Friday, January 4, 2013

DJA’FAR SHODIQ (Bag-2)



BERDAKWAH DENGAN (BER)BUDAYA

Dalam berdakwah, Sunan Kudus nampak mengamalkan ajaran ‘ojo nabrak tembok’ (jangan menabrak tembok). Artinya, tidak melawan arus, tapi mampu mewarnai arus itu. Karenanya, dalam mengenalkan Islam, Sang Sunan tidak serta merta frontal dan mengecam berbagai praktik dan tradisi keagamaan yang ada. Ia tidak menganggapnya penghalang, justru peluang yang harus dimanfaatkan.

Tiga medium budaya lokal dipakai Sunan Kudus untuk berdakwah.
Pertama; tentu saja bangunan arsitektur Menara. Bangunan Menara adalah kompromi dari tiga tradisi, Islam, Budha, dan Hindu. Sengaja Sunan Kudus menggunakan Menara sebagai tempat untuk berdakwah karenabentuknya yang mirip dengan bangunan candi. Apalgi beberapa aspek yang melekat pada candi masih nampak kuat terpampang di Menara.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang Surat Al-Baqarah yang berarti ‘sapi betina’. Banyak dari mereka yang kemudian masuk Islam. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menembelih sapi.

Versi lain menyebutkan, Sunan pernah mendapakan air susu dari se-ekor sapi ketika dirinya sedang kehausan. Karena itu, semasa hidupnya, Sunan Kudus melarang rakyat menyakiti ataupun memotong (menyembelih) sapi.

Kedua, adalah medium cerita, pujian dan tembang, baik dalam bahsa Jawa maupun Arab. Semua dipakai Sunan untuk menyampaikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat. Penyampaian dengan menggunakan tembang dan pujian memang digemari penduduk sekitar. Orang Jawa dikenal sebagai orang yang suka akan lagu dan pujian. Apalagi umat Hindu. Mereka juga kerap menembang untuk memuji Tuhan. Dikaranglah riwayat-riwayat pondok yang berisi filsafat serta berjiwa agama.

Alkisah, Sunan Kudus sering kali menembang di sekitar Menara. Pada awalnya, tembangan itu dipakai untuk memanggil para murid untuk memberitahukan kedatangan bulan Ramadhan. Namun, saking indahnya tembang itu, warga sekitar tertarik dan ikut merubung rombongan Sunan. Momen itu pun akhirnya dimanfaatkan untuk mengenalkan syahadat dan shalwat.

Tradisi itu terus dilakukan, dan dikenal dengan istilah “Dandangan”, yang sampai sekarang masih dijalankan. Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah.

Sunan Kudus juga piawai mencipta tembang Jawa. Tembang “Maskumambang” dan “Mijil” adalah buah karyanya. Maskumambang berkisah tentang masa pancaroba anak menuju kedewasaan yang penuh sengsara. Sedangkan Mijil mengajarkan etika dan unggah-ungguh, seperti sikap mengalah (bukan berarti kalah), mau mendengarkan yang lain, menghindari perilaku bergunjing, dan sebagainya.

Ketiga, adalah wayang. Penggunaan wayang sebaai media dakwah memang menimbulkan sengketa di kalangan umat Islam. Ada yang mengatakan haram karena berbau Hindu, dan sebaliknya. Hal ini menimbulkan masalah serius. Terutama bagi mereka yang gemar wayang. Itu juga akan mengganggu jalan dakwah yang damai dan toleran.

Karena itu, untuk meminimalisir konflik, timbulah gagasan untuk mereformasi wayang. Wayang dibuat dalam bentuk baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang gemar wayang, terutama para Wali, mereka berhasil menciptakan wayang bentuk baru. Wayang itu disebut wayang Purwa. Ia dibuat dari bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring. Ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, mencapai kaki.

Pada masa berikutnya, wayangpun mengalami berbagai perubahan. Pasca wayang Purwa, muncul wayang Gedog. Ide ini diprakasai oleh Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri. Sunan Kudus pun tak mau ketinggalan. Ia mendesain wayang Golek yang terbuat dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan gamelan Slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer, dan rebab. Konon selama berdakwah, Sunan Kudus serinf mengadakan pertunjukkan wayang untuk mengumpulkan massa.

Sosok pelakunya pun banyak mengambil tokoh pewayangan. Hanya alur dan latar sedikit diubah. Pesan-pesan serta nilai-nilai Islam pun dipaparkan lewat adegan wayang. Nilai-nilai seperti kebenaran, keadilan, kejujuran, menghargai yang lain juga ditanamkan. Metode ini sangat efektif. Karena saat itu pagelaran wayang adalah tontonan yang paling banyak diminati orang. Dakwah model ini terbukti mengenai sasaran, merakyat, dan elitis. Sebab, Sunan dan rakyat adalah bagian yang saling melengkapi.

Dengan pendekatan budaya, Sunan Kudus mampu meng-Islam-kan para penganut Hindu dan Budha. Merekapun tidak merasa jengah karena Sunan sangat ramah. Mereka bisa ber-Islam sekaligus melaksanakan tradisi yang sudah dijalankan dari generasi ke generasi. Tentunya, kemasan tradisi itu sudah (sedikit) berubah karena pengaruh Islam. Namun hal itu tidak mengganggu, karena disaat yang sama mereka juga berubah dari Hindu dan Budha menjadi muslim yang sempurna. Apa yang dilakukan Sunan Kudus adalah warisan yang sangat berharga. Selayaknya generasi penerus meneladaninya.

Sunan Kudus menikah dengan Dewi Rukhil, puteri dari Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) di Tuban. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel. Sedangkan Sunan Ampel adalah putera Maulana Ibrahim as-Samarkandi. Disinilah, bertemu silsilah Sunan Kudus dengan isterinya; Dewi Rukhil adalah cicit Maulana Ibrahim Samarkandi, sementara Sunan Kudus adalah cucu Maulana Ibrahim Samarkandi. Sunan Kudus dan Dewi Rukhil hanya memiliki anak laki-laki bernama Amir Hasan.

Satu riwayat mengatakan, dalam perkawinannya dengan putri Pangeran Pecat Tandaterung dari Majapahit, Sunan Kudus memperoleh delapan orang anak, yaitu : Nyi Ageng Pembayun, Panembahan Palembang, Panembahan Mekaos Honggokusumo, Panembahan Kodhi, Panembahan Karimun, Panembahan Sujoko (wafat ketika masih muda), Ratu Pakojo, dan Ratu Probobinabar (menikah dengan pangeran Poncowati).

Sunan lahir sekitar abad ke-15, dan diperkirakan wafat pada 1550 M. Jasad beliau disemayamkan di belakang Menara Kudus. Di komplek makam itu, disemayamkan juga para prajurit serta keluarga Sunan. Namun diantara kedelapan anaknya, hanya empat orang yang kini makamnya berada disekitar makan Sunan Kudus, yakni Penambahan Palembang, Panembahan Mekaos, Pangeran Poncowati, dan Pangeran Sujoko.

Sampai sekarang, makam Sunan Kudus banyak dikunjungi orang. Tak hanya orang Kudus, tapi juga kaum muslim yang tersebar di Nusantara. Itu wajar, karena banyak hal bisa diteladani dari Dja’far Shodiq Sang Sunan.

*********

No comments:

Post a Comment