Tuesday, October 22, 2013

BENDE MATARAM "Pengejaran" jilid 4c

bende mataram
Jaga Saradenta dan Wirapati ternganga keheranan. Mereka belum dapat menangkap maksud Hajar Karangpandan. Maka mereka berdua membungkam mulut.

“Kita menunggu waktu sampai dua belas tahun lagi,” kata Hajar Karangpandan meneruskan. “Anak mereka kini sudah berumur kurang lebih tujuh tahun. Jadi dalam masa dua belas tahun lagi, mereka sudah berumur 19 tahun. Cukuplah sudah kita golongkan orang-orang dewasa. Mereka berdua kemudian kita ajak ke mari. Ke tempat ini. Kita mengundang pula orang-orang gagah pada jaman ini sebagai saksi. Kemudian mereka berdua kita adu. Di saat itulah kita bisa mengambil keputusan, siapa di antara mereka berdua yang menang. Kalah dan menangnya masing-masing samalah juga kalah dan menangnya kita bertiga.”

“Mengapa bukan kita yang bertempur?” dengus Wirapati.

“Kalau kita bertempur, jumlah kita berlebih seorang. Seumpama kalian berdua memenangkan aku, itupun bukan suatu kemenangan terhormat. Sebab jumlah kalian lebih banyak. Sebaliknya kalau aku memenangkan kalian, juga bukan suatu kemenangan yang mentereng. Sebab setelah dua belas tahun Gelondong Jaga Saradenta sudah jadi orang pikun. Sedangkan si anak muda, sudah sewajarnya aku menang karena umurku jauh lebih tua dan berpengalaman.”

“Kau bilang sampai mampus, apa maksudmu?”

“Kalau kalian tidak sungguh-sungguh mendidik dan mengajar anak Made Tantre, maka orang-orang gagah di kolong langit ini akan kusuruh mencincang kalian berdua sampai mampus. Mayat-mayatmu akan kulemparkan ke kali itu. Nama kalian kusuruh menyoraki dan menghapuskan dari ingatan setiap orang. Nah, jadi setanpun kalian tak punya tempat.”

Wirapati tercengang-cengang, sedang Jaga Saradenta tertawa cekakakan karena geli dan mendongkol. Tapi mereka sudah berjanji akan patuh dan mentaati setiap kata-kata Hajar Karangpandan yang sudah diputuskan. Maka mereka tak berdaya sedikitpun untuk meringankan atau mengurangi.

“Kurangajar! Kaulicin seperti belut!” maki Jaga Saradenta kemudian. “Kau cuma melepaskan beberapa patah kata-kata ugal-ugalan dan kau memaksa kami berdua memeras keringat selama dua belas tahun. Ini gila.”

Wajah Hajar Karangpandan berubah. Memang ia bisa merasakan kebenaran ujar Gelondong Jaga Saradenta. Tetapi ia harus mengatasi kesan itu, demi menebus dosa kepada kedua sahabatnya. Maka ia tertawa panjang dengan pandang menghina.

“Mengapa kamu tertawa? Mana yang lucu?” damprat Jaga Saradenta.

“Bagaimana aku tidak tertawa. Meskipun aku belum pernah berkenalan dengan kalian, tapi telah lama kudengar nama kalian yang harum. Wirapati, murid ke-empat Kyai Kasan Kesambi Gunung Damar. Tiap orang tahu ketenarannya. Jaga Saradenta Gelondong Segaluh, bekas perajurit Pangeran Mangkubumi. Tiap orang tahu pula kegagahannya. Tak tahunya, hari ini Tuhan mempertemukan aku dengan kalian. Kulihat ketenaran nama kalian yang gagah agung mulia, sama sekali tak cocok dengan ... hi hi hi ... ha ha ha ...”

Gelondong Jaga Saradenta kena dibakar hatinya. Darahnya lantas saja panas mendidih. Ia menggempur tanah, tatkala hendak membuka mulut. Hajar Karangpandan mendahului, “Orang gagah sejati akan memandang enteng setiap janji yang telah diucapkan. Pengorbanan jiwa, bukanlah suatu soal untuk kebajikan. Gajah Mada, Narasuma, Sawung Galing. Mundingsari, jayaprafia, Trunajaya, Ontung Surapati, Hasanudin, mereka semua adalah orang-orang gagah yang bersedia mengorbankan nyawa untuk suatu kebajikan. Mengapa kita yang hidup di atas bumi tempat mereka hidup tidak menerima warisan sedikit-pun juga? Ini mengherankan! Barangkali karena hati kita ini sekerdil katak bangkotan.”

Wajah Jaga Saradenta menjadi pucat. Begitu juga Wirapati. Tubuhnya menggigil seperti menahan arus air. Sejurus kemudian mereka menundukkan kepala.

“Kau benar. Memang aku bangsa kerdil. Baiklah kucoba kebajikan ini. Kalau di kemudian hari aku menang bertaruh, itulah nasib baik.” Kata Jaga Saradenta galau.

“Perkataan seorang laki-laki sejati!” sahut Hajar Karangpandan cepat. Ia menjadi gembira karena merasa menang. Kemudian berpaling ke Wirapati. “Selesailah sudah perjanjian ini. Kau bagaimana, anak muda?”

Wirapati mengangguk.

“Bagus. Cuma aku ingin bicara sepatah kata lagi.” Hajar Karangpandan mengesankan. “Di antara kita bertiga, hanya kita berdua yang pernah melihat kedua pusaka Pangeran Semono.”

“Mengapa hal itu dibicarakan juga?” potong Wirapati tak senang. “Biar orang menghadiahkan pusaka itu kepadaku, tak sudi aku menerimanya.”

“Aku tak menuduh buruk kepadamu. Sekiranya kamu mau merampas, pastilah sudah berada dalam genggamanmu. Itu aku tahu. Cuma aku ingin titip sepatah kata. Seumpama nasibmu bagus dan pada suatu hari kautemukan kedua pusaka Bende Mataram dan keris Kyai Tunggulmanik, berjanjilah kepadaku kalau kedua pusaka itu harus kauberikan kepada kedua anak-anak asuhan kita. Siapa yang pantas memiliki Bende Mataram dan siapa pula yang pantas memiliki keris Kyai Tunggulmanik, bukanlah soal.”

“Aku berjanji.”

“Nah, tak usah kita pikirkan pusaka itu lagi. Kita berpisahan di sini. Ingat! Dua belas tahun lagi kita bertemu di tempat ini,” kata Hajar Karangpandan. Ia berdiri dan mendadak melesat pergi.

“Ayo kita pergi,” ajak Gelondong Jaga Saradenta. “Lebih cepat kita cari, lebih baik.”

“Biarlah kususul dia seorang diri,” sahut Wirapati.

“Jangan! Kau belum mengenal jalan ke barat. Lagi pula, kau tak punya bekal cukup. Mari singgah ke Segaluh. Setelah kuserahkan kekuasaan pemerintahan dusun kepada wakilku, kita berangkat bersama-sama. Mati hidup kita mulai sekarang ada di tangan kita berdua.”

Mereka berangkat ke barat. Jaga Saradenta tidak berani berlari karena luka dalamnya masih perlu perawatan beberapa hari lamanya. Sedang Wirapati melangkahkan kaki dengan setengah hati. Teringatlah dia kepada saudara-saudara seperguruannya. Bulan depan mereka akan menerima ajaran Ilmu Majangga Seta. Dapatkah dia ikut serta? Memikirkan hal itu, hatinya lemas. Tetapi apabila dia dapat menyelesaikan masa mencari anakisteri Made Tantre barang seminggu, rasanya masih belum ketinggalan. Semangatnya muncul kembali. Ingin ia lari secepat-cepatnya, kalau tak ingat luka Jaga Saradenta.

Kodrat waktu itu telah meninggalkan Desa Segaluh. Tatkala Jaga Saradenta ikut bertempur, ia merasa mendapatkan kesempatan. Ia bersyukur kepada Tuhan atas kemurahannya. Segera terbanglah dia menuju Desa Segaluh. Sepanjang jalan dia berpikir. Ke manakah aku mau lari? Kembali ke Banyumas, tidaklah mungkin. Sang Dewaresi mana bisa mengampuni aku, kecuali kalau aku membawa pusaka.

la sangat sedih. Ia kutuk Hajar Karangpandan sampai tujuh turunan. Ia maki si pemuda Wirapati yang menolong melarikan Wayan Suage. la kutuk pula pamannya, yang hampir membuatnya susah.

Mendadak timbullah pikirannya, baiklah aku lari ke Jakarta. Di sana aku akan menggabungkan diri kepada kompeni. Rukmini biarlah kubawa ke Jakarta untuk oleh-oleh. Pastilah serdadu-serdadu Belanda akan berterima kasih kepadaku. Siapa tahu, aku lantas diberi pangkat sebagai upah jasa.

Mendapat pikiran demikian, tegarlah hatinya. Larinya kian dipercepat. Sebentar saja sampailah dia ke rumah pamannya. Rukmini dan Sangaji masih terkunci rapat dalam bilik, la bersyukur setinggi langit. Kemudian dengan dalih mengantarkan Rukmini pulang ke kampung halamannya, ia diizinkan bibinya meneruskan perjalanan.

“Ke mana pamanmu?”

“Dia lagi melayani si pendeta cabul. Sebentar lagi juga pulang,” katanya.

Dia terus menuju ke barat. Sangaji digendongnya sebagai umpan Rukmini. Di Dusun

Kotawaringin ia mengambil jalan air. Dibelinya sebuah rakit dan terus menuju ke utara. Tiba di Dusun Wonosari ia memaksa seorang penambang menukar rakit. Mula-mula penambang rakit menolak. Tetapi dengan diancam belati, terpaksa dia menyerah.

Pada senja hari sampailah dia di persimpangan Kali Klawen. Legalah hatinya, karena yakin pamannya tidak mengejarnya lagi. Tetapi ia salah duga. Setelah Jaga Saradenta menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada wakilnya, segera dia berangkat. Ia berpesan kepada isterinya agar jangan mengharap-harap kedatangannya sebelum membekuk si Kodrat.

Mula-mula mereka berdua melalui jalan besar. Sampai di Kota Waringin, mereka mulai ragu. Kebetulan sekali mereka mendengar kabar tentang seseorang yang membeli rakit. Peristiwa itu jarang terjadi. Segera mereka menduga-duga. Maka diputuskan hendak meneruskan perjalanan melintasi air.

Sepanjang jalan mereka berunding dan menduga-duga ke mana arah perginya si Kodrat. Sampai di Wonosari jejak Kodrat kian” nyata. Pemilik rakit yang diancam Kodrat, menjual berita kepada seluruh penduduk. Ramailah orang membicarakan. Jaga Saradenta dengan mudah mendapatkan keterangan. Cepat-cepat dikayuhnya rakit ke barat. Waktu itu senja hari mulai tiba. Jarak mereka sebenarnya sudah sangat dekat dengan Kodrat. Kira-kira lewat petang hari, mereka semua akan bertemu.

Mendadak Kodrat mempunyai pikiran lain. Rakitnya ditepikan. Kemudian dibakarnya, setelah itu ia membawa Rukmini berjalan lewat daratan, mengarah ke barat-daya. Melintasi desa-desa dan pegunungan.

Rukmini merasa sangat lelah. Lelah semuanya. Baik tenaga maupun hatinya. Ia mengajak berhenti. Kodrat terpaksa menuruti, meskipun hatinya uring-uringan. Syukur, meskipun kasar dia bukan pemuda bangor. Angan-angannya hanya merindukan derajat dan pangkat tinggi. Itulah sebabnya, tak pernah terlintas dalam pikirannya hendak mengganggu Rukmini.

Mereka menginap di sebuah gubuk. Pada fajar hari perjalanan dilanjutkan. Kali ini lewat air untuk menghemat tenaga. Pada petang hari meneruskan perjalanan lewat darat. Demikianlah terus menerus dilakukan sampai hampir dua minggu lamanya. Akhirnya sampailah mereka di kota Cirebon. Mereka menginap di sebuah penginapan.

Hati Kodrat mulai tak tenteram. Ia berpikir untuk mencari tempat tinggal. Sebab bekal perjalanan mulai tipis. Lagi pula berkelana tanpa berhenti, rasanya kurang menyenangkan. Rukmini atau si bocah bisa terserang sakit. Kalau sampai begitu, akan gagallah rencananya.

Hari itu selagi dia berada di dalam kamar penginapan, mendadak didengarnya suara pamannya yang tengah berbicara dengan pemilik penginapan. Dia lagi mencari keterangan tenang dirinya.

Ia kaget bukan kepalang. Segera ia mengintip. Di samping pamannya berdiri seorang pemuda berperawakan gagah tetapi mukanya agak kusut. Itulah Wirapati yang dulu bertempur dengan Hajar Karangpandan.

Melihat mereka berdua, hatinya ciut. Cepat-cepat ia mengajak Rukmini meninggalkan penginapan. Rukmini menolak, karena merasa kejatuhan bintang penolong. Dia hendak menjerit. Mendadak Kodrat menubruk Sangaji dan mengancamkan belatinya. Terpaksalah ia mengurungkan niatnya dan mau tak mau mengikuti Kodrat meninggalkan penginapan lewat pintu belakang.

Bersambung.....

No comments:

Post a Comment