TUJUH tahun lewatlah sudah tanpa cerita dan kisah. Tetapi pada suatu hari, di pinggiran kota Jakarta nampaklah seorang pemuda tanggung berumur empat belas tahun duduk merenung-renung di tepi kali. Pandangnya tiada beralih dari permukaan air, seolah-olah hendak menempati dasarnya. Dialah Sangaji, anak Rukmini dan Made Tantre.
Tujuh tahun yang lalu Rukmini minggat dari pondokan sewaktu Kodrat lagi menghubungi tangsi-tangsi kompeni Belanda hendak mencari pekerjaan. Jakarta bagi dia masih sangat asing. Kecuali pergaulan hidupnya juga bahasanya. Tetapi dia sudah bertekad. Dan kalau seseorang telah dibangkitkan tekadnya, ia tak akan ragu lagi untuk maju.
Dua minggu lamanya dia hidup tak berketentuan. Tidurnya di teritisan rumah dan makannya diatur sehemat mungkin. Sebuah kalung emas yang masih dikenakan, dijual sejadi-jadinya. Dalam hati ia berdoa semoga kalung emas itu dapat menyambung umur sampai nasib buruk terkikis habis.
Hati Rukmini sedih bukan main. Pada malam hari atau pada waktu-waktu senggang selalu saja dia teringat suaminya, rumah-tangganya, kebahagiaannya, kampung halamannya dan anaknya seorang ini yang terpaksa pula harus menderita. Peristiwa begini belum pernah terlintas dalam pikirannya sewaktu masih hidup tenteram damai di desanya.
Pada suatu malam ia tidur diteritisan rumah seorang haji. Sangaji dipeluknya erat-erat. Mendadak terdengarlah gerit pintu. Kagetlah dia, segera Sangaji dipeluknya makin erat.
Tampak seorang laki-laki keluar pintu dengan berjalan tertatih-tatih. Melihat Rukmini dan Sangaji orang itu menegur, “Siapa kalian?”
Rukmini belum pandai berbahasa Melayu. Karena gugupnya ia menjawab dalam bahasa Jawa.
“Kula tiyang kesrakat .”
Secara kebetulan haji itu ternyata seseorang yang berasal dari Indramayu . Ia mengerti bahasa Jawa. Segera ia menegas minta keterangan dan Rukmini terpaksa mengisahkan riwayat: perjalanannya.
“Masyaallah ... di dunia ini kenapa ada kejadian begitu,” haji itu mengeluh dalam. “Mengapa di Jawa-pun ada peristiwa semacam pembakaran kampung Cina !”
Haji itu bernama Idris bin Lukman. Dia seorang yang berhati baik. Mendengar riwayat kesengsaraan Rukmini segera ia mengulurkan tangan. Ia bawa Rukmini masuk ke dalam rumahnya. Disediakan sebuah bilik. Dan semenjak malam itu Rukmini ikut padanya.
Dua tahun kemudian Rukmini telah mempunyai simpanan uang agak lumayan jumlah-nya. Hasil keringat sebagai pembantu rumah tangga Haji Idris, la kini sudah dapat menyesuaikan diri dengan kampung halamannya yang baru. Timbullah keinginannya untuk mencoba hidup sendiri, la menyewa sebuah rumah sederhana. Kemudian membuka warung makanan dan panganan masakan Jawa. Dapatlah dibayangkan betapa sibuknya ia mengatur perjuangan hidup ini. Masakan Jawa kala itu belum dikenal orang-orang Jakarta. Perjuangan hidupnya timbul tenggelam tak menentu, la tetap gigih sampai lima tahun lagi lewat tanpa suara.
Sangaji tumbuh menjadi seorang laki-laki yang kuat tubuhnya dan cerdik. Gerak-gerik-nya cekatan, karena dibentuk alam penghidupan kota besar yang serba cepat. Kesibukannya sehari-hari belajar mengaji dan menjadi kuli kasar orang-orang Tionghoa di kota perdagangan .
Pada hari itu ia lagi iseng, la dolan keluar kota dengan membawa katapel dan pancing. Kalau aku bisa membawa pulang beberapa ekor burung dan ikan, alangkah senang hati Ibu, pikir Sangaji.
Tetapi ia gagal mencari burung. Terpaksa kini mencurahkan perhatiannya ke kali. Tat-kala pancingnya diturunkan ke kali ia melihat sebuah lubang besar semacam terowongan yang menusuk dinding sungai. Dilihatnya terowongan itu. la berpikir tentang sarang ikan. Apa ini juga sarang ikan?—pikirnya. Atau sarang kura-kura?
Mendadak selagi ia sibuk berpikir terdengarlah di kejauhan suara derap kuda. Tak lama kemudian derap-derap kuda yang lain. Lantas suara lengking terompet. Lantas suara gen-derang, disusul tembakan-tembakan senapan.
Sangaji terperanjat, la lari mendaki gundukan tanah yang ada di depannya melihat ke jauh sana. Nampak debu tebal mengepul ke udara, lalu muncullah suatu pasukan kompeni. Berapa jumlah mereka tak dapatlah dia menghitung. Hanya kepala pasukan itu terdengar berteriak-teriak melepaskan aba-aba dan perintah. Pasukan itu lantas terpecah menjadi dua bagian ke timur dan ke barat. Yang mengarah ke timur seregu serdadu berpakaian hijau. Yang mengarah ke barat berpakaian hitam lekam.
Sangaji tertarik hatinya. Rasa takutnya hilang. Tetapi karena serdadu-serdadu kerap-kali melepaskan tembakan ia lantas bertiarap dan terus mengintai.
Tak lama kemudian barisan yang memecah menjadi dua bagian nampak teratur rapi. Terdengar suara terompet dari arah selatan. Muncullah kemudian beberapa barisan lagi yang dikepalai oleh seorang perwira bertubuh agak kegemuk-gemukan. Perwira itu berpakaian mentereng. Berjas tutup dengan bulu putih sebagai penutup leher. Dia mengenakan sebatang pedang di pinggang kiri.
Barisan yang memecah diri menjadi dua bagian, mendadak berhenti. Mereka menunggu. Begitu pasukan yang datang dari arah selatan tiba, mereka menyerbu dengan cepat dan garang. Pertempuran segera terjadi .
Pihak penyerang berjumlah lebih sedikit daripada yang mempertahankan diri. Meskipun berkesan gagah berani, tetapi lambat laun terdesak mundur. Tetapi dari arah belakang, datanglah lagi bala bantuan yang terdiri dari tiga pasukan besar. Mereka lantas saja datang menyerang. Kini jumlah mereka berimbang. Masing-masing pantang menyerah.
Sekonyong-konyong terdengarlah bunyi genderang dan terompet riuh sekali. Mereka menyerang kemudian berteriak-teriak nyaring. “Barisan menyibak! Gubernur Jenderal Mr. P Vuyst datang!”
Mendengar teriakan itu, seluruh pertempuran berhenti dengan tiba-tiba. Mereka mengalihkan perhatian. Pandang mereka mengarah kepada suatu pasukan besar yang datang dengan perlahan-lahan.
Sangaji ikut mengalihkan perhatian. Dilihatnya pasukan itu sangat berwibawa. Nampak pula sehelai bendera raksasa berwarna merahputih-biru berkibar-kibar ditiup angin. Lantas terdengar suara teriakan nyaring, “Serang! Gubernur Jenderal berkenan menyaksikan!
Mendengar teriakan itu pasukan penyerang lantas saja mulai menyerbu. Pertempuran sengit berulang lagi. Debu mengepul ke udara menutup penglihatan. Pasukan penyerang kali ini nampak bersemangat. Mereka tak kenal takut lagi. Dengan semangat bertempur itu, mereka dapat mengacaukan lawannya.
Panji-panji raksasa yang berada jauh di selatan, bergerak mendaki sebuah gundukan tinggi. Sangaji yang bermata tajam mengarahkan penglihatannya ke atas gundukan. Di sana ia melihat seorang perwira tinggi perkasa duduk tenang-tenang di atas pelana kudanya. Perwira itu mengenakan pakaian baju perang yang dilapisi perisai. Kain lehernya ditebali oleh segulung kain putih. Lengan pergelangan tangan dihiasi penebal berwarna putih pula. Pada pinggangnya tergantung seleret pedang panjang, la menumpahkan seluruh perhatiannya ke arah gelanggang pertempuran. Disamping-nya berdiri dua regu kompeni yang siap menembak. Pedang-pedangnya terhunus pula.
Tak lama kemudian keadaan gelanggang pertempuran berubah. Pasukan penyerang dipukul mundur. Perwira berkain leher putih
yang memimpin serangan memutar kudanya dan lari mendaki bukit. Ia meloncat dari kudanya dan berteriak nyaring kepada Gubernur Jenderal Vuyst.
“Musuh tak terkalahkan. Mereka terdiri dari pasukan Dua Belas Majikan .”
Gubernur Jenderal Vuyst kelihatan tenang-tenang saja.
“Bawalah dua ratus serdadu darat. Pergilah ke balik gundukan itu. Dua ratus pasukan berkuda pimpinan Kapten Doorslag, suruhlah melarikan diri ke arah barat. Sisanya biar bertahan sebisa-bisanya. Tapi dengarkan! Jika kau mendengar bunyi tembakan tiga kali, kalian harus menyerbu berbareng.” Katanya memberi perintah.
Perwira muda itu lantas saja mengundurkan diri. Ia mencari Kapten Doorslag dan menyampaikan perintah Gubernur Jenderal. Kemudian terjadilah suatu keributan. Pasukan penyerang ditarik mundur. Mereka lari berpencar seolah-olah kalah perang. Melihat itu pasukan Dua Belas Majikan bersorak gemuruh.
Dengan pimpinan seorang kapten pula, mereka menyerbu. Kini mengarah ke gundukan tinggi di mana Gubernur Jenderal Vuyst berada. Keruan saja pasukan pengawal Gubernur Jenderal gugup bukan main. Mereka lantas mempertahankan diri dengan dipimpin Mayor de Groote.
“Lindungi Gubernur Jenderal! Lainnya ikut menyerbu!” perintahnya garang.
Pertempuran kini menjadi seru sengit. Masing-masing berusaha mencapai tujuan. Pedang, golok, belati, pistol dan senapan mulai berbicara. Hawa pembunuhan mengaung-ngaung di sepanjang gelanggang.
Sangaji tertegun menyaksikan pertempuran hebat itu. Hatinya ikut berkebat-kebit. Ia melihat suatu pertarungan simpang-siur. Yang sebagian lari berpencar. Lainnya menyerang dan merangsak. Lainnya lagi saling bertubrukan. Sudah barang tentu pertempuran menimbulkan korban terlalu banyak. Mayat-mayat berserakan dan bertumpuk-tumpuk. Kuda-kuda yang kehilangan penunggang berlari-larian menubras-nubras sejadi-jadinya.
Pasukan pengawal Gubernur Jenderal Mr. P Vuyst ternyata didesak mundur. Mayor de Groote gugup. Secepat kilat ia datang menghadap Gubernur Jenderal Vuyst.
“Pasukan pengawal tak sanggup bertahan,” katanya.
“Hm,” sahut Gubernur Jenderal. “Kenapa tak sanggup bertahan? Kalau berlagak mau mengambil kekuasaan VOC sudah tak mampu, bagaimana akan sanggup mengurusi tanah jajahan yang tersebar luas di bumi kepulauan ini? Hai, jangan sekali-kali lagi bilang sebagai seorang mayor gagah perkasa!”
Didamprat demikian Mayor de Groote berdiri gemeteran. Wajahnya terus berubah. Mendadak saja ia merampas pistol seorang serdadu dan menyerbu dengan menghunus pedangnya. Ia mengamuk seperti orang gila. Pedangnya berputaran seperti kitiran. Sebentar saja tiga orang musuh dirobohkan.
Seregu barisan yang diserbu Mayor de Groote mundur ke barat. De Groote terus menyerang. Pistolnya kini mulai berbicara. Sepak terjangnya ini ditiru oleh serdadu-serdadunya. Mereka lantas menyerbu.
Mendadak de Groote melihat sebuah panji-panji bertuliskan VOC berkibar-kibar di tengah-tengah barisan Dua Belas Majikan. Segera ia melompat dan menyerang. Dengan sembilan sepuluh tebasan pedang, ia berhasil merangsak maju. Panji-panji VOC kena dirampasnya. Ia gembira. Cepat-cepat ia mengundurkan diri sambil membawa panji-panji rampasan.
Diacungkan panji-panji itu di depan Gubernur Jenderal hendak mencari pujian.
“Sudah dapat kurampas! Apa sudah tiba saatnya kita melepaskan tiga kali tembakan tanda serbuan serentak?” teriaknya.
“Bagus! Kau bisa merampas panji-panji VOC. Tetapi serbuan serentak belum tiba saatnya. Mereka belum lelah.”
De Groote jadi gelisah sendiri. Barisan lawan gusar menyaksikan panji-panji kebesarannya terampas. Selama malang-melintang di seluruh kepulauan Nusantara belum pernah sekali juga terampas panji-panji kebesarannya. Itulah sebabnya mereka lantas saja menyerbu dengan gagah berani. Terdengar teriakan-teriakan mereka.
“Serbu! Tangkap hidup-hidup Vuyst jahanam!”
Barisan pengawal Gubernur Jenderal P Vuyst kian menipis. Mereka bertahan mati-matian. Mayor de Groote tertegun sambil menggenggam tongkat panji-panji erat-erat. Ia belum dapat mengambil keputusan tetap.
Bersambung.....
No comments:
Post a Comment