Pada Era Mandat Inggris
Pada Perang Dunia 1, dibawah komando Jenderal Edmund Allenby, Inggris berhasil menguasai Palestina (1971) dari Kesultanan Ottoman. Kemudian, pada 1922 melalui Konferensi Lausanne, Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memberikan kepercayaan kepada Britania Raya (Inggris) untuk mengatur mandat bagi Palestina.
Dibawah Mandat Inggris pada 1922-1948, populasi penduduk di Palestina meningkat sangat drastis akibat migrasi kaum Yahudi dari berbagai negara. Akibatnya, dua pertiga wilayah Palestina didiami orang Yahudi, sementara orang Arab (umat Islam dan Kristen) hanya mendiami sekitar sepertiganya.
Pembagian Palestina
Pada 947, PBB membentuk Komite untuk Palestina atau United Nations Committee on Palestine (UNSCOP). Komite yang terdiri dari 11 orang ini tidak mencapai kesepakatan dalam menyelesaikan permasalahan Palestina.
Sebagian merekomendasikan agar wilayah Palestina dibagi menjadi dua negara: negara Yahudi dan negara Arab. Sebagian lagi merekomendasikan supaya Yerusalem dijadikan kota internasional.
Setelah negara Israel/Yahudi di proklamirkan pada tahun 1948, PBB pada tahun 1949 mengeluarkan undang-undang yang membagi Palestina menjadi dua bagian. Pihak Yahudi mendapatkan daerah pesisir sekitar Tel Aviv, daerah di sekitar danau Galilea, dan daerah di Gurun Negev; Yerusalem dan Betlehem berada dibawah kendali internasional; adapun pihak Arab memperoleh sisanya, termasuk sebuah enklave kecil Jaffa di sebelah Tel Aviv. Secara kuantitatif, pihak Yahudi mendapat sekitar 55 persen dari total area tanah Palestina, sementara pihak Arab hanya mendapat 45 persen.
Sayangnya, pembagian wilayah ini tidak berjalan seperti yang diharapkan. Pasalnya, Israel masih terus berusaha mencaploknya. Setelah memenangkan peperangan pada 1967, Israel menggabungkan al-Quds (Yerusalem) dan kota-kota Palestina lainnya ke dalam wilayah negara mereka. Mereka juga mencaplok Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan di Suriah, Sinai di Mesir, dan menguasai Lebanon selatan pada 1402 H / 1982 M.
Ketamakan mereka belum berakhir. Mereka senantiasa mengumandangkan mimpi besarnya, yaitu mendirikan negara Israel Raya. Mereka selalu menolak seluruh resolusi yang dikeluarkan PBB, yang menuntut pencabutan kembali tanah-tanah lain yang dirampas masih tetap berada dibawah penjajahan Zionis.
Dari luas wilayah Palestina yang sekitar 27.010 kilometer persegi, seluruhnya berada di bawah penjajahan Israel. Hanya sebagian kecil dari wilayah itu yang berada di bawah kekuasaan Palestina. Data tahun 1419 H / 1998 M menunjukkan bahwa jumlah penduduknya mencapai 7.200.000 jiwa.
Yerusalem
Bermula dari keputusan Komite PBB untuk Palestina atau UNSCOP tahun 1947, status Yerusalem kemudian ditetapkan menjadi kota internasional. Untuk menjadikan Yerusalem sebagai kota internasional, statusya adalah (wilayah yang terpisah, rezim khusus). Penetapan ini terjadi enam bulan sebeuahlum deklarasi kemerdekaan negara Israel ( 15 Mei 1948). Hal ini berarti bahwa Yerusalem berada dalam kewenangan PBB. Yerusalem tidak bisa diklaim sebagai bagia wilayah Israel.
Setelah perang Israel-Arab tahun 1948, pada 13 Desember 1949, Perdana Menteri Israel kala itu, David Ben-Gurion, menyatakan pihaknya tidak akan menghormati resolusi PBB perihal status Yerusalem sebagai kota internasional. Bahkan, pada 1950, Israel mengklaim kota ini sebagai ibu kota negara mereka. Kemudian setelah perang 1947, secara de facto Yerusalem dikuasai Israel hingga kini.
Status kota Yerusalem, terutama tempat-tempat suci, masih menjadi masalah inti konflik Israel-Palestina sampai sekarang. Kota yang luasnya 123 kilometer persegi dan berada dalam hukum internasional ini merupakan sebuah warisan dunia yang dilindungi oleh PBB (UNESCO). Namun, sepanjang sejarahnya, Yerusalem telah dihancurkan lebih dari dua kali, dikepung 23 kali, diserang 52 kali, dan dikuasai ulang 44 kali.
Sekalipun Israel telah memiliki Tel Aviv sebagai ibu kota negaranya, Yerusalem juga diklaim sebagai ibu kota Israel. Para elit Israel menganggap kota suci ini bagian dari negaranya dan itu adalah bentuk ideologi Zionisme. Meskipun klaim ini tidak diakui secara internasional, namun secara de facto kota ini berada dalam "penjajahan" Israel.
Jika menimbang latar belakang sejarah, agama, dan penduduknya yang multietnis dan multi agama, tentu Palestina yang berhak atas tanah tersebut. Hal ini sudah dibuktikan oleh pemerintahan Khalifah "Umar bin Khattab' hingga pemerintahan-pemerintahan Islam berikutnya. Pada masa-masa itulah kehidupan masyarakat yang damai, sejahtera, serta toleran benar-benar terwujud di tanah Yerusalem.
Dalam sebuah pidato yang amat bersejarah di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 10 Mei 1994, mendiang Presiden Palestina Yaseer Arafat menegaskan bahwa tidak benar jika Yerusalem dianggap ibu kota negara Israel. Tidak ada bukti bahwa Yerusalem merupakan ibu kota mereka.
Dalam kesempatan lain, Arafat pun menandaskan bahwa sesungguhnya Yerusalem milik Palestina. Keberadaannya telah dan akan tetap menjadi ibu kota Palestina.
>>><<<<
No comments:
Post a Comment