Wednesday, January 2, 2013

DJA’FAR SHODIQ (Bag-1)


SUNAN YANG RAMAH & TOLERAN

Kudus adalah kota kecil, terletak kira-kira lima puluh kilometer dari ibukota Jawa Tengah, Semarang. Kota itu punya banyak sebutan. Diantaranya adalah Kota Kretek. Karena di kota itu, industri rokok tumbuh pesat. Kota itu  juga acapkali disebut Kota Niaga. Sebab, sebagian besar warganya berprofesi sebagai pedagang. Namun, lebih dari itu, Kota Kudus adalah kota sarat makna. Kudus teramat istimewa. Karena, dialah satu-satunya nama daerah di Indonesia yang berbahasa Arab.

Namun, Kudus bukanlah sekedar kata Arab tanpa makna. Ia terkait dengan cerita yang sampai kini melegenda.
Cerita itu bermula ketika seseorang dari Indonesia menunaikan ibadah haji. Saat itu, Mekkah sedang diserang wabah penyakit yang sulit disembuhkan. Saking parahnya, Raja Arab Saudi sampai mengumumkan sayembara : “Barang siapa yang bisa menyembuhkan warga Mekkah akan diberi hadiah”. Sudah banyak yang mencoba, tapi selalu gagal.

Karena tertarik, orang Indonesia tadi akhirnya turut mencoba. Di depan Ka’bah, yang disebut Multazam, dipanjatkannya do’a yang khusyuk kepada Allah. Ia memohon kekuatan untuk menyembuhkan penduduk Mekkah. Allah mendengar do’a tersebut dan mengabulkannya. Warga Mekkah dan keluarga Kerajaan Arab Saudi pun sembuh dari penyakit yang mengganas itu.

Sebagai hadiahnya, Raja hendak memberikan emas dan uang. Namun Sang “penyembuh” menolak secara halus. Ia berdalih bahwa kesembuhan rakyat Mekkah karena kehendak Allah. Tapi, Raja bersikeras. Walau dipaksa terus menerus, ia tetap kukuh tidak mau menerima hadiah itu. Sampai akhirnya, ia teringat mesjid yang dibangunnya nun jauh di Jawa. “Baiklah Yang Mulia”, ucapnya, “Saya hanya memohon sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis di Palestina. Batu itu akan saya pasang di pengimaman masjid saya di Jawa,” katanya.

Dengan senang hati, Raja pun menuruti permintaannya. Akhirnya batu mulia itu dibawa pulang dan diletakkan di Mihrab Masjid. Masjid itu kemudian kesohor dengan nama Masjid Kudus, Kata ‘Kudus’ adalah ‘Masdhar’, diambil dari kata ‘Maqdis”, bentuk Isim Makan dari Qadasa. Ia berarti suci. Daerah di sekitarnya pun kemudian disebut dengan kota Kudus.

Nah, siapa sebenarnya orang itu? Tak lain, dialah “Dja’far Shodiq” atau Sunan Kudus. Ia putra pasangan Raden Usman Haji (Sunan Ngudung) dan Syarifah (Adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Menurut cerita, Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga ke Jawa. Di Kesultanan Demak, ia diangkat menjadi panglima perang.

Dja’far Shodiq memang sosok berbakat dan cerdas. Ia dikenal sebagai ulama dengan sejuta talenta. Berbagai pengetahuan dikuasainya. Mulai dari tauhid, ushul fiqh, hadits, tafsir, sastra, mantiq (logika), dan terutama fiqh. Ia berwawasan luas. Sehingga ia diberi gelar “Waliyyul Ilmi”. Gelar yang tidak disandang oleh para wali lainnya.

Ia juga seorang budayawan kreatif, Ia piawai memainkan budaya sebagai sarana dakwah. Konon, cara itu ia pelajari dari Sunan Kalijaga. Karenanya Sunan Kudus sangat toleran pada budaya setempat sebagaimana gurunya. Bahkan cara penyampaiannya lebih halus. Sebab itu, para wali yang kesulitan mencari  pendakwah ke Kudus, segera menunjuknya.

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Demikian pepatah berbahasa. Sunan Kudus pun akhirnya menjadi Senopati menggantikan ayahnya. Ia disebut-sebut menjadi panglima perang yang jago strategis. Ia pernah ditugaskan untuk menyerang Majapahit di masa pemerintahan Girindra Wardana (Brawijaya VI). Penyerangan atas Majapahit itu dilakukan kaena ayahanda Raden Fatah, Prabu Kertabumi (Brawijaya V), sudah ditaklukan oleh Girindra, Kalau tidak segera diselesaikan, nantinya akan mempersulit perkembangan Islam.

Pada perkembangan berikutnya, Majapahit runtuh. Timbul kekacauan. Namun Sunan Kudus mampu memanfaatkan zaman peralihan. Situasi yang tidak menentu itu dipakai untuk menyebarkan Islam yang ramah dan toleran. Memang, selalu susah mengabarkan kepercayaan baru. Api, Sunan Dja’far Shodiq adalah orang yang cerdik. Ia tahu betul bagaimana memainkan psikologi massa. Karena kepiawaiannya memainkan budaya. Sunan Kudus tidak banyak menemukan kesulitan menyebarkan Islam di Kudus. Sebab, kota itu sangat kaya akan budaya.

Bersambung.....

No comments:

Post a Comment