Sejak usia 10 tahun, Abdul Aziz
hidup di tanah pengasingan, karena Riyadh dan wilayah Najd sudah berada dalam
genggaman kabilah Shammar. Ia pun terbiasa dengan kehidupan keras suku Badui
yang selalu berpindah-pindah, dan situasi kawasan gurun Ruba Al Khali yang
sangat ganas. Ia juga sempat dibawa ayahnya tinggal di Bahrain dan Kuwait di
bawah perlindungan pemimpin setempat.
Kepahitan dalam pengasingan itu,
melahirkan tekad yang kuat untuk merebut kembali Riyadh dan Najd. Ia
bercita-cita membangun kembali Kerajaan Saud Agung yang pernah didirikan
leluhurnya. Dari orang-orang suku Badui, ia banyak belajar ketangkasan naik
kuda, dan menggunakan pedang. Karena hidup suku itu memang amat bergantung pada
keahlian berkuda dan berperang untuk merampas harta kabilah-kabilah yang
melewati gurun.
Tekad itu mulai dijalankannya
saat Abdul Aziz menginjak usia 19 tahun. Ia mulai menghimpun kabilah-kabilah
yang tak puas pada kekuasaan Rashid, dan menyusun kekuatan untuk berontak.
Karena kepribadiannya yang kuat, pemberani, sederhana, dan taat menjalankan
ibadah, kabilah-kabilah itupun mengangkat dia sebagai pemimpin. Di usia 21
tahun, Abdul Aziz menggantikan posisi ayahnya sebagai imam Wahabi.
Upaya merebut Riyadh baru
terlaksana pada 1902. Ia berhasil memukul mundur seluruh tentara Rashid kembali
ke wilayah asal mereka di utara. Dengan keberhasilan itu, ia mulai diakui
sebagai pemimpin di kawasan dalam Jazirah Arab. Sejak itu pula ia memainkan
peranan penting di mata perwakilan penguasa Inggris dan Turki yang menduduki wilayah
sekitarnya.
Tapi, penguasa Turki rupanya
sangat khawatir pada kekuatan Abdul Aziz. Tambahan lagi, mereka curiga penguasa
baru Riyadh itu bekerja sama dengan Inggris, saingan yang menguasai beberapa
daerah sekitar, termasuk Kuwait dan Mesir. Tapi, upaya Turki untuk menundukkan
Abdul Aziz tak pernah berhasil. Malah sebaliknya, imam kaum Wahabi itu sanggup
memperluas wilayah lewat penaklukan-penaklukan. Abdul Aziz secara perlahan tapi
pasti berhasil membangun kekuatan perang yang amat tangguh. Dan ia tak
segan-segan memimpin sendiri pasukan perangnya.
Abdul Aziz, ternyata bukan
sekedar seorang imam dalam beribadah. Sebagai pemimpin, ia mempratekkan hidup
zuhud, sederhana, dan taat beribadah sebagai suri teladan kepada para
pengikutnya. Ia terbiasa tidur hanya tiga-empat jam setiap hari untuk mengasah
kewaspadaannya. Tubuh yang tinggi dan kekar, pakaiannya yang sederhana, matanya
yang memandang tajam lawan bicaranya, dan keahliannya berperang, membuat ia
amat disegani. Ia pun tampil sebagai panglima perang yang amat tangguh, sabar,
penuh perhitungan, dan tahu persis kapan harus menyerang. Itu sebabnya ia
mendapat julukan “Singa dari Najd”.
Perang Dunia 1, membawa
keuntungan tersendiri bagi Abdul Aziz. Ia menerapkan siasat yang sangat lihai
untuk meraih cita-citanya membangun kerajaan di atas seluruh wilayah Jazirah
Arab. Ia memanfaatkan kekalahan Turki dalam perang itu untuk memperluas wilayah
ke utara. Ia berhasil mengakhiri kekuasaan keluarga Rashid dan merebut wilayah
yang dikuasai musuh bebuyutannya itu pada 1921.
Abdul Aziz mendekati Inggris
untuk menaklukan Hijaz yang berada kekuasaan Syarif Hussain bin Ali. Ia
berhasil menghimpun kekuatan kabilah dan suku yang membenci penguasa Hijaz itu.
Ia juga berhasil membujuk warga di tiga kota penting, Makkah, Madinahm dan
Jeddah, untuk bergabung dengannya melawan Syarif Hussain. Walhasil, ia merebut
seluruh kawasan Hijaz dan ketiga kota penting itu pada 1925. Pada 10 Januari
1926, ia di angkat menjadi Raja Hijaz yang memiliki hak untuk mengelola kota
suci Makkah.
Dalam penaklukan Hijaz, Abdul
Aziz juga didukung oleh situasi yang diciptakan sendiri oleh Syarif Hussain.
Penguasa Hijaz itu menerapkan kebijakan tangan besi dalam mengelola jemaah haji
yang setiap tahun pasti datang ke Makkah. Merebaknya korupsi di kalangan
pejabat pun, melahirkan ketidakpuasan dan kebencian. Tambahan lagi, Sang
Penguasa membuat skandal yang tak bisa ditenggang oleh umat Islam, terutama
kaum Wahabi ; mengangkat diri sebagai Raja diRaja Arab, dan mulai menafsirkan
Al-Qur’an menurut seleranya.
Setelah berhasil menguasai
sebagian besar Jazirah Arab, pada 1932, Abdul Aziz memproklamirkan gabungan
Hijaz dan Najd itu sebagai wilayah Kerajaan Arab Saudi. Ia menobatkan diri
menjadi Raja Arab Saudi di bawah dukungan Inggris. Cita-citanya yang
menggelembung dahulu ternyata benar-benar tercapai, bahkan kekuasaannya
meliputi wilayah yang jauh lebih luas dibanding wilayah kekuasaan leluhurnya.
Demikian pula, ajaran Wahabi di langgengkan sebagai satu-satunya paham yang di
anut Kerajaan.
Peran Abdul Aziz dalam mensejahterakan
rakyat Arab Saudi sungguh besar. Sejak minyak ditemukan pada 1938, ia
mengundang perusahaan-perusahaan Amerika dan Inggris untuk menyedot emas cair
itu. Hasilnya memang masuk ke kas Kerajaan yang kemudian digunakan untuk
memperbaiki kehidupan rakyat. Ia juga mendidik dan membiasakan suku-suku
nomaden Badawi untuk hidp menetap. Abdul Aziz sendiri sampai akhir hayatnya
dikenal sebagai pemimpin yang menjalani hidup sederhana, seperti kebiasaannya
sejak kecil.
No comments:
Post a Comment