Monday, October 21, 2013

BENDE MATARAM "Pengejaran" Jilid 4b

Mereka berduapun diam-diam menjadi kagum. Itulah cara yang sempurna untuk mengurangi tekanan guncangan hati. Gejolak darah dapat disalurkan juga. Kalau seseorang tidak mempunyai kesadaran yang dalam, bagaimana ia dapat berbuat begitu. Sebab perbuatan itu untuk menenangkan diri.

Mendadak Hajar Karangpandan mendongakkan kepala. Raut mukanya yang tadi nampak bengis, telah sirna. Matanya memancarkan pandangan yang tajam dan lembut. Ia menghela napas dalam, katanya, “Anak muda, kulihat di dalam rumah itu empat mayat menggeletak bertebaran selain mayat sahabatku. Siapa mereka?”

“Mana kutahu,” sahut Wirapati. “Waktu aku memasuki rumah, mereka berdiri tegak saling mencurigai. Kukira, mereka habis bertempur. Napasnya masih terengah-engah.”

“Jahanam itu saling memperebutkan pusaka,” potong Hajar Karangpandan.

“Tepat dugaanmu. Tatkala sahabatmu yang mati itu kena senjata rahasia, mereka lantas datang berebut. Dua orang mati kena hantaman sahabatmu yang lain. Dua orang lainnya terpatahkan lengan dan kakinya oleh si pemuda. Kemudian terjadilah kekacauan itu. Rumah dibakar. Si pemuda membawa lari anak dan isteri salah seorang sahabatmu. Dan aku menggendong sahabatmu yang luka parah.” “Kenapa luka parah?”

“Mata kakinya kena senjata si pemuda. Untuk mencegah menjalarnya racun, kupagas betisnya.”

“Hm.”

“Tetapi dia kehilangan banyak darah. Ketika kusembunyikan di gerumbulan dalam hutan ini, beberapa kali dia jatuh pingsan. Sayang, sebelum aku sempat menolongnya hutan terbakar. Aku terpelesat jauh. Kucoba menghampiri, tetapi panas api tak dapat kutahan. Maafkan. Aku orang tak berguna ...”

“Tidak! Akupun tak tahan berenang dalam lautan api,” potong Hajar Karangpandan. “Cuma sahabatku yang bernasib buruk. Tetapi ... tetapi semuanya ini akulah yang mendatangkan gara-gara. Kalau aku tak menyerahkan kedua pusaka kepada mereka ...”

la tak meneruskan. Mendadak dia berdiri dan lari menghampiri batas hutan. Kemudian dia bersujud rendah sampai mencium tanah. Tatkala kepalanya menegak lagi, ia berteriak nyaring sampai menggetarkan tanah, “Wayan Suage! Wayan Suage! Dengarkan kata-kataku! Kau seorang laki-laki sejati. Sayang, akulah yang menjerumuskanmu ke dalam lumpur malapetaka. Aku bersumpah kepadamu, akan kucari anak isterimu sepanjang hidupku. Akan kurawat dan kuasuh anakmu seorang itu. Semoga rohmu di alam baka melindungi aku. Kuharapkan pula kamu mengampuni kesalahanku.”

Dia berdiri tegak. Membungkuk. Kemudian berputar mengarah Wirapati dan Jaga Saradenta. “Sekarang, marilah kita bertempur. Inilah syarat kedua,” katanya meledak.

Mendengar ucapannya itu, sudah barang tentu Wirapati dan Jaga Saradenta dibuat terkejut. Sama sekali tak diduganya, Hajar Karangpandan tiba-tiba menantang mereka bertempur setelah nampak berlaku begitu lemah dan sabar.

Tetapi sebagai seorang kesatria, meskipun sedang menderita luka, takkan sudi memperlihatkan kelemahan diri. Segera mereka berdiri tegak dan bersiaga.

“Eh, kalian mau apa?” damprat Hajar Karangpandan.

“Bukankah kamu tadi menantang kami bertempur?” Wirapati heran.

“Betul! Tapi aku belum habis bicara. Syarat kedua belum lagi kuuraikan. Duduklah!”

Wirapati dan Jaga Saradenta saling memandang. Kalau menurut tabiatnya, mereka merasa dipermainkan orang ini. Bagaimana bisa menerima hinaan itu. Tetapi mereka kalah janji. Terpaksalah mereka duduk kembali dengan hati memaki-maki.

“Kau Gelondong Segaluh, tak usah lagi aku bertanya kepadamu. Kamu sudah dikelabui si bangsat Kodrat. Cuma, kamu diberi kesempatan Tuhan melihat anak isteri salah seorang sahabatku. Siapa yang dilarikan si Kodrat dan siapa pula yang dilarikan si pemuda jempolan itu, aku pun tak tahu. Tapi kita bertiga pernah mendengar atau melihat mereka yang kena malapetaka, maka kitapun tak dapat membuta tuli. Kebajikan seorang kesatria semenjak dulu cuma satu. Yakni, ingin bekerja sekali berarti kemudian mati. Kau setuju tidak kata-kataku yang belakangan ini?”

“Bicaralah! Jangan kau berlagak seperti guru!” bentak Jaga Saradenta.

“Tapi kalian harus menerima keputusan setiap kata-kataku. Itulah celakanya!” Hajar Karangpandan kemudian tertawa senang. “Sekarang, aku menantang kalian berdua berkelahi sampai mampus.”

“Bagus!” potong Jaga Saradenta dan Wirapati berbareng.

“Nanti dulu, dengarkan!” teriak Hajar Karangpandan. “Aku belum habis bicara. Perkelahian sampai mati itu harus dilakukan dalam jangka panjang.”

“Apa kita berkelahi mengadu racun?” Wirapati tak sabar.

“Racun cuma bisa bertahan paling lama dua bulan,” jawab Hajar Karangpandan. “Sebaliknya aku menghendaki masa lebih lama lagi. Yakni, selama dua belas tahun.”

“Gila!” jerit Jaga Saradenta sambil membanting tangan. “Aku sudah berumur tujuh puluhan tahun. Belum pernah kudengar orang berkelahi sampai mati dalam waktu dua belas tahun. Barangkali cuma dongeng belaka. Cerita Bharatayuda dalam wayang purwapun cuma 18 hari. Ini syarat edan! Syarat gendeng! Syarat gila!”

“Ah, kalau begitu kalian ini kesatria-kesatria kosong mlompong.” Hajar Karangpandan membakar hati. “Tak sudi lagi aku bicara.”

Dibakar demikian, Jaga Saradenta lantas saja meledak. “Bangsat! Kau tak usah memancing kemarahanku. Cepat katakan, apa maumu!”

“Bagus!” puji Hajar Karangpandan. “Kita ini bangsa kesatria sejati, bukan kesatria kampungan. Kalau kita bertaruh, masakan bertaruh gampang-gampangan seperti anakanak kampung. Sekali kita ingin mendaki gunung, pilihlah gunung yang tertinggi di dunia. Sekiranya kita terpeleset mampus ke dalam jurang, nama kita sedikit bisa diagungkan orang-orang. Hai, apa pendapatmu anak muda?”

Wirapati yang semenjak tadi diam, kaget mendapat pertanyaan itu. Sebagai anak muda. memang ia tertarik dengan omongan Hajar Karangpandan yang penuh teka-teki. Hatinya sedang menduga-duga tentang perkelahian sampai mati dalam jangka dua belas tahun. Karena pertanyaan mendadak itu, ia mengangguk kosong.

“Ah, inilah calon kesatria jempolan,” kata Hajar Karangpandan sungguh-sungguh. “Sekarang dengarkan baik-baik. Telinga harus kalian lebarkan benar. Jangan sampai kalian kehilangan tiap patah kata. Kalian akan rugi sendiri. Karena kata-kataku ini kelak akan menentukan di kemudian hari.”

“Monyet, cepatlah!” potong Jaga Saradenta tak sabar. Ia terbatuk-batuk kecil dan menyemburkan segumpal darah. Hajar Karangpandan merenungi, kemudian katanya, “Kita sudah berjanji akan bertempur sampai mati dalam jangka dua belas tahun. Adapun corak pertempuran itu begini. Kita mengadu kepandaian sejati. Yang kumaksudkan kepandaian sejati, bukan mengadu tinju dan tendangan. Bahkan bergerak sedikitpun tabu. Mengadu tinju dan tendangan, mengadu kekebalan kulit dan senjata tajam itu perbuatan gampang. Kalau hanya begitu semua orang yang berilmu sekarang ini pasti bisa melakukannya.”

“Lantas!” Jaga Saradenta dan Wirapati ternganga-nganga.

“Kita bertiga ini, setidak-tidaknya termasuk manusia-manusia yang bisa malang melin-ang di seluruh jagad tanpa halangan dan rintangan. Marilah kita mencukil sejarah yang lain daripada anak-anak yang bakal dilahirkan.”

“Kau bilang, kita bakal bertempur sampai

ati, apa maksudmu?” potong Jaga Saradenta. “tlntuk mengambil keputusan, siapa di antara kita yang menang.”

“Tapi kau bilang, kita tak boleh menggunakan tangan, kaki, kekebalan kulit dan senjata. Lantas apa yang kau mau?” Wirapati menyahut.

Hajar Karangpandan membusungkan dada.. Dengan bersikap agung ia menjawab, “Aku akan melawan kalian berdua. Dalam jangka dua belas tahun, kita akan memutuskan siapakah yang menang. Tetapi kecuali mengadu kepandaian, kita mengadu pula kesabaran dan akal budi.”

Wirapati yang tadi bersikap tenang, mendadak kehilangan kesabaran. Lantas saja mendamprat.

“Apa kita mengadu mulut? Atau mengadu betah-betahan bertapa? Atau mengadu membuat jimat-jimat sakti? Atau mengadu membuat obat dan racun untuk dapat menghidupkan kedua sahabatmu itu? Baiklah, aku menyerah.”

“Bukan! Bukan!” sahut Hajar Karangpandan . seraya tertawa riuh.

“Lantas?” sambung Jaga Saradenta. “Apa kauingin kita mengadu mencuri ayam, mencopet atau menculik perempuan?”

“Bukan! Bukan!” tertawa Hajar Karangpandan kian meriuh.

“Cepat katakan! Jangan berputar tak keruan juntrungannya!” bentak Jaga Saradenta mendongkol.

“Baiklah kukatakan,” akhirnya Hajar Karangpandan berkata perlahan. “Kalau kita berputar kembali mengapa kita sampai berkelahi ini adalah semata-mata urusan berbuat suatu kebajikan kepada dua orang sahabatku: Kalian tahu, anak isteri yang dibawa lari Kodrat itu kukira anak isteri Made Tantre. Sebab mereka berdua dilarikan setelah gerombolan bangsat Banyumas menyerbu rumah. Bukankah begitu, anak muda.”

Wirapati mengingat-ingat.

“Si pemuda jempolan itu menyambar seorang perempuan yang berdiri memipit dinding. Sedangkan isteri sahabatmu yang mati, kulihat jatuh pingsan di sampingnya. Akulah yang mendorongnya agak menjauh, tatkala hendak memeluk mayat suaminya.”

“Tepat dugaanku,” Hajar Karangpandan berlega hati. “Kalian berdua sudah pernah melihat juga. Dan siapa yang membawanya lari, telah diketahui pula oleh Gelondong Jaga Saradenta.”

“Betul. Kemenakanku yang membawanya lari,” kata Jaga Saradenta. “Tetapi kalau kau bilang aku kenal betul raut mukanya, masih kurang tepat. Aku hanya melihat dia selintas saja.”

“Tetapi sekutumu anak muda ini, cukup lama mengenal raut mukanya. Jadi kuanggap kalian berdua sudah mengenal baik-baik. Sebaliknya meskipun aku baru mengenal muka isteri Wayan Suage selintasan pula, kuanggap diriku telah mengenal baik-baik juga. Nah, kita berlaku adil. Kalian harus tahu, kalau aku bersahabat dengan mereka berdua baru berlangsung kemarin sore dalam waktu beberapa jam saja.”

Wirapati dan Jaga Saradenta saling memandang. Sama sekali mereka berdua tak menduga, persahabatan Hajar Karangpandan itu baru berjalan seperempat hari. Melihat dan menyaksikan sepak terjangnya, mereka lantas saja menghargai keluhuran budinya. Sekarang, mana bisa mereka mengalah dalam soal keluhuran budi? Maka dengan diam-diam, mereka sudah mulai mengadu panggilan keluhuran budi.

“Tentang nasib anak isteri Wayan Suage. serahkan kepadaku. Aku akan mencarinya sampai ketemu, biar pemuda itu bersembunyi di ujung langit. Itulah dasar syarat kedua.”

“Eh ... jadi kita berdua kausuruh mencari anak-isteri Made Tantre sebagai syarat per-taruhan?”

“He-e.”

“Siapa yang lebih dulu berhasil, dia yang menang. Begitulah maksudmu?”

“Baru separoh menang,” ujar Hajar Karangpandan dengan tersenyum. “Sebab kalau hanya bertaruh macam begitu, adalah pekerjaan yang mudah. Tetapi yang separoh lagi, itulah baru bernapas pertaruhan sejati.”

“Apa itu?” Jaga Saradenta dan Wirapati berseru berbareng.

“Hai—itulah syarat ketiga. Dengarkan kujelaskan. Seperti kalian ketahui, Wayan Suage dan Made Tantre masing-masing mempunyai seorang anak laki-laki. Anak mereka masing-masing dibawa lari kedua bangsat itu yang mempunyai arah bertentangan. Aku akan mendidik dan mengajar anak Wayan Suage yang dilarikan oleh si pemuda jempolan. Dan kalian berdua mendidik dan mengajar anak Made Tantre. Nah, bagaimana?”

Bersambung....

No comments:

Post a Comment