang itu dengan tangannya sendiri. Tapi justru karena orang itu mengucap demikian, hatinya seperti kena ditusuk kaget.

“Mengapa aku?” tanyanya tergagap.

“Aku sudah menembak dan melukai Gubernur Jenderal. Sudah sepantasnya Gubernur Jenderal sendiri yang menghukum aku,” sahut Willem Erbefeld. Dan ia lantas berlutut di hadapannya mengangsurkan lehernya.

Jawaban Willem Erbefeld tanpa disadari mengenai tepat relung hati Gubernur Jenderal Vuyst lagi. Dia makin tertegun. Akhirnya setelah berdiam menimbang-nimbang, ia berkata agak lunak.

“Aku melihat keperwiraanmu. Aku kagum padamu. Ingin aku mempunyai seorang perwira seperti dirimu. Seumpama kamu kuberi ampun, bagaimana?”

Pemberian ampun ini sama sekali tak terduga. Sekaligus terlihatlah dua kesan pengucapan yang bernilai besar. Yang pertama, membuktikan kebijaksanaan Gubernur Jenderal Vuyst yang dapat melihat jauh. Kedua, memperoleh kesetiaan penuh dari seorang perwira yang sama sekali tak mengharapkan hidup lagi.

Willem Erbefeld menggigil seluruh tubuhnya. Lantas saja dia membungkuk hormat sambil menjawab pertanyaan Gubernur Jenderal setengah bersumpah.

“Mulai hari ini aku bersedia mati untuk Gubernur Jenderal Vuyst. Aku berhutang nyawa.”

Gubernur Jenderal Vuyst tertawa berkakak-kan. Serdadu-serdadu dan para perwira tercengang-cengang karena sama sekali tak mengira kalau peristiwa besar itu berakhir demikian rupa. Mereka sampai tertegun dengan kepala kosong.

Gubernur Jenderal Vuyst lantas mengangsurkan pedangnya sambil merogoh saku.

“Pedangku ini kuberikan kepadamu. Mulai sekarang kau ikut aku. Dan ini terimalah gajimu yang pertama.”

Ternyata Gubernur Jenderal Vuyst mengeluarkan sekantung uang emas dan dilemparkan kepada Willem Erbefeld. Dengan senang hati, Willem Erbefeld menerima pedang dan diciumnya. Sedang terhadap kantung emas dia berkata, “Izinkanlah saya menghadiahkan uang emas ini kepada si bocah. Dialah jem-batan emas bagi kami.”

Mendengar kata-kata Willem Erbefeld, Sangaji terperanjat. Ia berteriak, “Tak boleh aku menerima uang jasa! Tak boleh aku menerima uang jasa!”

Semenjak tadi Gubernur Jenderal Vuyst tertarik kepada Sangaji. Mendengar ucapannya, ia bertanya, “Siapa yang melarang?”

“Ibu. Ibu.”

Gubernur Jenderal Vuyst tertawa lebar. Ia memberi isyarat kepada sekalian serdadunya meninggalkan gundukan itu. Kepada Willem Erbefeld dia berkata, “Emas itu adalah gajimu. Kau boleh mempergunakan sesuka hatimu. Bawalah anak itu menghadap padaku.”

Lalu berangkatlah dia mengarah ke kota. Barisan pengawal segera mendampingi dan mengiringi. Sedangkan serdadu-serdadu bawahan Mayor de Groote mengangkat tubuh Mayor de Groote hati-hati.

Willem Erbefeld girang bukan main. Ia seperti kejatuhan rembulan dari langit. Sesudah nyawanya lolos dari kematian, ia mendapat majikan yang bijaksana. Karena girangnya ia membiarkan diri mendekam di atas tanah sambil beristirahat. Kemudian memanggil Sangaji.

“Adikku yang baik ... mulai sekarang kau adalah bagian jiwaku. Di mana rumahmu? Yuk, kita pulang bersama ...”

Sangaji habis mendapat ganjaran cambuk dan hulu pedang. Tadi tak dirasakan penderitaannya, karena hatinya marah dan tegang. Kini sesudah marabahaya berlalu dan mendengar suara panggilan lembut rasa sakitnya mulai terasa merunyam dalam dirinya. Langkahnya sempoyongan. Tatkala hampir menyentuh tubuh Willem Erbefeld, ia jatuh pingsan tak sadarkan diri.

Bersambung....

No comments:

Post a Comment