Monday, February 18, 2013

SINGA DARI NAJD (bag-1)



Raja Abdul Aziz.

Genap 70 tahun sudah minyak bumi terus dipompa dari perut bumi Arab Saudi. Selama kurun waktu itu pula “emas cair” memberi kemakmuran berlimpah kepada negeri di Jazirah Arab itu. Dolar mengalir seolah tanpa henti, yang menjadikannya sebagai negeri sangat kaya, dengan pendapatan per kapita tak kurang dari US$ 15.000 atau sekitar Rp. 135 juta.

Adalah Raja Abdul Aziz, atau yang lebih dikenal dengan panggilan Raja Ibnu Saud, yang amat berjasa membangun negeri itu dari nol. Dalam mada kekuasaannya selama kurang lebih 20 tahun (1932-1953), penyelidikan dan penambangan minyak dimulai. Ditandai dengan pemberian izin kepada perusahaan Amerika Serikat, Standard Oil Company, untuk mencari dan menggali sumber-sumber minyak. Ibnu Saud pula orangnya yang mempelopori modernisasi wilayah negeri bergurun pasir itu.


Tak sebatas itu. Raja Abdul Aziz sekaligus juga dikenal sebagai pendiri Kerajaan Arab Saudi. Berkat keahlian, pendekatan, dan penaklukannya, ia berhasil menyatukan berbagai suku serta kabilah ke dalam satu wilayah kekuasaan seluas tak kurang dari 2,24 juta kilometer persegi. Berkat warisan kepemimpinannya pula, hingga kini Arab Saudi menjadi kekuatan regional yang punya peranan sangat penting. Bahkan tumbuh sebagai kekuatan ekonomi penting dunia.

Lahir tepat saat adzan subuh dikumandangkan pada suatu hari di bulan November 1880, tanggalnya tak diketahui persis, di Riyadh. Abdul Aziz adalah keturunan Raja Muhammad ibnu Saud, penguasa Najd, kawasan bagian tengah Jazirah Arab pada abad ke-18. Leluhurnya itu juga terkenal sebagai imam kaum Wahabi, kelompok pengikut gerakan pemurnian Islam yang dibawa oleh ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahhab.

Ayahnya, Abdul Rahman bin Faisal, adalah keturunan ketiga imam kaum Wahabi itu. Sedangkan ibunya, Sarah binti Ahmad, berasal dari keluarga Sudairi yang juga pengikut aliran tersebut. Tak mengherankan bila Abdul Aziz sejak kecil mendapat pendidikan cara kaum Wahabi. Menurut catatan penulis biografinya, H.C. Armstrong, di usia sangat belia, 7 tahun, ia sudah fasih membaca Al-Qur’an.

Ia juga sudah mengenal cara-cara hidup kaum Wahabi yang dipraktekkan sang ayah, Abdul Rahman, seorang yang saleh dan keras. Seperti juga kakeknya, ia menjadi imam kaum Wahabi yang memandang setiap kehidupan dengan tatapan fanatik dan tak kenal kompromi. Kaum Wahabi menolak kemewahan dan kenyamanan, bahkan untuk diri sendiri. Hidup bersahaja, masjid tanpa menara dan bersih dari hiasan apapun. Mereka menampik segala jenis kesenangan, seperti makanan lezat, tembakau, pakaian halus, musik, tarian, dan juga mencela orang yang tertawa. Semua dilakukan demi kekhusyukan ibadah kepada Tuhan.

Dalam tradisi ketat seperti itulah, Abdul Aziz dibesarkan. Lebih-lebih, sejak masa kanak-kanak, lingkungan kehidupannya pun tak pernah aman. Keluarga besar ayahnya terpecah-pecah dan terlibat pertikaian memperebutkan kekuasaan. Ancaman lain juga datang dari luar ; serangan kabilah Shammar yang menyatu dibawah Muhammad ibnu Rashid. Kabilah itu sudah lama berambisi menguasai Najd dan Riyadh.

Bersambung...>>

No comments:

Post a Comment