Lambat laun Wirapati dan Jaga Saradenta menemukan titik pertemuan. Mereka lantas dapat bekerja sama dengan rapi. Wirapati menyerang bagian atas dan sanggup mengadu kegesitan. Sedangkan Jaga Saradenta meliuk-liuk rendah mengancam bagian bawah dada. Hajar Karangpandan tercengang-cengang. Apa mereka berasal dari satu perguruan? pikirnya. Hajar Karangpandan tak pernah berpikir, Jaga Saradenta bersahabat dengan guru Wirapati, Kyai Kasan Kesambi. Dalam perang Giyanti Jaga Saradenta seringkali mendampingi Kyai Kasan Kesambi dan sudah mengenal liku-liku ilmunya. Meskipun belum keseluruhannya, tetapi dasar pokoknya tidak asing baginya. Itulah sebabnya, setelah memperhatikan gerak-gerik Wirapati teringatlah dia akan sepak terjang sahabatnya. Segera ia dapat mengimbangi dan menyesuaikan diri.
Wirapati berotak encer. Begitu melihat permainan Jaga Saradenta, lantas saja Wirapati memperkuat diri. Dasar dia merasa tak sanggup melawan Hajar Karangpandan seorang diri, maka oleh ketinggian hatinya ia ingin menang mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
“Bangsat!” maki Hajar Karangpandan. Benar-benar kalian kawanan bangsat jempolan. Eh, siapa mengira umur setua ini berjumpa dengan kalian.”
Dia meloncat mundur dua langkah. Wirapati dan Jaga Saradenta lantas memburu. Itulah yang diharapkan. Begitu mereka berdua menerjang jebakannya, ia lantas menggempur dengan tangannya berbareng. Jaga Saradenta kena terhantam dadanya. Seketika itu juga dia terpental tiga langkah dan lontak darah. Wirapati kena dihajar pundaknya dan jatuh terbanting di tanah. Tetapi Hajar Karangpandan juga terkena serangan mereka. Serangan Jaga Saradenta mengenai ujung lehernya, sedangkan kaki Wirapati tepat menendang pinggang. Ia berteriak kesakitan dan jatuh tertelungkup.
Ketiga-tiganya lantas duduk bersemedi. Pernapasannya diaturnya cepat-cepat sambil menajamkan pendengaran untuk berjaga-jaga menghadapi segala kemungkinan. Sesaat kemudian, Jaga Saradenta mulai bicara. “Nanti dulu Saudara, tahan sebentar. Kita bicara dulu.”
“Apa yang harus dibicarakan,” sahut Hajar Karangpandan angkuh. Tetapi hatinya sesungguhnya menghendaki istirahat barang sebentar.
“Aku seorang tua bernama Jaga Saradenta, Gelondong Desa Segaluh. Aku mau berbicara.”
“Bicaralah! Apa perlu memperkenalkan nama.” Jaga Saradenta tak mendengarkan ocehan Hajar Karangpandan.
“Kukira dalam hal ini, terjadi salah paham. Coba aku minta penjelasan, kenapa kamu bertempur dengan anak muda ini?”
“Hm!” Hajar Karangpandan menyibirkan mulut. “Dia bangsat muda, menculik sahabatku. Bagiku, kalau aku sudah mengaku bersahabat dengan seseorang... Mengorbankan nyawa bukanlah suatu perbuatan yang sok gagah. Sejak dulu, orang menghargai suatu persahabatan sejati. Bersedia mengorbankan nyawa merupakan dasar tali persahabatan. Sekarang sahabatku dibunuh orang. Masa aku tinggal berpeluk tangan belaka.”
“Kata-katamu benar-benar suara seorang kesatria sejati,” sahut Jaga Saradenta. “Tetapi benarkah anak muda ini menculik sahabatmu? Lihat, aku belum berkenalan dengan dia. Meskipun begitu aku mau bicara. Tidak ada keuntunganku sama sekali dalam hal ini, kecuali besar keinginanku untuk mengikis kesalahpahaman kalian berdua.”
Wirapati mendongkol campur geli melihat lagak Hajar Karangpandan. Di antara ketiga orang, dialah yang terluka ringan. Pundaknya hanya terasa kaku. Setelah beristirahat sebentar, ia dapat bergerak dengan agak leluasa lagi.
“Aku memang bangsat muda penculik sahabatmu,” katanya sengit. “Rumahnya, akulah yang membakar. Pusakanya akulah yang merampas. Lantas kau mau apa?”
Hajar Karangpandan tercengang-cengang mendengar ucapannya. Dia seorang sembrono dan ugal-ugalan . Tapi justru mendengar kata-kata Wirapati yang bernada sembrono dan tinggi hati, malahan dia jadi tertarik.
“Apa kamu bilang?” ujarnya agak lunak.
“Kau bilang aku bangsat muda yang menculik sahabatmu. Memang aku bangsat muda penculik sahabatmu.”
“Kau bilang pembakar rumah juga?”
“Ya. Malahan akulah si bangsat perampas pusakanya. Sekarang kamu mau apa? Ayo, bertempur dua bulan lagi,” lantas Wirapati berdiri tegak.
Hajar Karangpandan adalah orang yang tidak tahan disumbari orang. Tapi ia mulai bisa berpikir, ketika mendengar Wirapati mengakui sebagai pembakar rumah. Sedangkan dia mendapat keterangan, kalau orang-orang Banyumas yang berbuat begitu. Bukankah mereka juga yang membakar hutan?
“Bangsat! Apa kamu kira aku jera padamu?” bentak Hajar Karangpandan. Dan ia memaksa diri mau berdiri. Tetapi Jaga Saradenta menengahi.
“Tahan! Kauanggap apa aku ini?” teriaknya nyaring.
Hajar Karangpandan mengurungkan niatnya. Kemudian Jaga Saradenta berpaling kepada Wirapati. “Kau heran kenapa aku datang membantu. Sebenarnya tidak ada niatku mencampuri soal ini. Tetapi kudengar kau menyebutkan nama sahabatku Kyai Kasan Kesambi. Kau menyebut pula sebagai muridnya. Makanya aku tak bisa tinggal diam. Bukankah bersedia mengorbankan nyawa adalah dasar mutlak bagi suatu persahabatan sejati seperti kata Ki Hajar itu?”
Mendengar Jaga Saradenta adalah sahabat gurunya, Wirapati jadi bersabar hati. Perlahan-lahan dia duduk kembali. Tetapi pandang matanya tak beralih dari Hajar Karangpandan.
“Sekarang perkenankan aku bertanya kepadamu, anak muda,” kata Jaga Saradenta lagi. “Bagaimana mula-mula kamu ada di tempat ini?”
“Aku datang dari Cirebon diutus guruku. Kebetulan melintasi Desa Karangtinalang. Kudengar tentang peristiwa pusaka sakti. Maka kuculik sahabatnya dan kubakar hidup-hidup di dalam hutan.”
“Ah! berkatalah yang benar.”
“Bukankah aku sudah mengatakannya?”
“Bangsat! Iblis!” Maki Hajar Karangpandan kalang, kabut. Sekarang tahulah dia, hatinya sedang dipermainkan pemuda itu. Diam-diam ia menyesali hatinya sendiri yang masih saja mudah meluap.
“Tiba-tiba kau menyerang, masa aku sudi mendengarkan ocehanmu?” Wirapati membalas dengan sengit.
“Nah, apa kubilang,” potong Jaga Saradenta. “Kalian salah paham. Aku juga. Ini semua gara-gara si biadab Kodrat. Dia memang kemenakanku, tapi dalam soal ini tidak ada lagi sanak saudara. Siapa yang bersalah harus di hukum”.
Jaga Saradenta langsung menoleh mencari kemenakannya. Tetapi Kodrat tak nampak batang hidungnya. “Bangsat! Mana dia?” Ia terkejut.
Darahnya lantas saja naik ke leher. Tubuhnya menggigil, karena hatinya serasa hampir meledak. “Kurang ajar! Dia melarikan diri, selagi kita bertempur,” teriaknya tinggi.
“Hm,” Hajar Karangpandan mencibirkan bibir. “Kamu tua bangka berlagak melindungi. Tapi kaudengar kata-kataku semalam. Kalau benar-benar dia berada di rumahmu, akan kuhabisi seluruh keluargamu. Sekarang kau mau bicara apa?”
Jaga Saradenta tak sanggup berbicara lagi. Hatinya penuh pepat. Siapa mengira, kemenakannya ternyata licik dan sampai hati membiarkan dirinya menanggung malu. Padahal tadinya ia mengharapkan keterangan kemenakannya akan menghapus kesalahannya semalam. Setelah itu, dia akan meminta maaf. Tak tahunya, dirinya sekarang kian terperosok ke dalam masalah.
Hajar Karangpandan tertawa terbahak-bahak. Senang hatinya, melihat orang keripuhan.
“Ayo bicaralah! Kamu kan laki-laki juga?” ujarnya.
“Tak sanggup lagi aku menelan peristiwa ini. Kaulah yang bicara. Kalau tidak mau, ya sudah kita bertempur lagi sampai mati,” sahut Jaga Saradenta. Kalau tadi ia ingin menghindari pertempuran mati-matian, kini sebaliknya.
Wirapati jadi perasa, ia dapat merasakan gejolak hati Jaga Saradenta, karena tadi dia juga mengalami gejolak rasa begitu juga, tatkala dihujani tuduhan Hajar Karangpandan.
“Hai pendeta edan,” katanya, “belum tentu kami berdua yang kautuduh menjadi biang keladi terbunuhnya sahabatmu, kalah bertempur melawan tampangmu. Tapi dalam hal berbicara kamu menang. Nah, bicaralah! Kami berdua akan tunduk pada keputusanmu.”
Ih, pemuda ini berwatak kesatria, kata Hajar Karangpandan dalam hatinya. Kukira dia benar-benar tidak menurunkan tangan jahat kepada sahabat-sahabatku. Baiklah aku bicara perlahan-lahan. Siapa tahu, ia bisa kuajak serta membalas budi pada kedua sahabatku itu.
Berpikir demikian, ia lantas berkata, “Kamu berdua kuanggap mempunyai mulut laki-laki. Kautahu bukan, harga mulut laki-laki senilai seribu nyawa manusia. Nah, sekarang aku mau berbicara. Tapi aku minta tiga syarat.”
“Sebutkan!” kata Wirapati dan Jaga Saradenta berbareng.
“Syarat pertama: kalian harus menjawab pertanyaanku dengan sebenar-benarnya. Syarat kedua: kalian harus patuh dan mentaati tiap-tiap keputusanku. Syarat ketiga: kalian tidak boleh mengingkari janji. Sangsinya kalian akan digerumuti setan sampai tujuh turunan. Dan di alam baka, kalian akan diuber-uber sampai terbirit-birit sepanjang zaman. Nah, bagaimana?”
Mendengar ujar Hajar Karangpandan, mereka berdua mendongkol campur geli hati. Tetapi mereka terpaksa mengangguk.
“Bagus. Sekarang syarat pertama. Dengarkan, aku bicara,” Hajar Karangpandan mulai. “Hai, kau anak muda, tahukah kamu bagaimana peristiwa ini mula-mula terjadi?”
Wirapati menggelengkan kepala sambil menjawab, “Aku hanya mendengar mereka saling memperebutkan dua buah pusaka. Kebetulan aku menguntit perjalanan orang-orang Banyumas yang menyamar sebagai rombongan penari. Kulihat pula, mereka bertempur dengan seorang pemuda sebelum sampai ke tempat tujuan.”
“Siapa pemuda itu?”
“Hanya setan yang tahu. Dialah yang membunuh salah seorang sahabatmu dengan senjata rahasia sewaktu berada dalam rumah. Kukira, mayat sahabatmu itu hangus terbakar oleh api yang dinyalakan oleh orang-orang Banyumas. Pemuda itulah yang membawa lari anak isteri salah seorang sahabatmu.”
“Ke mana dia melarikan mereka?”
“Tanyalah pula kepada setan dan iblis!”
Mendengar jawaban Wirapati, melonjaklah amarah Hajar Karangpandan. Hatinya bergolak. Diayunkan tinjunya ke udara. Kemudian menggempur tanah berhamburan.
Setelah menggempur tanah ini menunduk dalam, napasnya terengah-engah. Tubuhnya bergetar. Wirapati dan Jaga Saradenta mengawasi dengan hati menebak-nebak. Melihat perangai Hajar Karangpandan yang aneh, mereka berjaga-jaga. Siapa tahu, Hajar Karangpandan lantas saja menyerang mereka untuk melampiaskan marahnya. Tetapi Hajar Karangpandan diam saja. Matanya malahan menutup rapat. Dan perlahan-lahan napasnya mulai teratur. Terdengar dia mengeluarkan bunyi dengkur parau.
Bersambung.....
No comments:
Post a Comment