Thursday, October 24, 2013

BENDE MATARAM "Pengejaran" jilid 4e

bende mataram
“Wirapati, sesungguhnya dia tidak begitu berdosa. Tidak ada bukti, ia tidak berniat mencelakakan keluarga Wayan Suage dan Made Tantre. Perbuatannya hanya terdorong karena rasa tugas belaka. Gntuk ini aku bisa mengampuni. Dan, diapun tidak merusak kehormatan Rukmini atau menyiksa Sangaji. Bagaimana pendapatmu?”

Wirapati sudah lama menaruh dendam. Masa ajaran Ilmu Mayangga Seta yang dirindukan semenjak lama, tak dapat dicapainya lagi. Ini semua gara-gara si Kodrat Seumpama Kodrat tidak melarikan Rukmini dan Sangaji, pastilah masih ada harapan untuk mengejar waktu. Tetapi diapun sebenarnya bukan manusia bengis. Hati nuraininya penuh dengan pengucapan-pengucapan kemanusiaan. Sebaliknya membebaskan Kodrat tanpa hukuman, rasanya kurang memuaskan hatinya.

“Kita berdua telah susah payah. Lagi pula tidak gampang memergoki dia, sekiranya Tuhan tak menaruh belaskasih. Seumpama kita berdua tiada melihat dia pada hari ini, perjalanan kita bisa jadi mengalami waktu empat lima tahun. Aku telah kehilangan suatu kesempatan bagus. Karena itu aku menuntut ganti kerugian.” Kata Wirapati tegas.

“Apa itu?” Jaga Saradenta berlega hati. Sebab bagaimanapun juga tak sampai hati ia mengadili kemenakannya.

“Dua bulan yang lalu mestinya aku telah menerima ajaran suatu ilmu sakti dari guruku. Tapi gara-gara ini, gagallah aku. Gntuk minta pengajaran ulangan di kemudian hari tidaklah gampang.”

“Lantas?”

“Kemenakanmu kini menjadi serdadu. Nampaknya dia mantap.”

“Biar mantap, tak sudi aku mempunyai kemenakan jadi begundal Belanda!” teriak Jaga Saradenta.

“Bagus! Kupinta dia mulai hari ini menanggalkan pakaian kompeni. Kemudian ikut kita berdua mencari Rukmini dan Sangaji. Ini baru adil.”

“Kaudengar Kodrat! Betul-betul adil keputusan itu.” Jaga Saradenta lantas saja menguatkan.

Kodrat menundukkan kepala. Wajahnya berubah pucat. Keputusan itu sangat berat baginya. Bagaimana dia dapat melepaskan pangkatnya/ Ke mana dia lantas hendak pergi?

Dia merasa telah kehilangan tempat. Kehilangan pelindung pula. Kalau Adipati Dewaresi tiba-tiba datang menagih kesetiaannya, apa yang akan diandalkannya. Tetapi ia sadar, dirinya berada dalam kekuasaan mereka. Ia tak berani membantah biar sepatah katapun.

“Nah—sekarang tanggalkan pakaian begundalmu!” perintah Jaga Saradenta garang.

Kodrat terpaksa menurut. Tiba-tiba suatu pikiran menusuk benaknya.

“Paman! Aku adalah kemenakan Paman. Pekerjaan menjadi serdadu Belanda ini, karena terpaksa. Aku takut pada hukuman Paman. Tak tahunya Paman memberi ampun begini besar kepadaku. Tetapi aku adalah keturunan kesatria. Tak dapat aku meninggalkan kesatuan kompeni secara kasar dan liar. Apa Paman sampai hati nama kemenakanmu menjadi omongan orang. Biar yang mengomongkan orang-orang Belanda,” katanya.

Jaga Saradenta adalah seseorang yang mengutamakan nama dalam pergaulan hidup. Ia dapat menerima kata-kata kemenakannya.

“Lantas?” katanya.

“Biarlah aku minta keluar dengan terus terang kepada komandanku.” “Apa dalihmu?”

“Aku akan membuang senjataku. Dengan dalih aku kalah berkelahi melawan Paman sehingga senjataku terampas, sudahlah cukup kuat. Aku akan dihukumnya terlebih dahulu, ku pasti. Tapi pada malam hari, kuharap Paman datang mengunjungi perkemahan lagi. 3awalah aku lari.”

“Hm. Masa aku segoblok pendapatmu,” damprat Jaga Saradenta. “Kompeni sekarang akan mempertebal kewaspadaannya setelah peristiwa semalam.”

“Kalau begitu, berusahalah Paman mengikuti perjalanan mereka.”

Jaga Saradenta melemparkan pandang kepada Wirapati. Ia menimbang-nimbang. Akhirnya menyetujui. Kodrat bergembira. Segera ia mencium lutut pamannya dan cepat-cepat kembali ke perkemahan.

“Janganlah Paman meninggalkan tempat ini. Sehari ini pasti mereka berusaha menangkap Paman,” serunya.

Jaga Saradenta mengiakan. Ia menunggu di tempat itu dengan Wirapati sambil memperbincangkan cara mencari Rukmini dan Sangaji secepat mungkin agar tak menghabiskan waktu. Harapan demikian terasa tebal dalam hatinya, mengingat Kodrat telah menyanggupkan diri untuk menyertai.

Waktu itu fajar hari mulai tiba. Dingin pagi mulai pula meresapi tubuh. Mereka berbaring di rerumputan sambil memandang bintang-bintang di langit. Kemudian kelelahan terasa datang dengan diam-diam. Tertidurlah mereka tanpa dikehendaki sendiri seperti kena bius.

Berapa lama mereka tidur hanya alam sekitarnya yang dapat menerangkan. Tiba-tiba mereka bangun terkejut. Pendengarannya yang tajam mendengar derap kuda yang mendekat. Tahu-tahu mereka telah terkepung rapat. Dua puluh serdadu mengancamkan pandang bengis. Mereka bersenjata pedang. Ada pula yang memperlihatkan tiga empat pucuk senapan.

Jaga Saradenta dan Wirapati serentak bangkit berdiri. Mereka menyapukan pandangan. Mendadak dilihatnya Kodrat berada di antara mereka sambil tersenyum menusuk hati. Melihat Kodrat, Jaga Saradenta lantas saja dapat menebak. Sekujur badannya menggigil. Hatinya terasa hampir meledak. Dengan pandang menyala ia membentak. “Kodrat! Apa artinya ini?”

Kodrat seolah-olah tak mendengar bentakannya. Ia menoleh kepada pasukannya. Memberi perintah, “Maju! Kepung rapat. Kalau bisa, tangkaplah pengacau itu hidup-hidup. Bila melawan habisi nyawanya.”

Bukan main gusarnya Jaga Saradenta sampai mulutnya tak bisa berbicara. Ia mengerling pada Wirapati. Pandangnya minta maaf dan belas kasih. Tapi Wirapati nampak tenang. Ia berdiri tegak. Melihat para serdadu datang mendekat, ia berkisar dari tempatnya.

“Apa dia Kodrat?” katanya pada Jaga Saradenta.

“Bukan! Bukan!”

“Dulu kau bilang, biar dia berganti rupa seribu kali sehari kau takkan terkecoh.”

“Aku menyesal. Mataku buta. Otakku tumpul. Hatiku gelap. Apa perlu aku hidup lebih lama lagi. Hari ini, biarlah aku mati untuk menebus kegoblokanku itu,” sahut Jaga Saradenta. Hatinya penuh sesal, pedih dan malu. Dua kali, ia kena diakali kemenakannya. Hati siapa takkan meledak.

Pada saat itu para serdadu sudah menerjang. Mana bisa mereka berdua menyerah dengan begitu saja. Secepat kilat mereka melesat membuka gelanggang.

“Wirapati! Saksikan aku menghajar begundal Kodrat,” kata Jaga Saradenta. Lantas saja dia merangsak mengarah kepada kemenakannya.

Wirapati tersenyum pahit. Ia meloncati dua orang serdadu yang sedang mengayunkan pedang berbareng kepadanya. Tangan kirinya membalik cepat, terus menerkam gagang pedang. Sedang tangan kanannya menyodok tulang-rusuk serdadu yang lain. Sekali dia menyerang, pedang lawan dapat dirampasnya sambil melukai yang lain. Menyaksikan kegesitan itu serdadu-serdadu mundur berserabut-an. Tetapi mereka berada di atas kuda. Tak mudah mereka bergeser tempat. Itulah sebabnya sebelum mereka dapat menguasai diri, Wirapati sudah berhasil menikam tiga orang dengan pedang rampasan. Mengejutkan.

Mereka kini melindungi diri rapat-rapat. Pedangnya diputar kencang. Wirapati undur selangkah. Kemudian meloncat dan menyambar dua serdadu sekaligus. Mereka terjungkal ke tanah. Yang membawa senapan cepat-cepat mengisi bubuk mesiu. Mereka berjumlah empat orang.

Wirapati bermata tajam. Secepat kilat ia merapat dan bersembunyi di belakang gerombolan serdadu. Melihat Wirapati berlindung di belakang tubuh teman-temannya, mereka tak dapat memetik senapannya.

Di tempat lain; Jaga Saradenta mengamuk seperti banteng. Ia berhasil pula merebut pedang seorang serdadu dan terus merangsak. Kodrat melihat gelagat buruk, hatinya menjadi jeri. Segera ia menjejak perut kudanya hendak melarikan diri. Jaga Saradenta gusar sekaligus meledak. “Jangan biarkan anjing itu lari!”

Wirapati mendengar teriakan Jaga Saradenta. Cepat ia meninggalkan gerombolan serdadu. Ia mencegah larinya kuda. Di luar dugaan kuda Kodrat melesat sangat cepat. Wirapati tak menjadi gugup. Tangannya menyambar ekor kuda, terus menjejakkan kaki. Ia terbang ke udara, tangan kanannya membalik menghantam punggung.

Kodrat terkejut bukan kepalang. Cepat-cepat ia menangkis. Tetapi mana bisa ia menahan gempuran Wirapati. Seketika itu juga ia terpental dan jatuh berjumpalitan ke tanah. Tatkala berdiri tegak tahu-tahu tinju Jaga Saradenta mendarat di dadanya.

Kena hantaman tinju pamannya ia lontak darah. Tangan kanannya menggapai pistol, la kalah cepat. Lehernya kena gempuran lagi. Seketika itu juga ia jatuh terjungkal.

Mendadak Jaga Saradenta terkesiap. Beberapa orang serdadu datang menyerang. Sekejap saja ia melihat di antara mereka membidikkan senapan. Melihat gelagat buruk, tanpa berpikir panjang lagi diangkatlah tubuh kemenakannya. Senapan meletus dan tubuh Kodrat dibuatnya perisai.

Kodrat menghembuskan napas tanpa sempat berteriak lagi. Tubuhnya berlumuran darah. Ia dilemparkan ke tanah. Derap kuda datang tidak dapat dikendalikan lagi. Tubuhnya lantas saja tergulung-gulung dan terinjak-injak kuda.

Jaga Saradenta menutup mata. Tak tahan ia menyaksikan kemenakannya akhirnya mati begitu hina. Tetapi justru saat ia menutup mata datanglah bahaya. Ia diterjang beberapa orang serdadu. Pundaknya tersabet pedang. Ia terkejut dan cepat-cepat melesat pergi.

Wirapati segera datang menolong. Ia merampas kuda dan menghampiri cepat.

“Lompat!” teriak Wirapati.

Tetapi Jaga Saradenta menderita luka yang cukup parah. Dadanya mulai terlumuri darah. Kepalanya pusing berputaran, tangannya menggapai. Gntung, Wirapati tahu keadaannya. Disambarnya tangan itu dan ditariknya ke atas.

'Tembak! Tembak!” teriak serdadu-serdadu yang berusaha mengejar mereka.

Dua tembakan meletus di udara. Kemudian disusul satu kali lagi dan sekali lagi.

Bersambung.....

No comments:

Post a Comment