Raja Abdul Aziz.
Genap 70 tahun sudah minyak bumi
terus dipompa dari perut bumi Arab Saudi. Selama kurun waktu itu pula “emas
cair” memberi kemakmuran berlimpah kepada negeri di Jazirah Arab itu. Dolar
mengalir seolah tanpa henti, yang menjadikannya sebagai negeri sangat kaya,
dengan pendapatan per kapita tak kurang dari US$ 15.000 atau sekitar Rp. 135
juta.
Adalah Raja Abdul Aziz, atau yang
lebih dikenal dengan panggilan Raja Ibnu Saud, yang amat berjasa membangun
negeri itu dari nol. Dalam mada kekuasaannya selama kurang lebih 20 tahun
(1932-1953), penyelidikan dan penambangan minyak dimulai. Ditandai dengan
pemberian izin kepada perusahaan Amerika Serikat, Standard Oil Company, untuk
mencari dan menggali sumber-sumber minyak. Ibnu Saud pula orangnya yang
mempelopori modernisasi wilayah negeri bergurun pasir itu.
Tak sebatas itu. Raja Abdul Aziz
sekaligus juga dikenal sebagai pendiri Kerajaan Arab Saudi. Berkat keahlian,
pendekatan, dan penaklukannya, ia berhasil menyatukan berbagai suku serta
kabilah ke dalam satu wilayah kekuasaan seluas tak kurang dari 2,24 juta
kilometer persegi. Berkat warisan kepemimpinannya pula, hingga kini Arab Saudi
menjadi kekuatan regional yang punya peranan sangat penting. Bahkan tumbuh
sebagai kekuatan ekonomi penting dunia.
Lahir tepat saat adzan subuh
dikumandangkan pada suatu hari di bulan November 1880, tanggalnya tak diketahui
persis, di Riyadh. Abdul Aziz adalah keturunan Raja Muhammad ibnu Saud,
penguasa Najd, kawasan bagian tengah Jazirah Arab pada abad ke-18. Leluhurnya
itu juga terkenal sebagai imam kaum Wahabi, kelompok pengikut gerakan pemurnian
Islam yang dibawa oleh ulama bernama Muhammad bin Abdul Wahhab.
Ayahnya, Abdul Rahman bin Faisal,
adalah keturunan ketiga imam kaum Wahabi itu. Sedangkan ibunya, Sarah binti
Ahmad, berasal dari keluarga Sudairi yang juga pengikut aliran tersebut. Tak
mengherankan bila Abdul Aziz sejak kecil mendapat pendidikan cara kaum Wahabi.
Menurut catatan penulis biografinya, H.C. Armstrong, di usia sangat belia, 7 tahun,
ia sudah fasih membaca Al-Qur’an.
Ia juga sudah mengenal cara-cara
hidup kaum Wahabi yang dipraktekkan sang ayah, Abdul Rahman, seorang yang saleh
dan keras. Seperti juga kakeknya, ia menjadi imam kaum Wahabi yang memandang
setiap kehidupan dengan tatapan fanatik dan tak kenal kompromi. Kaum Wahabi
menolak kemewahan dan kenyamanan, bahkan untuk diri sendiri. Hidup bersahaja,
masjid tanpa menara dan bersih dari hiasan apapun. Mereka menampik segala jenis
kesenangan, seperti makanan lezat, tembakau, pakaian halus, musik, tarian, dan
juga mencela orang yang tertawa. Semua dilakukan demi kekhusyukan ibadah kepada
Tuhan.
Dalam tradisi ketat seperti
itulah, Abdul Aziz dibesarkan. Lebih-lebih, sejak masa kanak-kanak, lingkungan
kehidupannya pun tak pernah aman. Keluarga besar ayahnya terpecah-pecah dan
terlibat pertikaian memperebutkan kekuasaan. Ancaman lain juga datang dari luar
; serangan kabilah Shammar yang menyatu dibawah Muhammad ibnu Rashid. Kabilah
itu sudah lama berambisi menguasai Najd dan Riyadh.
Bersambung...>>
No comments:
Post a Comment