BERDAKWAH DENGAN (BER)BUDAYA
Dalam berdakwah, Sunan Kudus
nampak mengamalkan ajaran ‘ojo nabrak tembok’ (jangan menabrak tembok). Artinya,
tidak melawan arus, tapi mampu mewarnai arus itu. Karenanya, dalam mengenalkan
Islam, Sang Sunan tidak serta merta frontal dan mengecam berbagai praktik dan
tradisi keagamaan yang ada. Ia tidak menganggapnya penghalang, justru peluang
yang harus dimanfaatkan.
Tiga medium budaya lokal dipakai
Sunan Kudus untuk berdakwah.
Pertama; tentu saja bangunan arsitektur Menara. Bangunan Menara adalah kompromi dari tiga tradisi, Islam, Budha, dan Hindu. Sengaja Sunan Kudus menggunakan Menara sebagai tempat untuk berdakwah karenabentuknya yang mirip dengan bangunan candi. Apalgi beberapa aspek yang melekat pada candi masih nampak kuat terpampang di Menara.
Pertama; tentu saja bangunan arsitektur Menara. Bangunan Menara adalah kompromi dari tiga tradisi, Islam, Budha, dan Hindu. Sengaja Sunan Kudus menggunakan Menara sebagai tempat untuk berdakwah karenabentuknya yang mirip dengan bangunan candi. Apalgi beberapa aspek yang melekat pada candi masih nampak kuat terpampang di Menara.
Suatu waktu, ia memancing
masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia
sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid.
Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi menjadi simpati. Apalagi setelah
mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang Surat Al-Baqarah yang berarti
‘sapi betina’. Banyak dari mereka yang kemudian masuk Islam. Sampai sekarang,
sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menembelih sapi.
Versi lain menyebutkan, Sunan
pernah mendapakan air susu dari se-ekor sapi ketika dirinya sedang kehausan.
Karena itu, semasa hidupnya, Sunan Kudus melarang rakyat menyakiti ataupun
memotong (menyembelih) sapi.
Kedua, adalah medium cerita,
pujian dan tembang, baik dalam bahsa Jawa maupun Arab. Semua dipakai Sunan
untuk menyampaikan nilai-nilai Islam kepada masyarakat. Penyampaian dengan menggunakan
tembang dan pujian memang digemari penduduk sekitar. Orang Jawa dikenal sebagai
orang yang suka akan lagu dan pujian. Apalagi umat Hindu. Mereka juga kerap
menembang untuk memuji Tuhan. Dikaranglah riwayat-riwayat pondok yang berisi
filsafat serta berjiwa agama.
Alkisah, Sunan Kudus sering kali
menembang di sekitar Menara. Pada awalnya, tembangan itu dipakai untuk
memanggil para murid untuk memberitahukan kedatangan bulan Ramadhan. Namun,
saking indahnya tembang itu, warga sekitar tertarik dan ikut merubung rombongan
Sunan. Momen itu pun akhirnya dimanfaatkan untuk mengenalkan syahadat dan
shalwat.
Tradisi itu terus dilakukan, dan
dikenal dengan istilah “Dandangan”, yang sampai sekarang masih dijalankan.
Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya
secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya.
Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa
kekhalifahan Abbasiyah.
Sunan Kudus juga piawai mencipta
tembang Jawa. Tembang “Maskumambang” dan “Mijil” adalah buah karyanya.
Maskumambang berkisah tentang masa pancaroba anak menuju kedewasaan yang penuh
sengsara. Sedangkan Mijil mengajarkan etika dan unggah-ungguh, seperti sikap
mengalah (bukan berarti kalah), mau mendengarkan yang lain, menghindari
perilaku bergunjing, dan sebagainya.
Ketiga, adalah wayang. Penggunaan
wayang sebaai media dakwah memang menimbulkan sengketa di kalangan umat Islam.
Ada yang mengatakan haram karena berbau Hindu, dan sebaliknya. Hal ini menimbulkan
masalah serius. Terutama bagi mereka yang gemar wayang. Itu juga akan
mengganggu jalan dakwah yang damai dan toleran.
Karena itu, untuk meminimalisir
konflik, timbulah gagasan untuk mereformasi wayang. Wayang dibuat dalam bentuk
baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan
ketrampilan para pengikut Islam yang gemar wayang, terutama para Wali, mereka
berhasil menciptakan wayang bentuk baru. Wayang itu disebut wayang Purwa. Ia
dibuat dari bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan
miring. Ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, mencapai
kaki.
Pada masa berikutnya, wayangpun
mengalami berbagai perubahan. Pasca wayang Purwa, muncul wayang Gedog. Ide ini
diprakasai oleh Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri. Sunan Kudus pun tak mau
ketinggalan. Ia mendesain wayang Golek yang terbuat dari kayu. Lakon pakemnya
diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan gamelan Slendro, tetapi hanya
terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer, dan rebab. Konon selama
berdakwah, Sunan Kudus serinf mengadakan pertunjukkan wayang untuk mengumpulkan
massa.
Sosok pelakunya pun banyak
mengambil tokoh pewayangan. Hanya alur dan latar sedikit diubah. Pesan-pesan
serta nilai-nilai Islam pun dipaparkan lewat adegan wayang. Nilai-nilai seperti
kebenaran, keadilan, kejujuran, menghargai yang lain juga ditanamkan. Metode
ini sangat efektif. Karena saat itu pagelaran wayang adalah tontonan yang
paling banyak diminati orang. Dakwah model ini terbukti mengenai sasaran, merakyat,
dan elitis. Sebab, Sunan dan rakyat adalah bagian yang saling melengkapi.
Dengan pendekatan budaya, Sunan
Kudus mampu meng-Islam-kan para penganut Hindu dan Budha. Merekapun tidak
merasa jengah karena Sunan sangat ramah. Mereka bisa ber-Islam sekaligus
melaksanakan tradisi yang sudah dijalankan dari generasi ke generasi. Tentunya,
kemasan tradisi itu sudah (sedikit) berubah karena pengaruh Islam. Namun hal
itu tidak mengganggu, karena disaat yang sama mereka juga berubah dari Hindu
dan Budha menjadi muslim yang sempurna. Apa yang dilakukan Sunan Kudus adalah
warisan yang sangat berharga. Selayaknya generasi penerus meneladaninya.
Sunan Kudus menikah dengan Dewi
Rukhil, puteri dari Raden Makhdum Ibrahim (Sunan Bonang) di Tuban. Sunan Bonang
adalah putra Sunan Ampel. Sedangkan Sunan Ampel adalah putera Maulana Ibrahim
as-Samarkandi. Disinilah, bertemu silsilah Sunan Kudus dengan isterinya; Dewi
Rukhil adalah cicit Maulana Ibrahim Samarkandi, sementara Sunan Kudus adalah
cucu Maulana Ibrahim Samarkandi. Sunan Kudus dan Dewi Rukhil hanya memiliki
anak laki-laki bernama Amir Hasan.
Satu riwayat mengatakan, dalam
perkawinannya dengan putri Pangeran Pecat Tandaterung dari Majapahit, Sunan
Kudus memperoleh delapan orang anak, yaitu : Nyi Ageng Pembayun, Panembahan
Palembang, Panembahan Mekaos Honggokusumo, Panembahan Kodhi, Panembahan
Karimun, Panembahan Sujoko (wafat ketika masih muda), Ratu Pakojo, dan Ratu
Probobinabar (menikah dengan pangeran Poncowati).
Sunan lahir sekitar abad ke-15,
dan diperkirakan wafat pada 1550 M. Jasad beliau disemayamkan di belakang
Menara Kudus. Di komplek makam itu, disemayamkan juga para prajurit serta
keluarga Sunan. Namun diantara kedelapan anaknya, hanya empat orang yang kini
makamnya berada disekitar makan Sunan Kudus, yakni Penambahan Palembang,
Panembahan Mekaos, Pangeran Poncowati, dan Pangeran Sujoko.
*********
No comments:
Post a Comment