Saturday, October 12, 2013

BENDE MATARAM - "Salah Paham" Jilid 3g

komik bende mataram
Melihat itu, isteri Jaga Saradenta tahu diri. Segera ia mengundurkan diri, memasuki dapur memasak air teh.

“Nah, katakan!” desak Jaga Saradenta.

Tetapi apa Paman mau menolong?” ujar Kodrat. “Celakalah nasibku, kalau Paman tak peduli.”

Terangkan dulu. Biar kupertimbangkan.” Jaga Saradenta terpengaruh.

Tadi sore aku dolan ke rumah pelara-lara . Di sana aku berjumpa dengan seorang perempuan cantik yang berasal dari Wonosobo. Perempuan itu membawa anaknya ...”

“Hm ... macammu!” bentak Jaga Saradenta. Kalau ibumu masih, bagaimana kamu berani memandang mukanya. Apa untungnya mengumbar nafsu birahi begitu rupa? Bedebah!”

“Dengarkan dulu Paman,” rengek Kodrat mengambil hati. “Sebenarnya tak biasa aku dolan ke rumah pelara-lara. Aku datang ke sana semata-mata karena suatu laporan. Katanya di rumah itu ada seorang perempuan yang dirundung nasib buruk terpaksa menjual diri. Ternyata laporan itu setengah benar. Perempuan dan anaknya itu sebenarnya terculik oleh seorang bangsat yang membutuhkan uang. Dia lantas dijual kepada pengurus rumah pelara-lara. Menyaksikan perlakuan itu. aku tak bisa tinggal diam. Kemudian, perempuan dan anaknya itu kurampas dan kulindungi. Tetapi pengurus rumah pelara-lara itu bilang, kalau perempuan itu disediakan untuk kepentingan serdadu-serdadu Belanda. Sebentar malam, mereka akan datang, pengantarnya telah dikirimkan terlebih dahulu.”

“Lantas!” Jaga Saradenta tak sabar. Darahnya mendidih mendengar kisah rekaan itu.

“Aku bilang tak takut dan kubawa perempuan dan anaknya itu. Niatku mau kuantarkan ke Wonosobo. Mendadak aku dikejar seorang yang berpakaian pendeta. Si begundal kompeni. Aku diancam, dihardik dan akhirnya kutempur dia sebisa-bisanya. Jahanam betul dia kuat seperti kerbau. Lenganku hampir dipatahkan.”

“Ah!” potong Jaga Saradenta. Darahnya meluap. Tetapi pikirannya dapat berjalan tenang. Ia melemparkan pandangan melihat Rukmini dan Sangaji, ia menuding, “Apa dia yang kaumaksudkan?”

“Ya ... dialah gara-gara peristiwa ini. Tapi niatku pasti. Bagaimana pun juga, akan kuantarkan dia sampai ke kampung halamannya.”

“Apa betul?” teriak Jaga Saradenta kepada Rukmini.

Pandang mata Rukmini bergetaran. Ia ragu-ragu. Kemudian ia melihat mata Kodrat menyala tajam. Tangannya meraba hulu hatinya. Maka dengan terpaksalah ia mengangguk.

“Janganlah Paman desak begitu rupa!” Kodrat menyesali. “Peristiwa yang menimpa dirinya, sudah cukup menghina kehormatannya.”

Jaga Saradenta menunduk dalam. Pikirnya, benar juga ujar bocah ini. Tak sopan aku mendesak dia agar bicara.

“Sekarang di mana pendeta bangsat itu?” katanya kepada Kodrat.

“Tadi dia mengejar-ngejarku. Pasti dia segera datang ke sini.”

“Hm ...” Jaga Saradenta berpikir keras. “Dia seorang pendeta, katamu? ... hm, mustahil dia berbuat begitu. Mustahil dia di rumah pelara-lara.”

“Aku bilang dia mengenakan pakaian pendeta. Apa dia benar-benar seorang pendeta! hanya iblis yang tahu. Bukankah seorang begundal kompeni bisa saja mengenakan pakaian yang dikehendaki.”

Kata-kata Kodrat masuk akal. Maka orang tua itu benar-benar terjebak. Serentak ia berdiri sambil berkata memerintah. “Bawalah dia masuk! Biar dia istirahat di bilik sebelahJ Lantas kauikut aku keluar.”

“Paman! Biarlah aku bersembunyi di dalam saja ... A a aku takut benar pada bangsat itu...”

“Kucing!” maki Jaga Saradenta. “Bagaimana mungkin aku punya kemenakan yang licik?”

Tetapi Kodrat tak mengenal malu. Sudah terlanjur basah kuyup. Permainan tidak boleh berhenti di tengah jalan. Segera dia berkata minta belas-kasih. “Bunuhlah aku di sini saja. daripada menanggung malu di depan pendeta cabul. Tadi dia telah memakiku begitu rupa, sampai-sampai nama bapak-ibu, Paman dan ia semuanya ... semuanya diseret-seret. Mulut pendeta cabul itu begitu kotor!”

Jaga Saradenta diam menimbang-nimbang. Akhirnya diluluskan permintaan kemenakannya. Rukmini dan Sangaji dipanggilnya dan iantarkan masuk ke bilik. Kodrat sangat gembira. Dia tak usah mengkhawatirkan kemungkinan-kemungkinan yang bnerugikan. Segera ia memasuki bilik itu juga isambil menjaga Rukmini serapi mungkin.

“Kodrat!” tiba-tiba terdengar Jaga Saradenta perkata. “Kuatkah pendeta itu?”

“Dia kuat seperti kerbau. Tinjunya tak terlawan.”

Jaga Saradenta diam agak ragu-ragu. Katanya lagi, “Baiklah, aku akan menghadapinya sebisaku. Tapi seumpama aku kalah, larilah kau ke timur. Carilah sebuah gunung yang terletak di sebelah utara Bagelen. Gulung itu bernama Gunung Damar. Di kaki Gunung Damar sebelah timur ada dusun bernama Sejiwan. Aku mempunyai seorang sahabat bernama Kyai Kasan. Dia seorang sakti. Di dusun itu ia membuka sebuah perguruan. Muridnya lima orang. Jika kamu datang atas namaku, pasti dia mau menolong kesulitanmu. Kaudengar pesanku ini?”

“Ya, Paman,” sahut Kodrat sambil menelan [ludah. “Tetapi aku yakin, Paman dapat mengalahkan bangsat itu.”

Jaga Saradenta kemudian keluar pintu. Dia berdiri di tengah serambi depan sambil menyalakan pelita. Waktu itu Desa Segaluh sunyi sepi. Alam seolah-olah berhenti berbicara. Tiba-tiba ia mendengar langkah orang. Ia melompat dan lari ke pekarangan. Ditajamkan matanya. Dan nampaklah seorang laki-laki berpakaian pendeta menghampiri pintu pagar. Dialah Hajar Karangpandan.

Setelah ia disesat-sesatkan oleh orangnya Kodrat, lambat-laun sadarlah dia. Segera dia membentak, “Di mana dia?”

“Dia siapa?” orang itu membalas bertanya.

“Kodrat.”

“Kodrat? Masyaallah ...” bawahan itu terbeliak. “Tuan mencari Kodrat? Bukankah Tuan sudah berjumpa?”

“Yang mana?” Hajar Karangpandan menjadi gusar.

“Tadi... yang Tuan bekuk di depan gardu.”

“Ah! Kenapa kalian tak mau bilang! Jahanam!” maki Hajar Karangpandan. Dengan penuh kemarahan dihajarnya mereka habis-habisan. Kemudian ia lari mengejar.

Sebagai seorang yang telah mempunyai banyak pengalaman dalam perantauan, dengan cepat ia dapat mencium jejak buruannya. Dia hanya tertinggal beberapa saat. Tatkala Kodrat berada di dalam rumah Jaga Saradenta, dia telah melintasi Desa Segaluh. Sebentar dia berputar-putar. Ketika jejak Kodrat tak diketemukan, yakinlah dia kalau Kodrat pasti berada di sekitar Desa Segaluh. Kembalilah dia ke desa itu dengan niat hendak mengaduk-aduk seluruh penduduk.

Gntuk melaksanakan niatnya itu, ia datang serlebih dahulu ke Gelondongnya. Ia hendak minta ijin. Secara kebetulan Gelondong Jaga Saradenta telah menghadangnya. Begitu dia masuk ke halaman, mendadak saja Jaga Saradenta menyerangnya tanpa berbicara.

Cepat ia mengelak dan kemudian membalas menyerang, la tahu, penyerangnya mempunyai tenaga yang ampuh. Tetapi tak dihiraukannya. Begitulah, maka bentrokan tangan tak dapat dihindarkan. Masing-masing terkejut. Jaga Saradenta tergetar mundur lima langkah sedangkan tubuh Hajar Karangpandan terguncang-guncang.

Jaga Saradenta lantas saja merasa dirinya takkan dapat merebut kemenangan. Meskipun demikian, ia menyerang juga. Hajar Karangpandan menggempurnya lagi. Dan sekali lagi dia terpental mundur. Kali ini lebih hebat, la jatuh tertelungkup mencium tanah. Belum lagi dia berdiri, Hajar Karangpandan telah mencekik lehernya.

“Kenapa kamu menerjang aku tanpa bicara?” tegurnya.

Jaga Saradeta tergugu. Direngguknya cekukukan itu, “Kau seorang pendeta memasuki pekarangan orang di tengah malam, apa maksudmu?” sautnya.

“Aku mencari buruanku.”

“Siapa buruanmu?”

Hajar Karangpandan menimbang-nimbang. Niatnya tadi mau minta ijin kepada Gelondong Dusun Segaluh diurungkan karena ketinggian hatinya. Ia meludah ke tanah.

“Aku tak bermusuhan dengan kamu. Tapi kamu menyerang. Bagus! Kalau kau masih penasaran, lain hari aku datang ke sini. Sekarang aku tak punya waktu lagi.”

Jaga Saradeta sadar, ia bukan tandingan si pendeta. Maka ia berlaku sabar.

“Tuan seorang pendeta. Pastilah hati Tuan lebih lapang dan lebih berbudi dari padaku. Maafkan perlakuanku tadi Tuan. Aku Gelondong Dusun Segaluh. Sudah beberapa waktu lama, dusun ini dihampiri perusuh-perusuh. Karena itu aku selalu mencurigai orang-orang yang berjalan di tengah malam.”

Hajar Karangpandan tertawa dingin. Pandangannya menyelidiki ke dalam rumah.

“Bagus!” dengusnya. “Seorang Gelondong menyembunyikan seorang buruan. Apa itu benar?”

“Siapa buruan Tuan?” bantah Jaga Saradenta. “Memang aku mempunyai seorang camu, tetapi dia kemenakanku.”

Hajar Karangpandan diam, ragu mendengar ujar Jaga Saradenta.

“Orang itu membakar rumah dan membunuh orang. Dia melarikan orang pula ...” Katanya sambil mendongakkan kepala.

“Siapa dia? ...” Jaga Saradenta terkejut. Tetapi sandiwara Kodrat tadi masih saja mempunyai pengaruh dalam hatinya, la mensiasati Karangpandan. Ia mecurigai kelicinan orang. Lantas saja berkata meneruskan, “Di mana ada kebakaran dan pembunuhan?”

“Kalau kau tak percaya kata-kataku ini* ayo iait! Di sana ... di timur ... di Desa Karangtinalang. Hm ... kau seorang Gelondong. Baiklah aku menaruh percaya kepadamu. Tetapi kalau buruanku itu ternyata bersembunyi di rumahmu, akan kubunuh seluruh keluargamu”.

Setelah berkata demikian, sekali melesat ia hilang dari pandangan. Jaga Saradenta tertegun keheranan. Kagum dia akan kesaktian tamunya. Pikirnya, dia tak berniat jahat, kalau dia mau pastilah nyawaku sudah melayang... barangkali Kodrat yang salah tafsir.

Memikir begitu, lantas saja dia memasuki rumah. Waktu itu Kodrat telah lama mengintip di belakang pintu. Melihat Hajar Karangpandan meninggalkan halaman, legalah hatinya. Ia terus menyongsong pamannya.

“Mengapa bangsat itu Paman biarkan berlalu?”

“Bedebah! Sini kamu!” bentak Jaga Saradenta. “Aku bukan bangsat penakut, tetapi aku membutuhkan keterangan yang benar. Sekarang ikut aku.”

“Ke mana?” Kodrat gemetaran.

“Ke Karangtinalang,” sahut Jaga Saradenta. “Perempuan itu biar ditemani bibimu. Aku tanggung dia takkan terusik oleh siapa pun juga.”

Bersambung....

No comments:

Post a Comment