Friday, October 25, 2013

BENDE MATARAM "Pengejaran" Jilid 4f

bende mataram
Sapartinah kaget waktu kena sambar si pemuda. Ingat akan anaknya ia mendekapnya kencang. Ia menutup mata. Terasa hawa panas menusuk dirinya. Tetapi hanya sekejap. Itulah waktu dia dibawa terbang si pemuda melintasi api yang menyala-nyala sekitar rumah.

“Akan kaubawa ke mana aku?” ia memekik.

Si pemuda tidak menjawab. Dia hanya membekam mulutnya. Kemudian berhenti sejenak. Sanjaya digendongnya di atas punggung, sedang dia sendiri segera dipapah tanpa dapat berdaya sedikitpun.

Sapartinah kaget dan ketakutan. Ia sedih dan lelah pula. Seharian tadi dia sibuk bekerja di dapur memasak empat ekor ayam. Kemudian datanglah malapetaka itu. Suaminya bertempur melawan orang-orang Banyumas. Dan pada petang hari terjadi pulalah peristiwa perebutan pusaka.

Kejadian demikian belum pernah dialaminya selama hidup 22 tahun di dunia. Sekarang mendadak ia dipapah seseorang. Sedang anaknya nampak sangat ketakutan. Saking takutnya sampai tak bisa berteriak atau menangis, la terharu, sedih, pedih, kesal dan kaget. Karena rumun gejolak hati ia jatuh pingsan.

Malam hari bergantilah pagi. Perlahan-lahan ia membuka mata. Pertama-tama yang tampak di depan matanya adalah atap sebuah kamar. Dirinya terang berada di dalam kamar. Berselimut dan terbaring di atas dipan. Ia menoleh. Dilihatnya Sanjaya tidur mendengkur. Hatinya dingin oleh rasa syukur.

Mendadak ia mendengar langkah lembut. Sapartinah berpaling cepat. Di tepi dipan berdiri seorang pemuda yang memandangnya dengan wajah manis. Pemuda itu berkata lembut padanya, “Kau terlalu lelah. Kenapa bangun sepagi ini?”

la merenungi pemuda itu. Teringatlah kemudian peristiwa yang telah dilaluinya. Suatu bongkahan rasa menusuk dadanya. Ia menjatuhkan kepala.

“Mana Suage? Mana Tantre? Mana Rukmini?” ia berkata berbisik seperti mengigau. Kemudian merintih sedih. Akhirnya menangis sesak tersekat-sekat.

Pemuda itu pandai membaca hati. Perlahan-lahan ia mengundurkan diri. Di ambang pintu ia berdiri menimbang-nimbang. Mendadak ia mendekatinya lagi dan meraba-raba pundak Sapartinah. Keruan Sapartinah kaget. Serentak ia bangkit menegakkan diri seraya memandang si pemuda dengan tajam.

“Mengapa kau ...” damprat Sapartinah.

“Ssst,” potong si pemuda. “Aku tidak bermaksud mengganggumu. Kupikir kamu sangat letih. Aku ingin menolongmu memijat pundakmu.”

Bibir Sapartinah gemetaran karena menahan kegusaran hatinya.

“Mengapa kamu menggangguku ... mengganggu keluargaku ... mengganggu ...” Serentak dia berkata garang.

“Jangan salah paham, Nyonya,” si pemuda memotong lagi dengan suara lembut. “Tidak ada maksudku mengganggu keluarga Nyonya. Kebetulan sekali aku lewat dan mengetahui orang-orang jahat yang menyamar sebagai rombongan penari. Kuhadang mereka dan salah seorang pemimpinnya telah kubunuh. Tak kuduga sama sekali kalau mereka masih saja memusuhi keluarga Nyonya. Hanya saja, Nyonya ... aku salah duga. Kukira yang berada di dalam rumah adalah kawanan mereka. Karena itu aku melepaskan tangan jahatku. Sadar akan kekeliruanku, cepat-cepat aku menyambar Nyonya. Seperti Nyonya ketahui ... rumah dalam keadaan bahaya.”

“Bohong! Aku tahu kaubohongi” teriak Sapartinah sengit.

“Ssst! ... jangan bicara terlalu keras! Kita berada di rumah orang.”

Sapartinah sebenarnya seorang wanita yang mengutamakan sopan-santun, meskipun ia rada genit. Mendengar teguran itu, lantas saja ia mengendapkan gejolak hati.

“Kita ini ada di mana?”

Si pemuda tersenyum menyaksikan tata-pengucapan hati Sapartinah. Dengan lembut ia menjawab, “Kita ada di rumah seorang penduduk Desa Besaran.”

“Besaran?” Sapartinah terkejut. Tahulah dia, Desa Besaran letaknya dekat Kota Magelang. Dengan demikian, desanya Karangtinalang sudah jauh ditinggalkan.

“Mengapa aku kaubawa ke mari?”

“Nyonya, Nyonya dalam bahaya. Kawanan orang-orang Banyumas terus mengejar kita.”

“Apa peduliku?”

Si pemuda mengela napas. Seraya berdiri undur. “Baiklah, kalau aku kaupersalahkan. Tadi aku bermaksud meminta maaf padamu, karena salah duga aku membunuh salah seorang sahabatmu. Tetapi aku tak bermaksud jahat padamu. Lihat, anakmu tak kuusik selembar rambutnya.” Ia berhenti mengesankan. “Sekiranya Nyonya masih menimpakan kesalahan ini tanpa pemaafan, biarlah aku pergi.”

Sapartinah jadi bimbang. Ia dan anaknya— berada di suatu desa yang belum dikenal pojoknya. Sikapnya yang kaku mereda lagi. Meskipun demikian ia masih berusaha berkata garang.

“Dimanakah suamiku?”

“Siapa suami Nyonya?”

“Suage. Wayan Suage. Apakah dia ... dia ...”

“Nyonya, janganlah Nyonya gelisah,” hibur si pemuda. “Lebih baik istirahatlah. Perjalanan kita masih jauh.”

“Masih jauh? Masih jauh?” Sapartinah terkejut. “Mau kaubawa ke mana aku? Aku isteri seseorang!”

Si pemuda menundukkan kepala. Menjawab dengan sangat hati-hati.

“Nyonya ... biarkanlah aku menebus dosaku. Kulihat tadi, suamimu mati dibunuh jahanam-jahanam yang membakar rumahmu. Karena aku merasa diri ikut bersalah, perkenankan aku mengasuh anakmu sampai dewasa.”

Mendengar berita kematian suaminya Sapartinah kehilangan keteguhan hatinya. Sekujur badannya seperti terlolosi. Ia jatuh lunglai. Kemudian memiringkan diri sambil memeluk anaknya.

Sanjaya jadi menggeliat. Matanya liar menatap ke atap. Ketika menoleh dilihatnya ibunya memeluknya erat-erat sambil menangis tertahan.

“Sanjaya. Ayahmu ...” bisik ibunya tersekat-sekat.

Si pemuda menunggu sampai tangis itu reda. “Kawanan bangsat yang berkeliaran di luar sudah kembali ke barat. Mari kita berangkat.” “Berangkat?”

“Ya, berangkat. Apa Nyonya ingin kembali ke kampung? Apa yang Nyonya cari? Rumah sudah terbakar habis. Suamimu ... dan kawanan bangsat mana mau meninggalkan desa. Mereka masih dendam kepadamu.”

“Mengapa aku?”

“Karena Nyonya termasuk keluarga mereka yang menyembunyikan pusaka.”

“Kamu pun ingin merebut pusaka itu.”

“Hm,” si pemuda menyenak. “Apa untungnya mempunyai pusaka itu?”

Terasa dalam hati nurani Sapartinah, kalau si pemuda berbohong sejak tadi. Tetapi kata-katanya manis dan enak didengar. Selain itu bisa menyejukkan hatinya.

Si pemuda meninggalkan kamar. Mau tak mau Sapartinah membangunkan anaknya. Hati-hati ia membimbing anaknya keluar kamar. Di depan pintu dua orang perempuan menyambutnya dengan sangat hormat. Mereka menunjukkan kamar mandi yang terbuat dari dinding keropos. Kamar mandi itu berada di samping rumah.

Sapartinah membasuh mukanya. Tak ingin dia mandi seolah-olah begitulah cara dia menyatakan duka-cita atas kematian suaminya. Sanjayapun tak dimandikan pula.

Di luar rumah, si pemuda meninggalkan beberapa keping uang perak kepada pemilik rumah. Dua ekor kuda telah tersedia. Sapartinah dan Sanjaya datang dengan pandang berteka-teki. Si pemuda menyambut kedatangannya dengan ramah. Ia menghampiri Sanjaya. Kedua tangannya diulurkan. Entah bagaimana, Sanjaya tiba-tiba maju mendekati. Segera ia dipondong.

Sapartinah hendak mencegah, tetapi si pemuda membisiki.”Maafkan aku Nyonya ... dengan lancang terpaksa aku mengakui Nyonya isteriku dan dia ...”

Sapartinah berubah wajahnya menjadi merah jambu. Gntung, pemilik rumah menduga lain. la menduga mereka berdua lagi membisikkan kata-kata bercumbu.

Dengan penuh kasih si pemuda menolong menaikkan Sapartinah di atas pelana.

Kemudian ia sendiri bersama Sanjaya naik ke atas kuda lainnya. Begitulah, maka mereka meneruskan perjalanan. Sepanjang jalan Sapartinah mulai menebak-nebak diri si pemuda. Pikirnya, Orang ini dihormati penduduk sepanjang jalan. Siapa dia?

Sapartinah tak tahu, kalau uang dapat pula menjunjung derajat dan martabat. Tetapi, memang penduduk yang bersua dengan si pemuda lantas saja pada menyibak. Yang mengenakan caping di atas kepala, buru-buru membuka sambil mengangguk.

“Sebenarnya, ke mana aku mau kaubawa?” tanya Sapartinah.

“Yang penting sekarang, kita membebaskan diri dari incaran kawanan bangsat,” jawab si pemuda. “Kalau keadaan sudah tenang kembali, perlahan-perlahan kita cari jenazah suamimu. Kemudian aku akan mencari sarang kawanan bangsat itu, untuk menuntut dendam. Hm ... coba kalau tidak ada mereka, tak bakal aku salah duga sehingga harus berbuat jahat kepada seorang sahabat Nyonya.”

Sapartinah lemah hatinya. Ia rada genit, karena itu gampang tertarik oleh kata-kata mesra. Lagi pula hati dan otaknya sederhana. Tak dapat ia menduga-duga seseorang lebih mendalam. Sekarang mendengar omongan si pemuda yang beralasan ia malahan bersyukur dalam hati.

“Sanjaya! Cepatlah menjadi dewasa,” katanya kepada anaknya. “Kemudian kita berdua membalas budi, eh ...”

“Membalas budi?” potong si pemuda gembira. Matanya berkilat-kilat. “Akulah yang berhutang kepada Nyonya.”

“Tidak,” sahut Sapartinah. “Kalau kupikir-pikir, kamu tak bersalah pada keluargaku. Tentang pembunuhan itu ... barangkali tiap orang bisa berlaku demikian, jika terjadi salah duga.”

Si pemuda bersyukur dalam hati. Tetapi ia licin. Segera menyembunyikan perasaan itu dengan kata-kata seperti merasa bersalah.

“Nyonya! Mulai sekarang kuserahkan seluruh tubuhku kepada Nyonya. Meskipun aku hancur lebur, takkan aku menyesal. Aku akan selalu menyertai Nyonya ke mana Nyonya pergi. Aku akan selalu tunduk dan patuh pada semua kata-kata Nyonya.”

Bersambung.....

No comments:

Post a Comment