SUNAN YANG RAMAH & TOLERAN
Kudus adalah kota kecil, terletak
kira-kira lima puluh kilometer dari ibukota Jawa Tengah, Semarang. Kota itu
punya banyak sebutan. Diantaranya adalah Kota Kretek. Karena di kota itu,
industri rokok tumbuh pesat. Kota itu
juga acapkali disebut Kota Niaga. Sebab, sebagian besar warganya
berprofesi sebagai pedagang. Namun, lebih dari itu, Kota Kudus adalah kota
sarat makna. Kudus teramat istimewa. Karena, dialah satu-satunya nama daerah di
Indonesia yang berbahasa Arab.
Namun, Kudus bukanlah sekedar
kata Arab tanpa makna. Ia terkait dengan cerita yang sampai kini melegenda.
Cerita itu bermula ketika seseorang dari Indonesia menunaikan ibadah haji. Saat
itu, Mekkah sedang diserang wabah penyakit yang sulit disembuhkan. Saking
parahnya, Raja Arab Saudi sampai mengumumkan sayembara : “Barang siapa yang
bisa menyembuhkan warga Mekkah akan diberi hadiah”. Sudah banyak yang mencoba,
tapi selalu gagal.
Karena tertarik, orang Indonesia
tadi akhirnya turut mencoba. Di depan Ka’bah, yang disebut Multazam,
dipanjatkannya do’a yang khusyuk kepada Allah. Ia memohon kekuatan untuk
menyembuhkan penduduk Mekkah. Allah mendengar do’a tersebut dan mengabulkannya.
Warga Mekkah dan keluarga Kerajaan Arab Saudi pun sembuh dari penyakit yang
mengganas itu.
Sebagai hadiahnya, Raja hendak
memberikan emas dan uang. Namun Sang “penyembuh” menolak secara halus. Ia
berdalih bahwa kesembuhan rakyat Mekkah karena kehendak Allah. Tapi, Raja
bersikeras. Walau dipaksa terus menerus, ia tetap kukuh tidak mau menerima
hadiah itu. Sampai akhirnya, ia teringat mesjid yang dibangunnya nun jauh di
Jawa. “Baiklah Yang Mulia”, ucapnya, “Saya hanya memohon sebuah batu yang
berasal dari Baitul Maqdis di Palestina. Batu itu akan saya pasang di
pengimaman masjid saya di Jawa,” katanya.
Dengan senang hati, Raja pun
menuruti permintaannya. Akhirnya batu mulia itu dibawa pulang dan diletakkan di
Mihrab Masjid. Masjid itu kemudian kesohor dengan nama Masjid Kudus, Kata
‘Kudus’ adalah ‘Masdhar’, diambil dari kata ‘Maqdis”, bentuk Isim Makan dari
Qadasa. Ia berarti suci. Daerah di sekitarnya pun kemudian disebut dengan kota
Kudus.
Nah, siapa sebenarnya orang itu?
Tak lain, dialah “Dja’far Shodiq” atau Sunan Kudus. Ia putra pasangan Raden
Usman Haji (Sunan Ngudung) dan Syarifah (Adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng
Maloka. Menurut cerita, Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di
Mesir yang berkelana hingga ke Jawa. Di Kesultanan Demak, ia diangkat menjadi
panglima perang.
Dja’far Shodiq memang sosok
berbakat dan cerdas. Ia dikenal sebagai ulama dengan sejuta talenta. Berbagai
pengetahuan dikuasainya. Mulai dari tauhid, ushul fiqh, hadits, tafsir, sastra,
mantiq (logika), dan terutama fiqh. Ia berwawasan luas. Sehingga ia diberi
gelar “Waliyyul Ilmi”. Gelar yang tidak disandang oleh para wali lainnya.
Ia juga seorang budayawan
kreatif, Ia piawai memainkan budaya sebagai sarana dakwah. Konon, cara itu ia
pelajari dari Sunan Kalijaga. Karenanya Sunan Kudus sangat toleran pada budaya
setempat sebagaimana gurunya. Bahkan cara penyampaiannya lebih halus. Sebab
itu, para wali yang kesulitan mencari
pendakwah ke Kudus, segera menunjuknya.
Buah jatuh tak jauh dari
pohonnya. Demikian pepatah berbahasa. Sunan Kudus pun akhirnya menjadi Senopati
menggantikan ayahnya. Ia disebut-sebut menjadi panglima perang yang jago
strategis. Ia pernah ditugaskan untuk menyerang Majapahit di masa pemerintahan
Girindra Wardana (Brawijaya VI). Penyerangan atas Majapahit itu dilakukan kaena
ayahanda Raden Fatah, Prabu Kertabumi (Brawijaya V), sudah ditaklukan oleh
Girindra, Kalau tidak segera diselesaikan, nantinya akan mempersulit
perkembangan Islam.
Pada perkembangan berikutnya,
Majapahit runtuh. Timbul kekacauan. Namun Sunan Kudus mampu memanfaatkan zaman
peralihan. Situasi yang tidak menentu itu dipakai untuk menyebarkan Islam yang
ramah dan toleran. Memang, selalu susah mengabarkan kepercayaan baru. Api,
Sunan Dja’far Shodiq adalah orang yang cerdik. Ia tahu betul bagaimana
memainkan psikologi massa. Karena kepiawaiannya memainkan budaya. Sunan Kudus
tidak banyak menemukan kesulitan menyebarkan Islam di Kudus. Sebab, kota itu
sangat kaya akan budaya.
Bersambung.....
No comments:
Post a Comment