Wednesday, October 23, 2013

BENDE MATARAM "Pengejaran" jilijd 4d

bende mataram
Sepanjang jalan Kodrat memaki-maki dan memukuli Rukmini yang dapat membahayakan nyawanya. Ia mengancam akan membunuhnya bila laku itu diulangi sekali lagi. Tetapi Rukmini tak mengenal takut. Hatinya sudah terlalu pepat. Lagi pula semenjak suaminya meninggal, hatinya sudah menjadi kosong. Kalau saja tak ingat akan nyawa anaknya, sudah lama ia ingin bunuh diri.

Demikianlah, pada suatu hari dia diajak menginap di sebuah losmen. Rukmini sengaja mengusut-usutkan rambutnya agar menarik perhatian orang. Kodrat dongkol bukan main. Ia menghunus belatinya dan benar-benar ingin menikamnya mati. Rukmini lantas saja berdoa dalam hati memanggil suaminya, “Kuserahkan keselamatan anakmu kepadamu. Lindungilah dia. Aku akan mati bersama jahanam itu.”

Setelah berdoa, ia menubruk maju. Kodrat erkejut bukan main. Sama sekali tak diduganya, kalau Rukmini akan berlaku demikian. Karena terkejut, belatinya sampai jatuh ke tanah. Mereka lantas saja berebutan mencapai belati. Tetapi Rukmini seorang perempuan. Selain kalah tangkas, kalah tenaga pula. Sangaji pun waktu itu merisaukan hatinya. Dia menangis ketakutan.

Lemah lunglailah sekujur badannya. Ia membiarkan Kodrat mencapai belatinya. Dadanya kemudian dihadapkan. Tetapi Kodrat tidak menikamnya.

“Janganlah kau menggoda hatiku, Rukmini. Aku berjanji takkan bersikap kasar lagi kepadamu. Tetapi janganlah kamu mencelakakan aku,” kata Kodrat melunak.

Kodrat kemudian membawa Sangaji pergi meninggalkan losmen. Rukmini terpaksa mengikuti demi anaknya. Kini, perjalanan tidak lewat darat lagi. Ontuk mengurangi gangguan Rukmini, Kodrat membeli sebuah perahu. Ia bermaksud meneruskan perjalanan lewat laut. Seorang nelayan yang lagi menjala di pinggir laut diajaknya serta.

“Bantulah aku mengayuh perahu ini sampai pantai Jakarta. Sesampainya di Jakarta, perahu kuberikan kepadamu,” bujuk Kodrat.

Sudah barang tentu si nelayan itu gembira. Kebetulan pula, ia seorang nelayan yang lagi rudin. Perahu ikannya digulung gelombang pada beberapa bulan yang lalu. Sekarang datanglah suatu rejeki tak terduga. Bagaimana ia dapat membiarkan kesempatan bagus ini berlalu begitu saja.

Demikianlah—setelah berlayar selama satu minggu, sampailah mereka di Jakarta. Kodrat amat gembira. Begitu kakinya menginjak pantai, ia berloncat-loncatan dan menandak-nandak. Rasanya, ia seperti dilahirkan kembali ke dunia.

Di Jakarta Kodrat segera mencari sebuah pondokan. Di pondokan itu ia beristirahat selama tiga hari tiga malam untuk melemaskan otot-ototnya dan ketegangan hatinya. Ketika telah merasa sehat kembali, ia mencari hubungan ke tangsi-tangsi kompeni Belanda. Kebetulan waktu itu, kompeni Belanda sedang membutuhkan tenaga tentara Bumiputera. Kodrat diterima lamarannya sebagai serdadu. Ia mendapat gaji lumayan jumlahnya. Bahkan, ia mendapat sebuah kamar pula.

Segera pulanglah dia ke pondokan dengan membawa warta gembira. Tetapi sesampainya di pondokan, Rukmini dan Sangaji tidak ada. Ditanyakan mereka kepada tetangga sebelah menyebelah. Tetapi tetangganya tidak ada yang dapat memberi keterangan. Maklumlah, Rukmini seorang pendatang baru.

Kodrat jadi uring-uringan. Ingin dia mencarinya sampai ketemu. Tetapi ia sayang kepada pekerjaannya yang baru. Baiklah aku bersabar dulu, pikirnya. Dia seorang perempuan lagi membawa anak pula. Pastilah tidak dapat meninggalkan kota asing ini. Perlahan-lahan kucari, pasti ketemu. Seminggu dua minggu, ia berusaha mencari setiap kali habis dinas. Namun usahanya sia-sia. Akhirnya ia mendongkol dan penuh dendam. Ia berjanji dalam hati, hendak membunuh mereka berdua.

Hari terus merangkak-rangkak tiada henti. Bulan Agustus 1792 telah tiba. Dunia dalam keadaan terguncang. Di Eropa timbul masalah-masalah persengketaan. Di Negeri Belanda pun tak terkecuali. Negeri-negeri jajahan menjadi suatu ajang pembicaraan ramai. Perebutan-perebutan kekuasaan antara pemilik-pemilik modal dan para pangeran kian menjadi sengit.

Kedudukan VOC di Jakarta mulai pula berbicara. Kegelisahan-kegelisahan terjadi. Pemimpin-pemimpin militer kini menunjukkan giginya kepada para pengusaha. Masing-masing saling memperkuat diri. Maka tenaga kesatuan militer Bumiputera makin banyak dibutuhkan untuk mempertahankan hak-hak tertentu.

Orang-orang Belanda mulai memperhatikan kesetiaan dan kesanggupan begundal-begundalnya. Hadiah-hadiah dan pangkat-pangkat dibagikan dengan murah.

Kodrat yang menyerahkan seluruh hidupnya kepada pekerjaannya sudah semenjak lama berusaha memperoleh perhatian layak. Tidaklah mengherankan, kalau dalam masa tiga bulan saja ia kejatuhan bintang cemerlang.

Pangkatnya naik menjadi Kopral dan ia dipindahkan di bagian pasukan berkuda. Selain itu ia dipilih pula sebagai pengawal pribadi Mayor Sieuwenhuisz.

Mayor Nieuwenhuisz seringkali keluar daerah. Ia selalu diajak serta. Sebagai seseorang yang biasa menghamba, maka dengan cepat juga ia dapat mengambil hati majikannya yang baru. Ia dijanjikan pangkat sersan apabila dapat bekerja dengan baik pada masa tiga bulan lagi. Janji itu alangkah menyenangkan dan membesarkan hatinya.

Pada suatu hari, Mayor Nieuwenhuisz mengirimkan VOC ke Cirebon dengan tugas mengawasi keluarga Sultan Kanoman. Ada berita, kalau rakyat Cirebon dengan diam-diam menyusun suatu pemberontakan.

Kodrat ditugaskan memimpin regu penggempur di samping mengatur pengawalan. Tugas kali ini tak menyenangkan hatinya. Ia takut berangkat ke Timur. Wirapati dan pamannya, masih saja merupakan momok baginya. Ia sadar dan mengenal watak pamannya Orang tua itu takkan berhenti mengikuti jejaknya selama dia belum berhasil meringkus dirinya. Tetapi ia tak berdaya menolak tugas itu. Maka berangkatlah dia dengan 250 serdadu berkuda. Kudanya berderap gagah dengan diiringi tetabuhan dan genderang. Kesannya menggairahkan hati. Desa-desa yang dilewati kaget terbangun. Penduduknya berlari-larian ke jalan, berdiri mengagumi.

Pada tanggal 24 Agustus 1792, pasukan berhenti dan berkemah di Jatibarang. Mereka memilih sebuah lapangan luas. Tenda-tenda kemudian didirikan. Penjagaan-penjagaan diadakan dengan waspada, karena mereka akan memasuki daerah pemberontakan.

Selama itu hati Kodrat tidak tenteram. Ia merasa seperti diincar pamannya dan Wirapati. Tetapi entah di mana mereka berdua berada, tak dapat dia menduganya.

Pra-rasa manusia kerapkali benar. Itulah karunia alam sebagai pelengkap jasmaniah tiap manusia dalam hukum mempertahankan jenis. Sungguh! Waktu itu Jaga Saradenta dan Wirapati benar-benar tidak jauh daripadanya.

Mereka berdua telah menjelajah seluruh daerah Cirebon selama tiga bulan lebih. Mereka tak mengenal lelah mencari keterangan tentang jejak Kodrat. Hanya tak pernah terfintas dalam pikirannya, kalau Kodrat melintasi autan. Itulah sebabnya, perjalanannya berlarut-larut tanpa pedoman yang pasti.

Pada hari itu mereka berdua sampai di Jatibarang, bertepatan dengan kesibukan penduduk kota mewartakan datangnya pasukan kompeni Belanda. Sebagai dua orang yang berpaham menentang penjajahan mereka terlarik kepada berita itu. Ingin mereka menyaksikan kekuatan kompeni dari dekat. Siapa tahu pengalaman itu kelak ada gunanya di kemudian hari.

Mendadak, mereka melihat seorang kopral bangsa Bumiputera, Jaga Saradenta lantas saja mengenal siapa dia. Cepat ia membisiki Wirapati.

“Apa benar dia Kodrat?” Wirapati minta keyakinan.

“Hm. Biar dia berganti rupa seribu kali sehari, aku tak bisa dikecohnya. Semenjak kanak-kanak, akulah yang mengasuh dan merawatnya,” sahut Jaga Saradenta. Tetapi setelah berkata demikian, ia jadi bersedih hati. Teringatlah dia masa kanak-kanak kemenakannya.

Pada malam harinya, mereka berdua mulai bekerja. Waktu itu bulan gede telah lampau beberapa hari. Dunia jadi gelap pekat. Keadaan demikian menolong pekerjaan mereka.

Di tengah lapang, kompeni-kompeni sedang menyalakan api unggun. Angin malam mulai menyelinapi tubuh. Itulah sebabnya, maka serdadu-serdadu banyak yang meninggalkan tendanya.

Menjelang tengah malam, mereka mulai mengundurkan diri. Rasa lelah karena perjalanan panjang mulai berbicara. Kodrat mendapat giliran jaga malam. Ia memimpin dua belas orang serdadu. Jaga Saradenta dan Wirapati yang mengintip dari luar menemui kesukaran. Mereka mengusahakan diri agar jangan terlibat dalam suatu perkelahian. Biarpun mereka kuat, masa kuasa melawan kompeni sebanyak itu.

Karena pertimbangan itu maka mereka menunggu saat yang tepat. Tiga empat jam mereka menunggu. Kodrat tidak juga terpisah dari teman-temannya. Malahan seringkali dia berada di dalam tenda penjagaan. Hal itu menjengkelkan hati Jaga Saradenta dan Wirapati. Tetapi sampai fajar hari harapan mereka tak terkabul. Terpaksalah mereka melepaskan buruannya.

Keesokan harinya mereka mencoba lagi. Pada tengah malam dikunjunginya perkemahan kompeni dengan diam-diam. Kodrat tidak nampak. Dia habis mendapat giliran jaga malam. Maka malam itu dia istirahat. Kembali mereka gagal.

Pada malam ketiga habislah sudah kesabarannya. Mereka bertekad mau menerjang masuk. Tenda-tenda dijenguknya. Tatkala bersua dengan seorang penjaga mereka membekuknya dan dibawanya lari ke suatu tempat. Mereka mengorek keterangan tentang di mana Kodrat. Serdadu itu disiksanya. Mau tak mau terpaksa memberi penjelasan.

Serdadu itu kemudian diikat erat-erat pada sebatang pohon. Mereka kembali menyusup lenda perkemahan yang berada di sebelah timur. Kodrat waktu itu baru saja datang dari berunggun api. Tadi dia menyanyi dan menari sebagai penghibur hati. Kesan itu masih dibawanya saat pulang ke tenda. Ia bersiul-siul kecil serta berdendang lemah. Mendadak terasalah kesiur angin memasuki tenda. Ia menoleh. Tahu-tahu mulutnya kena bungkam dan teringkuslah Kodrat tanpa bisa membuat perlawanan.

Dua tiga kawannya yang masih bangun kaget bukan kepalang. Mereka lantas saja berteriakan. Jaga Saradenta segera mengambil tindakan cepat. Digempurnya mereka bersama. Dalam sekejap saja, mereka terpental ke tanah dan jatuh pingsan.

Tetapi teriakan mereka membangunkan seluruh kesatuan militer. Terompet tanda bahaya melengking di tengah malam. Serdadu-serdadu berlari-larian dan dengan cepat bersiaga penuh.

Wirapati dan Jaga Saradenta menemui kesulitan kini. Dengan cepat mereka menerobos ke utara. Tetapi serdadu-serdadu yang berada di perkemahan utara sudah pada keluar dengan senjatanya masing-masing.

“Cepat ke kandang kuda!” kata Wirapati nyaring sambil memapah Kodrat.

Mereka berdua lantas saja menghampiri kandang kuda dan melepaskan kuda-kuda. Kegaduhan segera terjadi. Kuda-kuda lari berserabutan dan menerjang tenda-tenda kalang-kabut. Terpaksalah serdadu-serdadu kompeni membagi perhatiannya. Mereka digulung-gulung oleh suatu kesibukan terkutuk. Dengan mempergunakan kegaduhan itu Jaga Saradenta dan Wirapati berhasil meloloskan diri.

Sekarang mereka telah berada jauh dari perkemahan. Mulailah mereka mengkompes mulut Kodrat tentang di mana beradanya Rukmini dan anaknya. Kodrat mengharapkan suatu ampunan. Dikisahkan riwayat perjalanannya dengan terus-terang. Diterangkan pula maksudnya melarikan Rukmini dan Sangaji. Tetapi ia gagal, karena mereka berdua melarikan diri tidak ada beritanya lagi.

“Kodrat!” kata Jaga Saradenta menegas. “Aku ini pamanmu. Semenjak kanak-kanak kau kuasuh dan kudidik. Kenapa sekarang kamu tega membuat aku mendapat kesulitan. Kenapa?”

Kodrat mengenal watak pamannya. Segera a menjatuhkan diri sambil meratap. “Paman! Kalau aku membawa lari Rukmini dan anaknya, semata-mata karena terpaksa demi tugas. Dulu aku diberi tugas sang Adipati Dewaresi merampas kembali pusaka itu. Pusaka itu ternyata hilang. Bukankah satu-satunya jalan untuk mendapat keterangan adalah dari mulut salah seorang anggota keluarga mereka?”

“Jahanam! Karena kamu gila kedudukan, mereka kaubuat susah begitu rupa. Mereka sudah cukup dihancurkan malapetaka. Mengapa kau sampai hati membebani kesedihan lagi ke anak isteri mereka. Apa kau mau memperkosanya?”

“Tidak, sama sekali tidak! Tuhan menjadi saksi,” sahut Kodrat cepat.

Jaga Saradenta merenungi, la melihat pandang mata kemenakannya sungguh-sungguh. Dia ingin percaya. Kemudian berpaling kepada Wirapati minta pertimbangan.

Bersambung....

No comments:

Post a Comment