Sakit hati Wirapati dituduh merusak keluarganya. Ia mengibaskan kakinya dan melompat pergi.
“Hai, ke mana kamu pergi?” teriak Wayan Suage.
“Ke mana aku pergi, apa pedulimu?” sahut Wirapati mendongkol. Ia melanjutkan langkahnya. Sekonyong-konyong ia mendengar Wayan Suage menangis begitu sedih sambil memeluk kedua pusaka yang dipertahankan semenjak semalam. Tangisnya begitu memilukan dan menggetarkan hati.
Hati nurani Wirapati yang perasa mencairkan rasa mendongkolnya. Ia menoleh, kemudian menghampiri lagi. Tanyanya sabar, “Mengapa kamu menangis begitu sedih?”
“Biarlah aku menangis. Biarlah aku menangis. Aku akan menangis sampai mati,” jawab Wayan Suage.
Wirapati menghela napas. Ia duduk di sampingnya sambil merenggut-renggut seonggok rumput. Pandangannya dilayangkan ke jauh sana. Fajar hari kala itu mulai menyingkap tirai malam. Angin pagi terasa menyelinapi tulang. Langit agak cerah, karena sejak kemarin hujan turun sangat deras.
“Mengapa kau menangis begitu sedih?” Wirapati mengulangi pertanyaannya.
“Mengapa aku menangis? Ya—bagaimana aku tidak menangis.” jawab Wayan Suage. “Inginlah aku mengulangi pertanyaanmu itu kepada Yang menghidupiku, apa sebab aku harus menangis. Benarkah kamu tak menghendaki kedua pusaka ini?”
“Aku bukan hak waris pusaka itu, mengapa kamu mencurigaiku? Sekalipun pusaka itu kauberikan kepadaku, aku akan menolak. Karena pusaka yang bukan miliknya atau bukan hak warisnya akan dapat membawa malapetaka. Itulah kepercayaanku.”
Jawaban Wirapati tepat mengenai hati Wayan Suage. Teringatlah dia kepada nasibnya yang hancur berantakan dengan tiba-tiba karena menerima pusaka pemberian orang yang bukan termasuk hak warisnya. Dengan mengusap-usap mata, ia mencoba mengamat-amati Wirapati.
“Apa kau bukan termasuk salah seorang dari mereka?” Kata Wayan Suage dengan pelahan.
Wirapati menggelengkan kepala.
“Apa kamu yang datang hendak mengabarkan sesuatu kepada kami?”
Wirapati mengangguk.
“Ah!” Wayan Suage kaget. Ia menegakkan lehernya. “Apa yang mau kausampaikan kepada kami?”
“Rumahmu telah terkepung orang-orang dari Banyumas. Keselamatan keluargamu terancam bahaya,” jawab Wirapati kering.
Mendengar jawaban Wirapati, mendadak Wayan Suage menangis seru. Dan di antara tangisnya ia mengisahkan peristiwa terkutuk itu yang menghancurkan kesejahteraan keluarganya.
“Mencapai suatu martabat tinggi bukan tergantung pada pusaka sakti. Alat yang sempurna adalah kemampuan diri sendiri,” kata Wirapati. “Kenapa orang mesti menggantungkan nasibnya kepada kekeramatan suatu benda yang takkan berkutik apabila tak digerakkan oleh tangan orang hidup?”
Tak terduga Wayan Suage merasa tersinggung oleh kata-katanya. Matanya menyala. Alisnya tegak. Dan terdengarlah suaranya melontarkan isi hatinya.
“Apa kaukira aku mabuk martabat tinggi, kekuasaan besar kesaktian khayal—lantas ingin mengangkangi pusaka ini? Kau salah duga, Saudara! Aku bukan termasuk orang-orang macam begitu.”
“Kenapa kaupertahankan pusaka itu begitu mati-matian?”
“Karena aku dipercayai orang untuk menyimpan dan merawatnya. Sekiranya kamu diberi kepercayaan seseorang untuk menyimpan dan merawat sesuatu benda dan kemudian datanglah orang-orang mau merampasnya, apa yang akan kaulakukan?”
Wirapati terdiam. Pikirnya, akupun akan mempertahankan diri demi kepercayaan itu.
atipun rasanya senang, karena pulang sebagai laki-laki sejati.
Wayan Suage manangis lagi. Kali ini tambah menyayat hati.
“Saudara,” katanya. “Katakanlah kepadaku, bagaimana nasib yang lain?”
Melihat keadaannya yang menyedihkan, tak sampai hati ia mengabarkan nasib keluarganya. Tetapi ia diminta memberi penjelasan, maka mau tak mau harus berbicara.
“Rumahmu terbakar habis menjadi abu. Itu pasti. Kulihat tadi, seorang perempuan yang mendekap anaknya dibawa lari si pemuda jahanam. Kemudian kudengar pula salah seorang rombongan penari Banyumas mau merawat isteri yang mati kena senjata racun si pemuda. Si anak kecil pastilah diselamatkan pula.” Kata Wirapati dengan tenang.
“Bagaimana nasib saudaraku yang mati di dalam rumah?” potong Wayan Suage. Perhatiannya ditumpahkan kepada mayat Made Tantre dan bukan kepada anak isterinya. Diam-diam Wirapati memuji keluhuran budinya.
“Selanjutnya tak tahulah aku. Kukira, mayatnya terbakar menjadi abu. Siapa yang mau bersusah payah menyingkirkan mayat Seseorang, sedangkan seluruh isi rumah dalam keadaan bahaya.”
“Ah!” Wayan Suage memekik. Tubuhnya terkulai dan jatuh menelungkup di atas tanah. Wirapati gugup. Cepat-cepat ia memeluknya dan memangku kepalanya.
“Dia sudah mati sebelum terbakar!” serunya. “Biar tubuhnya terbakar habis, dia tak menderita lagi.”
Perlahan-lahan Wayan Suage membuka matanya. Dengan suara lemah ia menjawab, “Aku tahu... Aku tahu, semua akan kembali ke asal. Aku tahu, itulah upacara kematian yang sempurna bagi kepercayaan kami di Bali. Tapi aku tahu pula, dia mati penasaran ... dia mati penasaran ... dia mati penasaran ...”
Kata-kata terakhir itu diucapkan berulang kali. Makin lama makin lemah. Kemudian berhenti dengan tiba-tiba. Ia pingsan tak sadarkan diri.
Seringkali Wirapati menyaksikan orang mati karena sesuatu malapetaka. Tapi hatinya belum pernah terguncang seperti kali ini. Terasa benar dalam dirinya, betapa besar deru hati orang itu yang terguncang oleh sesuatu nasib buruk dengan tiba-tiba.
Dalam keadaan hening, mendadak pendengarannya yang tajam menangkap suara langkah berderapan. Langkah-langkah itu mendatangi dan mengepung gerumbulan pohon tembelekan.
“Ssst, mereka datang lagi,” bisiknya kepada Wayan Suage yang sebenarnya tidak ada gunanya, la memapah tubuh Wayan Suage dan diletakkan ke dalam rimbun mahkota daun. Dia sendiri kemudian bertiarap sambil menajamkan pendengaran.
Langkah-langkah itu sekonyong-konyong berhenti. Mereka saling berbisik, suatu tanda kalau tempatnya bersembunyi belum diketahuinya dengan pasti. Terdengar kemudian suara siul bersuit, dan disusul dengan langkah-langkah tadi.
“Celaka! Mereka datang,” mendadak Wayan Suage berkata. Ternyata dia telah memperoleh kesadarannya kembali. “Bawalah aku lari ke sana.”
“Kita telah terkepung rapat,” sahut Wirapati berbisik.
“Kalau hati-hati, pasti kita masih dapat lolos dari kepungan mereka.”
“Dengarkan!” Wirapati memotong. “Yang datang adalah mereka yang menyelamatkan istri dan anak saudaramu. Serahkan pusaka itu kepada mereka sebagai alat penukar.”
“Hai,” kata Wayan Suage dengan suara bergetar. “Saudaraku telah mengorbankan diri demi pusaka ini. Akupun harus sanggup berkorban pula. Mati tak jadi soal. Kalau kau tak sudi melindungi aku, biarlah tinggalkan saja aku di sini. Aku tidak akan menyesal dan tidak takut mati.”
“Mengapa kamu begitu keras kepala? Apa untungnya?” Wirapati mendongkol.
“Aku sendiri tidak punya keuntungan sedikit
m. Tapi pusaka ini dipercayakan kepadaku pgar kelak kuberikan kepada anak-anak kami Setelah aku menyerahkan pusaka ini atas nama saudaraku pula, aku lantas bunuh diri menyusul ke nirwana.”
Wirapati tertegun mendengar kekerasan hatinya, la terharu dan kagum. Direnungi raut mukanya. Terlihat dua lapis bibirnya yang mengatup rapat, suatu tanda dari keteguhan hati. Sebagai murid Kyai Kasan Kesambi, dia diajar menghargai suatu kebajikan dan keluhuran budi. Maka kesan-kesan yang diperolehnya itu lantas saja membakar semangat perwiranya. Wirapati memanggut.
“Tenteramkan hatimu. Aku akan selalu berada di sampingmu.”
Betapa gembira rasa hati Wayan Suage tak terperikan. Jantungnya sampai berdetakan keras. Tapi justru oleh kegoncangan itu, ia jatuh pingsan. Maklumlah, kekuatan tubuhnya makin melemah karena darahnya terus saja mengalir.
Apa orang ini bisa tertolong nyawanya! pikir Wirapati. Kemudian ia memusatkan perhatiannya kepada mereka yang datang. Terdengarlah suara pohon gemeretakan. Seseorang telah menendangnya patah.
Wirapati kaget. Hebat tenaga orang itu, diam-diam memuji dalam hati.
Langkah-langkah itu makin lama makin jelas. Suara ribut terjadi di segala penjuru. Mereka mematahkan dahan-dahan dan membabat belukar. Tiba-tiba Wirapati melihat mereka merentangkan tali. Cepat-cepat Wirapati berjaga-jaga. Tahulah dia, mereka akan membakar semak belukar yang berada di sekitarnya.
Wirapati berpaling kepada Wayan Suage yang masih belum berkutik. Apa yang harus kulakukan? la melihat ke depan. Sebagian dari mereka berjalan berpencar. Makin lama makin mendekati gerumbulan tempat dia bersembunyi.
Aku harus membelokkan perhatiannya, pikir Wirapati. Memikir demikian, lantas saja dia meloncat keluar dari gerumbulan dan menerjang. Mereka segera mengepung sambil memperdengarkan siul bersuitan. Dan mau tak mau, terpaksalah Wirapati mundur mendekati gerumbulan.
“Kauserahkan tidak pusaka itu!” ancam salah seorang dari mereka.
“Pusaka apa yang harus kuserahkan?” Wirapati menyahut.
“Di mana orang itu?” dengus orang itu seperti tak mendengarkan ucapannya.
Ditanggapi demikian, Wirapati jadi sakit hati.
Orang ini tak memandang mata padaku. Perlu apa lagi aku meladeninya, pikirnya.
“Di mana orang itu?” pertanyaan itu terdengar diulangi.
“Dia sudah kutelan,” jawab Wirapati.
Mendengar jawaban Wirapati, mata orang itu menyala. Bentaknya, “Aku maafkan perbuatanmu, kenapa kamu bersikap kurang ajar?”
Wirapati tersenyum. Mendadak seorang yang berdiri di barat lantas menyerang. Wirapati tahu, mereka semua bertenaga besar. Tetapi ia ingin mencoba. Maka ia menangkis dengan mengadu tenaga. Tubuhnya bergetar, tetapi orang itu terpental empat langkah.
“Bangsat!” makinya. Ia merangsak maju. Teman-temannya merapat pula. Dengan bersuit, mereka menerjang. Wirapati menjejak tanah dan melayani mereka dengan mengandalkan kecepatannya.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment