Sunday, October 13, 2013

BENDE MATARAM - "Salah Paham" Jilid 3h

komik bende mataram
Setelah berkata begitu, ia menyeret Kodrat ke luar pekarangan. Kemudian larilah ia secepat angin. Dan mau tak mau, Kodrat terpaksa ikut berlari pula. Di bawah pengawasan pamannya dia tak bisa main gila lagi.

Pada saat itu Hajar Karangpandan telah meninggalkan Desa Segaluh. Ia kembali ke Desa Karangtinalang. Tujuannya hendak mencari jejak yang lain. Dia telah tahu di mana Kodrat berada. Jaga Saradenta telah mengabarkan perihal seorang kemenakan yang datang di rumahnya. Siapa lagi kalau bukan dia. Dengan demikian, dia tinggal minta pertanggungjawaban Jaga Saradenta. Jika melindungi kemenakannya, ia sudah mempunyai keputusan. Seluruh keluarga Jaga Saradenta akan dihabisi nyawanya.

Tatkala sampai di Desa Karangtinalang ia menjenguk tempat dia menghajar orangnya Kodrat. Dilihatnya ia masih menggeletak di tanah dengan mengerang-ngerang kesakitan.

“Nah, dengarkan!” bentaknya.


Mendengar suaranya, mereka menjadi ketakutan. Tetapi mereka tak berdaya apa pun juga. Terdengar suara Hajar Karangpandan. “Kalian masih kuampuni. Sekarang aku minta keterangan yang jelas. Siapa yang bicara benar akan kuampuni. Yang tidak, akan kudepak mati. Tahu!” Ia berhenti sejenak. “Di mana teman-temanmu yang lain? Jawab!”

la menghampiri orang yang menggeletak di sebelah utara. Orang itu diam tak menyahut. Tak mau dia berkhianat. Lagi pula apa gunanya? Tadi dia ikut menerangkan siapa Kodrat itu. Akibatnya ia mendapat ganjaran begitu rupa. Sebaliknya Hajar Karangpandan tak sabar. Sekali depak matilah orang itu.

Menyaksikan keganasannya, mau tak mau yang lain jadi terpengaruh. Yang menggeletak di sebelah barat segera berkata sebisa-bisanya, “Mereka bertugas mengikuti jejak. Pusaka di bawa lari.”

“Bagus! Kau kuampuni,” kata Hajar Karangpandan. Setelah berkata begitu dua orang lainnya didepaknya mati. Sedang yang berbicara tadr diinjak lehernya hingga pingsan tak sadarkan diri.

Hajar Karangpandan menghampiri rumah Wayan Suage dan Made Tantre. Ia menyelidiki tapak-tapak kaki. Sebentar saja dia telah menemukannya, tetapi hari masih saja gelap gulita. Meskipun demikian, ia tak putus asa. Di waktu fajar hampir menyingsing, nampaklah tapak-tapak kaki di mana-mana dengan cukup jelas. Segera ia melesat dengan kecepatan yang tak terlukiskan.

Beberapa waktu kemudian, sampailah dia di atas gundukan tinggi. Pandangnya menyapu, la melihat titik-titik hitam. Itu mereka! Mendadak dilihatnya asap mengepul tebal. Hutan yang berdiri berleret di kaki pegunungan nampak terbakar.

“Jahanam! Apa mereka sedang membakar tempat persembunyiannya Wayan Suage,” ia khawatir. Untuk menghambat pembakaran hutan itu, ia mengumpulkan seluruh tenaganya. Napasnya dipusatkan ke perut.

Kemudian sambil mendongak ke udara ia berteriak tak ubah Guntur Sejuta . Suaranya oergelora menusuk udara. Burung-burung yang menginap di atas pohon-pohon, kaget beterbangan. Batang pohon-pohon tergetar pula. Daun-daun kering runtuh bertubrukan.

Kemudian larilah ia amat pesat. Dia mengulangi teriakannya dua kali lagi. Pada teriakan yang ketiga kalinya, sampailah dia di tepi hutan. Segera ia menurunkan tangan ganas untuk membangunkan pengaruh tertentu. Empat orang mati terjengkang sekaligus.

“Mana Wayan Suage?” Ia membentak sambil membekuk korbannya yang kelima.

“Siapa Wayan Suage?” sahut orang itu menggigil. Orang itu benar-benar belum mengenal nama buruannya. Tapi Hajar Karangpandan menduga lain. Ia mengira, orang itu mengecohnya. Maka tanpa memberi kesempatan lagi, ia mengemplangnya mati.

Yang lain jadi ketakutan, mereka saling bersuitan mengabarkan tanda bahaya. Tetapi Hajar Karangpandan berlalu sangat cepat, la melesat terbang tak ubah seekor burung garuda dan membunuh mati dua orang lagi. Kini tinggal dua orang yang masih hidup. Ia menyabarkan diri agar mendapat keterangan. Bentaknya, “Mana Wayan Suage?”

Seperti yang lain mereka menyahut, “Siapa Wayan Suage?”

“Bangsat! Pusaka itu! Bukankah kalian mau merampok pusaka itu?”

“Dia ... dia di sana ... seorang pemuda bersamanya...” orang itu menuding ke lautan api.

Betapa hebat pengaruh kata-kata itu terhadap Hajar Karangpandan tak dapat terlukiskan. Dengan mata liar ia merenungi nyala api. Hatinya serasa hampir meledak.

“Apa pemuda itu pimpinanmu?” dampratnya.

Dua orang itu akan membuka mulut, mendadak Hajar Karangpandan telah menerkam dahsyat. Mereka terpental ke udara dan menghembuskan napasnya yang penghabisan sebelum tubuhnya terbanting di tanah.

Hebat gempuran itu. Dia berhasil menewaskan sembilan orang seorang diri. Sebabnya, karena mereka telah merasa ngeri terhadapnya. Mereka telah kena gertak sebelum bertempur.

Hajar Karangpandan menggeram seperti seekor singa. Pandangannya tak beralih dari .autan api. Tiba-tiba ia meloncat ke dalam ian terbang menjelajah hutan yang sedang terbakar. Tetapi meskipun berkulit kebal, tak seseorang pun tahan berenang dalam lautan zvi. Sebentar saja, dia melesat ke luar dan berdiri tertegun dengan hati terguncang hebat.

Tatkala itu dia menoleh, pandangnya bentrok aengan pandang mata seorang pemuda yang terdiri gagah di tepi sungai. Itulah Wirapati murid keempat Kyai Kasan Kesambi.

Tanpa berbicara lagi, Hajar Karangpandan antas saja menyerang. Wirapati terkejut. Cepat ia menghindar sambil mengirimkan sodokan. Hajar Karangpandan terkejut. Pikirnya, orang ini bisa mengelakkan seranganku sambil menyerang, ini hebat. Ia mengulangi lagi lebih dahsyat.

Hajar Karanpandan mempunyai watak mau menang sendiri. Sebaliknya Wirapati bukan pula orang sembarangan. Dia angkuh dan tinggi hati. Selain itu seluruh hatinya bersujud kepada perguruannya. Menurut kepercayaannya, tidak ada ilmu lain yang bisa menandingi imu perguruannya. Demikianlah, jika mendapat serangan lagi tak mau dia mengelak. Ia ingin mencoba-coba seperti yang dilakukannya pada orang Banyumas. Kesudahannya ia menumbuk batu.

Karena begitu tangannya kebentrok, seketika itu juga terpentallah dia tiga langkah. Tetapi Hajar Karangpandan pun mundur terjengkang selangkah.

Wirapati kaget bukan main. Sadarlah dia. kalau sikap keagung-agungan akan membahayakan diri sendiri. Maka sekarang bersikap waspada dan hati-hati.

Hajar Karangpandan mempunyai kesan pula. Ia kagum pada kekuatan si pemuda. Biasanya orang tak tahan menerima pukulannya. Tetapi meskipun pemuda itu tahan menerima pukulan, terpental juga tiga langkah.

“Bagus!” ia memuji. “Tapi hari ini kaubakai mampus di tanganku! Sayang, sayang! Punya kepandaian begitu hebat, kenapa jadi bangsat?”

Wirapati tahu, orang itu salah duga. Tetapi dia terlalu tinggi hati untuk menjelaskan kesalahpahaman itu. Cepat ia siaga.

Ketika itu, Hajar Karangpandan menyerang lagi dengan garangnya. Tangannya yang kanan mencengkeram mengarah kepala, sedangkan yang kiri menyodok tulang rusuk. Wirapati cukup waspada. Ia mengendapkan diri sambil mengirimkan tendangan.

Sodokan Hajar Karangpandan kebentur kakinya, la terguling ke samping dan tepat (pada saat cengkeraman Hajar Karangpandan turun ke bawah. Suatu kesiur angin menyambar lambungnya. Sikunya lantas digerakkan sambil menjejak kaki.

Hajar Karangpandan tahu bahaya. Mau tak mau terpaksa ia meloncat mundur. Dia luput dari serangan itu. Kemudian menerjang menerkam dada. Wirapati menundukkan kepalanya sambil menyapu kaki.

Hajar Karangpandan tak sempat mengelak. Betisnya kena terhajar. Tetapi Wirapati kena ditubruk pundak kirinya. Keduanya bercucuran keringat dingin. Kemudian berdiri tegak sambil mengatur napas.

Hajar Karangpandan jadi panas hati. la merangsak lagi dengan benturan-benturan dahsyat. Wirapati tak berani mengadu tenaga, la melesat menghindari sambil mengayunkan tangan. Dengan demikian, pertarungan bertambah seru. Masing-masing dapat bergerak dengan gesit dan cekatan.

Kala itu di pinggir gelanggang berdirilah dua orang laki-laki yang mengawasi pertarungan tanpa mengedipkan mata. Mereka adalah Jaga Saradenta dan Kodrat.

Jaga Saradenta berkesan lain, setelah menyaksikan kebakaran itu. Ia mencurigai Kodrat dan berniat menghapuskan diri dari salahi sangka. Sebagai seorang yang jujur tak su<% dia memihak kepada orang yang salahi, Meskipun orang itu kemenakannya sendiri: Maka diringkuslah lengan kemenakannya dai* dibawa lari mengikuti jejak kaki Hajar Karangpandan.

la kalah cepat dalam hal berlari. Lagi pula, ia dibebani berat badan kemenakannya yang ikufc berlari ogah-ogahan. Meskipun demikian, ia mencoba mengejar. Sesampainya di tepi hutan dilihatnya dua orang lagi bertempur seru. Legalah hatinya demi nampak berkelebatnya Hajar Karangpandan. Tetapi siapakah pemuda itu? Ia minta penjelasan kepada kemenakan-nya.

“Apa dia termasuk salah seorang bawahanmu?” bentaknya bengis.

Kodrat menggelengkan kepala.

“Bagaimana yang benar?” bentaknya lagi. Mendadak ia melihat mereka meloncat mundur dua langkah.

“Hai, siapa kau sebenarnya? Bilanglah sebelum mampus!” Kata Hajar Karangpandan nyaring.

“Apa perlu menyebut nama?” sahut Wirapati.

Hajar Karangpandan mendongakkan kepala sambil tertawa meriah.

“Bagus! Bagus! Kaumampus tanpa nama, jangan salahkan aku Hajar Karangpandan. Nah, kaudengar sudah namaku. Kau tak perlu lagi penasaran di alam kuburmu.”

Wirapati tersenyum, “Mengapa kamu meracau tak keruan? Siapa bilang Wirapati akan mati? Aku murid keempat Kyai Kasan Kesambi bagaimana mungkin gampang mau kaupunahkan?”

“Hm!” Hajar Karangpandan meludah ke tanah. “Ayo, kita buktikan!”

Lantas saja dia menyerang cepat. Wirapati menangkis. Ia kena gempur sampai mundur selangkah. Kemudian membalas menyerang dengan cepat pula. Keduanya menggunakan serangan-serangan berbahaya dan mematikan.

Syahdan, ketika Jaga Saradenta mendengar disebutnya nama sahabatnya yang bermukim di Gunung Damar terkejutlah dia. Ah, dia murid sahabatku. Kalau sampai terluka parah, aku tidak bisa berpeluk tangan, pikirnya. Ia yakin, kalau murid Kyai Kasan Kesambi takkan mungkin berbuat sesuatu hal yang rendah. Sedangkan Hajar Karangpandan bertempur dengan suatu tuduhan tertentu. Menduga demikian, ia jadi gelisah.

Akhirnya dia berseru, “Tahan! Tahan! Ayo kita bicara!”

Dalam suatu pertempuran sengit, sudah barang tentu seruan Jaga Saradenta tak menggubris. Hajar Karangpandan yang mengenal suara Jaga Saradenta malah mendakwa yang bukan-bukan.

.”Kamu kawanan bangsat, ayo maju sekalian!” dampratnya.

Dia lantas memperhebat serangannya. Sebentar saja Wirapati kena dirangsak mundur sampai ke tepi batas lautan api. Karuan sajaj Jaga Saradenta mendongkol berbareng khawatir. Mengingat kepada guru Wirapati, dia terus melompat membantu dan mengirimkan gempuran.

“Monyet!” maki Hajar Karangpandan. “Kamu kira aku mau lari lintang-pukang?”

Wirapati heran mendapat bantuan itu. Dia mau menebak-nebak siapa orang itu, mendadak Hajar Karangpandan telah menyerangnya bengis. Terpaksa dia memusatkan seluruh perhatiannya dan membalas menyerang.

Hajar Karangpandan jadi keripuhan dikerubut dua orang, meskipun Jaga Saradenta bertempur dengan setengah hati. Maklumlah, dia tak menghendaki pertempuran itu. Kalau sekarang sampai mengadu kekuatan sematamata karena terpaksa, demi melihat murid sahabatnya terangsak mundur. Eh, ternyata dia bukan orang sembarangan, pikir Hajar Karangpandan. Untung dia tidak muda lagi. Kutaksir umurnya kira-kira 70 tahun. Kalau kupaksa bertempur berputaran, akan kulihat apa napasnya masih panjang. Sambil berpikir begitu, segera ia mengadu kegesitan. Seakan-akan seekor burung garuda ia menyambar cepat dan rapih dia menyerang bertubi-tubi. Jaga Saradenta tak sanggup pnengikuti gerakan itu. Cepat-cepat ia menutup diri. Dadanya dilindungi dan ia merendahkan badan. Sebaliknya Wirapati dapat mengimbangi kegesitan Hajar Karangpandan. Dengan menjejak tanah ia memotong tiap serangan, tetapi ia menghindari suatu perbenturan karena merasa diri tak sanggup menandingi tenaga lawan.

Bersambung....

No comments:

Post a Comment