Friday, October 11, 2013

BENDE MATARAM - "Salah Paham" Jilid 3f

komik bende mataram
Seperti kemasukan setan ia memasuki desa langsung menuju rumah Wayan Suage dan Made Tantre. Seluruh desa jadi sibuk. Laki-laki dan perempuan berlarian kalang-kabut. Kanak-kanak menangis dengan pekikan tinggi. Tapi Hajar Karangpandan tak mempedulikan itu semua. Otaknya sedang dirumun berbagai gagasan yang menggugat-gugat perlakuannya terhadap keluarga yang tadinya hidup tentram damai.

O, Hajar! Hajar! Dengan ramah tamah keluarga itu menyambut kedatanganmu. Tetapi mereka kaucelakakan akibat ulahmu. Kalau mereka tak kauberi kedua pusaka itu, pastilah sampai saat ini masih hidup aman damai. Apa yang akan kaulakukan sekarang? Pikirannya terus berputar tak tenang.

Digugat pikiran demikian, hatinya hampir meledak, la menyibakkan kerumunan penduduk yang lagi sibuk memadamkan api. Hatinya pilu tersayat-sayat. Rumah panjang yang tadi masih berdiri begitu megah, kini hancur berantakan jadi abu.

Mendadak terciumlah bau daging hangus. Tanpa menghiraukan pertimbangan yang lain, ia melesat menerobos puing tiang-tiang rumah. Bara api diinjaknya berserakan.

Ia melihat beberapa mayat menggeletak hangus. Ah, pastilah ini akibat suatu pertempuran seru. Kata hatinya hampir meledak. oh Hajar, mengapa kamu menghancurkan kebahagiaan orang?

Karena tak tahan diamuk deru hatinya, ia menghajar tiang-tiang rumah sehingga menjadi roboh berserakan. Orang-orang yang melihat sepak-terjangnya, memekik terkejut dan undur serentak. Tetapi ia tak mempedulikan. Segera ia membungkuki tiap mayat dengan pertolongan sebatang kayu yang masih menyala. Beberapa saat kemudian mayat Made Tantre telah dikenalnya. Ia jongkok. Tangannya menggigil.

“Bukankah kamu yang bernama Made Tantre?” bisiknya. “Kamu seorang laki-laki seperti kata-katamu sendiri. Sekarang akulah saksinya, kamu benar-benar seorang laki-laki sejati. Di mana anak-istrimu? Di mana pula sahabat serta anak istrinya? Made Tantre! Made Tantre aku amat menyesal berkenalan denganmu begitu cepat. Tak kukira, kamu berani mempertahankan kedua pusaka itu semata-mata karena pesanku. Baik, selama hidupku aku takkan tentram sebelum dapat mewujudkan harapanmu. Akan kucari anak dan kedua pusaka itu.”

Setelah berkata demikian, ia bersujud dalam. Mukanya kena abu dan hangus. Selang beberapa lama kemudian, ia menegakkan kepalanya. Mukanya berubah menjadi hitam kelabu. Dalam malam gelap, seluruh kepalanya tidak nampak lagi oleh penglihatan mata. Orang-orang kampung yang mengawasinya dari jauh meremang bulu romanya. Karena mengira dia penjelmaan setan tak berkepala.

Malam itu juga ia berangkat hendak mencari jejak. Tadi dia mendapat penjelasan, kalau pemimpin rombongan Banyumas membawa seorang perempuan dan seorang anak. Tak peduli anak dan istri siapa, ia harus merebut kembali. Dia berjanji dalam hati akan merawat dan mengasuhnya sebaik mungkin sebagai penebus kesalahan.

Secepat kilat ia menuju ke barat. Ia berputar-putar dari desa ke desa. Dugaannya keras, salau rombongan dari Banyumas belum meninggalkan Desa Karangtinalang jauh-jauh. Bukankah keluarga Wayan Suage tidak ada di lengah puing rumahnya. Entah mereka selamat atau tertawan, pastilah kedua pusaka itu masih ada padanya.

Dugaannya tepat. Waktu itu Kodrat—si tinggi jangkung—berada di gardu di dekat Desa Kaliputih. Ia lagi memeriksa Rukmini dan Sangaji untuk mendapat keterangan tentang kedua pusaka Pangeran Semono. Empat orang bawahannya disuruhnya berjaga di sekitar gardu, sedangkan yang lain diperintahkan menjejak lenyapnya Wayan Suage. Mendadak ia mendengar salah seorang penjaganya menjerit tinggi. Terkesiap ia menjenguk ke luar. Dilihatnya seseorang yang berpakaian pendeta lagi membekuk penjaga itu. la kenal bahaya cian cepat-cepat mendekap mulut Rukmini dan Sangaji. Kedua orang itu kemudian diringkusnya cepat dan digulingkan ke dalam kotak penyangga gambang . Kemudian ia melompat keluar. “Siapa?” bentaknya.

Hajar Karangpandan sedang menghajar ketiga penjaga yang lain sekali rampung. Mendengar bentaknya itu, segera ia menghampiri.

“Bilang, siapa yang bernama Kodrat?”

Belum lagi Kodrat membuka mulut, lengannya kena disambar dan ditekuk ke punggung. .Alangkah sakit! Tak berani dia berkutik. Ia berpura-pura bersikap lemah seolah-olah seorang yang tak mempunyai kepandaian berkelahi. Kemudian berkata merintih, “Sang pendeta mencari siapa?”

“Orang yang bernama Kodrat si jahanam itu. Apa betul kamu?”

“Bukan, bukan! Dia pemimpin kami,” sahut Kodrat dengan licik. “Dia... dia... ke sana dengan membawa seorang perempuan dan anak...”

Hajar Karangpandan kena dikelabui. Dikendorkan terkamannya tetapi pandang matanya masih tajam luar biasa.

Kodrat memanggil salah seorang penjaganya yang tadi kena hantam Hajar Karangpandan. Dengan suara gugup dia berkata, olong antarkan sang Pendeta ini ke Kodrat!”

Penjaga yang kesakitan itu terlongok-longok keheranan. Dia belum dapat memahami akal pemimpinnya.

“Cepatlah!” desak Kodrat dengan suara khawatir. “Cepat antarkan!”

la mendorong penjaga itu dan dipaksa membawa Hajar Karangpandan pergi. Kemudian memberi perintah kepada penjaga yang lain. “Ikuti dia dan serang pendeta itu!”

Setelah memberi perintah demikian, cepat-cepat ia memanggul kotak penyangga gambang. Dan lari memasuki kepekatan malam. Ia tahu, pendeta itu pasti akan mencarinya lagi. Melihat tenaganya yang besar tidaklah sukar membekuk keempat bawahannya tadi. Dan mau tak mau mereka pasti mengaku siapa dia sebenarnya.

Berpikir demikian, ia jadi ketakutan. Larinya dipercepat. Dalam sekejap saja, Desa Kaliputih telah ditinggalkannya jauh. Taksirnya, kalau tidak ada halangan lagi Desa Selakrama yang terletak di tepi jalan Wonosobo—Banyumas akan dapat dicapainya sebelum tengah malam. Tetapi Sangaji yang diringkusnya di dalam kotak penyangga gambang mulai merintih. Akhirnya malahan menangis ketakutan.

“Diam!” bentaknya. Karena dibentak Sangaji tidak diam. Sebaliknya tangis Sangaji makin keras. Dia pun memanggil ibunya amat berisik.

“Diam!” bentak Kodrat lagi. “Kalau tak mau diam, kulempar ke kali. Ayo, diam tidak!”

Sangaji kian meronta mendengar bentakan itu. Seumur hidupnya, belum pernah dia dibentak ayah-bundanya. Keruan saja bentakan itu membuatnya menggigil ketakutan, la mulai meronta-ronta di dalam kotak penyangga gambang. Kodrat jadi kuwalahan.

Akhirnya Kodrat berbicara pada Rukmini dengan nada mengancam, “Hai suruhlah anakmu menutup mulut! Cepat!”

Rukmini yang semenjak dilarikan dari rumah kehilangan iman, tidak menyahut. Hatinya amat berduka, dendam dan benci kepada semuanya. Tetapi hati ibunya tidak begitu saja terenggut hilang. Jika terdengar anaknya menangis, ia memiringkan badan. Rasa hatinya kian tersayat-sayat. Dipipitkan badannya ke anaknya, tetapi mulutnya tak mampu bicara.

“Hai! Kaudengar tidak tangis anakmu? Bagaimana kalau sampai terdengar orang, apa tadinya!” bentak Kodrat jengkel. Ia menunggu. Rukmini tidak menyahut. Hanya kotak penyangga gamelan terasa bergoyangan. Tetapi tangis si anak kian menjadi-jadi. Ia mendongkol. Diturunkan kotak penyangga gamelan dari pundaknya, kemudian diletakan di tanah, ia membuka ringkusannya dan menampar pipi Sangaji.

“Mengapa kautampar dia,” bentak Rukmini.

“Kau dapat menutup mulutnya tidak? Suruhlah dia diam!” sahutnya tak peduli. “Kalau tidak, kulempar dia ke kali. Apa rugiku?” Perkataan Kodrat bukanlah ancaman semata. Dia dapat berbuat begitu. Karena pertimbangan itulah, terpaksa Rukmini membujuk anaknya.

“Jangan kauringkus dia,” kata Rukmini setengah meminta belas kasihan.

“Apa kau bilang?” bentak Kodrat. “Mestinya harus kusekap mulutnya dengan kain.”

Rukmini terdiam. Air matanya meleleh. Ia benci laki-laki itu. Tetapi ia tak berdaya menawannya. Tenaganya terasa hilang sebagian karena peristiwa yang maha dahsyat baginya.

“Sekarang dengarkan!” kata Kodrat lagi, “Kalian kupanggul lagi. Tetapi jika anakmu menangis, terpaksa kalian berdua kuajak jalan kaki. Kau bisa memikirkan akibatnya.

Langkahku panjang dan cepat. Kalian akan kupaksa jalan berlari-larian. Dan kalau anakmu rewel di sepanjang jalan, kubunuh dia! Kaupaham ini?”

Rukmini diam tak menyahut. Hatinya hambar. Ia bertekad ingin ikut mati juga, jika anaknya dibunuh.

“Hai dengarkan lagi!” kata Kodrat mengesankan. “Mulai sekarang kau harus tunduk pada semua perintahku. Membantah sedikit atau mengingkari atau mengkhianati, tanggung sendiri akibatnya. Aku terpaksa membunuhmu.”

Rukmini memalingkan muka. Anaknya didekapnya erat. Pandangnya mengarah ke jauh sana, ke arah desanya. Hatinya terguncang manakala teringat akan nasib suaminya yang mati di tengah rumah. Tadi ia tak melihat nyala api membakar rumahnya. Seandainya dia melihat itu, belum tentu dia sanggup berdiri lagi.

Pada saat itu, ia dan anaknya dinaikkan lagi ke dalam kotak penyangga gambang. Kali ini, Kodrat tak meringkusnya. Ia membiarkan bebas, hanya saja mereka dipaksa agar berbaring. Dengan demikian takkan menimbul kan kecurigaan orang.

Kotak penyangga gambang itu kemudian dipanggulnya dan ia meneruskan perjalanan. Langkahnya dipercepat. Tujuannya ke Desa Selakrama. Pikirnya, kalau aku berhasil mencapai batas daerah Banyumas sebelum fajar hari, amanlah sudah. Tapi kalau si jahanam itu tiba-tiba mengejarku... Apa yang harus kulakukan?” Otaknya lantas saja bekerja. Tiba-tiba teringatlah dia kepada pamannya yang bertempat tinggal di Desa Segaluh. Pamannya bernama Jaga Saradenta. Dia bekas seorang kepala pasukan tentara Banyumas dalam perang Giyanti. la benci kepada Belanda. Benci juga kepada semua yang berbau Kerajaan Susuhunan Surakarta. Maklumlah, sebagai salah seorang prajurit Pangeran Mangkubumi ia berpaham memusuhi Susuhunan Paku Buwono II. Dia terkenal berani, tangkas dan sakti. Setelah perang selesai, ia diangkat menjadi Gelondong Segaluh. Kodrat adalah seorang laki-laki yang berotak licin. Pikirnya, aku adalah bawahan sang Dewaresi yang bekerja sama dengan Belanda. Tapi kalau aku bisa menempatkan diri, pamanku pasti mau menjadi pelindungku, lebih baik aku ke sana saja. Kalau si jahanam datang, biarlah Paman yang menghadapi.

Mendapat ide seperti itu, bangkitlah semangatnya. Dikerahkan tenaganya sekuat-kuat-nya. Dan menjelang jam dua, sampailah di rumah Jaga Saradenta.

Pintu rumah segera digedornya, la mengancam Rukmini juga agar bersikap membantu apa yang dikatakan. Belatinya diperlihatkan. Bisiknya tajam, “Awas! Inilah bagianmu.”

Kodrat pandai bermain sandiwara. Begitu ia melihat pamannya membuka pintu, lantas saja dia berlutut dan merangkul kedua lututnya. Katanya dengan menangis sedu-sedan, “Tolong, Paman tolong!”

“Hai, kenapa!” Jaga Saradenta kaget. Dua tiga tahun, dia tak pernah bersua dengan kemenakannya. Tahu-tahu, ia diratapi demikian rupa. Hati siapa yang tak terguncang.

“Aku dihina orang. Aku dikejar orang. Aku mau dibunuhnya.”

“Ah, siapa berani menghinamu. Siapa berani mengejar. Dan siapa yang mau membunuhmu, hamba Adipati Banyumas. Tidak ada yang berani kurang ajar padamu.”

“Dia orang asing, Paman. Dia mengenakan pakaian pendeta. Tetapi pendeta cabul. Pendeta begundal kompeni Belanda yang menjual dirinya menjadi mata-mata.”

Kena betul permainan ini di dalam hati Jaga Saradenta. Segera ia membawa kemenakannya duduk di kursi. Pada saat itu isterinya ikut terbangun pula. Melihat kemenakannya menangis sedu-sedan, sibuklah dia tak keruan. Buru-buru ia menyalakan lampu besar. “Kenapa?. Kenapa?,” katanya.

“Biarlah dia bicara, Bu,” kata Jaga Saradenta.

Kodrat memanggut-manggut cepat. Isaknya dinaikkan dan ia berlutut lagi di hadapan pamannya. Mendidih darah Hajar Karangpandan. Ia tak dapat mengendalikan amarahnya. Dan tanpa ampun lagi. Orang itu dibantingnya mati ke tanah.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment