Si pemuda nampak merenung. Hatinya tak tenteram, memikirkan perusuh yang memasuki istana kepatihan. Dia tak dapat menebak siapa orang itu. Kalau tadi mengira salah seorang kawanan rombongan penari, hanyalah karena pikiran selintas yang berkelebat dalam benaknya. Lambat-laun setelah dipikirkan bolak-balik hatinya jadi bimbang.
Tak lama kemudian perjalanan sampai ke kota. Itulah kota Yogyakarta.
“Nyonya, di sini banyak orang menjual pakaian,” kata Pangeran Bumi Gede. “Kita cari penginapan dulu, lalu beli dua atau tiga perangkat pakaian. Pakaian Nyonya kelihatan banyak debunya. Juga pakaian Sanjaya. Alangkah enak dipandang mata sekiranya Nyonya mengenakan pakaian baru.”
Sapartinah memeriksa pakaiannya. Benar, pakaiannya kelihatan berdebu dan usang. Tetapi masa dia harus menerima pakaian pemberian orang. Ia ingin menolak, tiba-tiba si pemuda berkata lagi.
Wajah seperti Nyonya, kuranglah pantas jika hanya mengenakan pakaian bahan murahan. Bukankah itu berarti menyia-nyiakan karunia Tuhan?”
Sapartinah terkejut mendengar ucapan itu. Tapi diam-diam ia senang mendapat pujian tentang kecantikannya, la menundukkan kepala. Kemudian mengerling kepada si pemuda hati-hati. Ingin ia menyelidiki arah ucapan si pemuda. Tetapi ia tak mendapatkan kesan lain yang mencurigakan. Si pemuda benar-benar berkata dengan setulus hati. Karena kesan itulah ia menjadi tak enak sendiri, terus mencurigai kawan seperjalanan.
“Kudengar tadi kau seorang Pangeran,” ia mengalihkan pembicaraan. “Tak pantas aku berjalan bersama seorang pangeran. Biarlah kami ditinggalkan di sini. Karena aku bisa mencari penghidupan dalam kota ini.”
“Eh, apa kata Nyonya?” si pemuda kaget. “Kenapa Nyonya bisa mempunyai pikiran begitu. Apa Nyonya ingin melupakan dendam suami Nyonya.” Diingatkan perkara suaminya, Sapartinah jadi lemah hati dan berkata menyerah.
“Aku seorang perempuan. Apa dayaku mau membalaskan dendam. Kurasa lebih baik aku memusatkan diri kepada ajaran dan pendidikan Sanjaya sebagai balas budi.”
“Itupun pendirian mulia. Tetapi bagaimana Nyonya sampai hati menyiksa arwah suami Nyonya di alam baka.”
“Mengapa aku menyiksa dia?” Sapartinah terkejut.
“Kita belum membalaskan dendamnya,” jawab si pemuda.
“Karena itu berilah kesempatan padaku, untuk membalaskan dendamnya atas nama Nyonya. Sekali pukul aku telah menebus dua nyawa sekaligus.”
Mendengar alasan si pemuda masuk akal, Sapartinah kian tunduk. Air matanya berlinang untuk sesuatu perasaan tanpa alamat. Mendadak terdengarlah Sanjaya berseru-seru heran. Dengan menuding-nuding ia menyatakan rasa herannya melihat pemandangan yang baru dilihatnya pertama kali. “Bu! Apa itu?”
Sapartinah sendiri baru untuk pertama kali memasuki kota Yogyakarta. Banyak pemandangan baru yang masih asing baginya. Ia tak pandai menerangkan. Maka si pemuda menolong menerangkan keheranan si bocah dengan lancar dan cekatan. Sikapnya tak beda seperti kata-kata seorang ayah belaka. Kesan itu meluluhkan hati Sapartinah.
Dia bersikap sopan kepadaku. Ternyata sayang juga kepada Sanjaya, baiklah aku bersikap mengimbangi. Apa salahnya aku bersikap demikian terhadap seorang pangeran, pikir Sapartinah.
Pada jaman itu penduduk memandang sangat tinggi martabat orang-orang ningrat. Kalau ditimbang-timbang adalah suatu kebetulan belaka Sapartinah dapat berjalan berjajar dengan si pemuda. Sekiranya tidak ada peristiwa pusaka sakti—sekiranya wajah Sapartinah tidak cantik manis—sekiranya si pemuda tidak tertambat hatinya untuk melihatnya yang pertama kali, takkan mungkin terjadi pergaulan sebebas itu.
Maka tatkala mereka menginap di sebuah penginapan mahal, Sapartinah diperlakukan sebagai isteri seorang ningrat. Ia mendapat pelayanan-pelayanan luar biasa buat ukurannya. Maklumlah, semenjak bayi ia dilahirkan di alam pedusunan. Menjadi dewasa dan bersuamikan seorang penduduk biasa yang memilih hidup sebagai petani, la biasa bekerja sendiri tanpa seorang pembantupun.
Tak heran ia malahan merasa tersiksa oleh pelayanan-pelayanan itu. Meskipun otaknya sederhana, tetapi ia mulai lagi menduga-duga, mengapa pangeran itu memperlakukan dirinya begitu baik. Meskipun alasan yang dikemukakan adalah masuk akal, samar-samar ia merasakan sesuatu. Perasaan samar-samar itu menggugah dan mengingatkan hatinya kepada suaminya yang sangat mencintainya. Ia merasa diri menjadi bagian hidup suaminya. Kini secara tiba-tiba direnggutkan oleh sesuatu nasib. Teringat akan cintanya kepada suaminya, berpura-puralah dia berbaring memeluk Sanjaya. Diam-diam ia menangis sedih sekali.
Dalam pada itu, Pangeran Bumi Gede berangkat ke bagian kota yang ramai dengan membekal uang. Ia melihat penduduk kota masih saja merayakan hari penobatan raja. Mereka berbelanja, berhias dan berbicara melebihi kebiasaannya. Gerak-geriknya halus dan menyenangkan hati.
Pangeran Bumi Gede adalah seorang pangeran yang mempunyai cita-cita besar. Ia bersekutu dengan Patih Danureja II. Dengan sendirinya dalam hatinya memusuhi Sultan Hamengku Buwono II. Maksud persekutuan itu ialah untuk sesuatu tujuan tertentu. Pertama-tama ia melihat Patih Danureja H berpengaruh besar dan luas. Kompeni Belanda berada di belakangnya. Kedua, ia mengagumi kecakapan Patih Danureja H. Jika ia pandai menempelkan
diri kepadanya, tak urung di kemudian hari akan ke bagian rejeki.
Dia sendiri seorang bupati daerah Bumi Gede. Tetapi ia ingin menjadi seorang Bupati Mancanegara seperti Raden Rangga Prawiradirja III. Siapa tahu, malahan bisa diangkat menjadi pangeran penuh yang memerintah negara agung . Siapa tahu pula, bahwa oleh pengaruh Patih Danureja II dia bisa dicalonkan sebagai pengganti raja. Inilah cita-cita gilanya, tetapi mungkin pula terjadi. Sebab Patih Danureja II benar-benar lawan Sultan Hamengku Buwono II sampai ke bulu-bulunya ...
Dengan tenang dan rasa puas bangsawan itu berjalan menyusur tembok-tembok kota. Maklumlah, hari itu ia memperoleh tanda-tanda Sapartinah telah dapat dikuasainya, la seorang bangsawan yang teliti dan halus sepak-terjangnya. Gejolak hati sebenarnya tidaklah nampak dari penglihatan. Jika ia mempunyai tujuan, sepak terjangnya kian lembut. Perempuan sesederhana Sapartinah bagaimana dapat menebak maksud hatinya.
Selagi ia melamunkan rencana-rencananya terhadap Sapartinah, mendadak didengarnya derap kuda. Ia tertarik dan menjadi heran. Bagaimana tidak? Jalan yang dilalui tidaklah cukup leluasa bagi seseorang yang berkuda. Lagi pula waktu itu banyak orang berjalan hilir mudik. Di tepi jalan pedagang-pedagang kain, makanan, dolanan dan pikulan-pikulan sayur. Lantas siapa orang itu? Mestinya salah seorang keluarga raja. Mendapat pikiran demikian cepat-cepat ia menepi.
Tak usah dia lama menunggu, maka nampaklah seekor kuda berwarna putih melesat mendatangi. Kuda itu gagah, tegap dan cepat larinya, la mengagumi kuda itu. Tetapi ia heran pula penunggangnya. Dia bukan anak seorang pangeran atau salah seorang keluarga raja. Melainkan seseorang yang mengenakan pakaian pendeta.
Tampaknya seperti orang gila. la bercokol di atas pelana tanpa memegang kendali. Perawakan orangnya agak pendek, tapi tubuhnya berisi.
Menyaksikan kuda lari demikian cepat tanpa dikendalikan, Pangeran Bumi Gede menjadi cemas juga. Tetapi ajaib. Meskipun berlari begitu liar, kuda itu tak pernah menyinggung orang. Pikulan-pikulan dilompatinya dengan gesit. Orang-orang yang tidak sempat menyibakkan diri dilintasi dengan teliti. Kuda itu seperti berlari di tengah lapang tiada rintangan. Larinya merdeka dan pandai menghindari rintangan-rintangan semacam orang bersilat.
Pangeran Bumi Gede tak percaya, kalau kuda itu lari tanpa dikuasai penunggangnya. Karena itu tanpa sadar ia kagum dan heran.
“Bagus!” Ia memuji penunggangnya. “Kalau bukan seorang ahli bagaimana dia sanggup melintasi jalanan begini sesak dan kacau.”
Penunggang kuda itu tatkala hampir melintasi Pangeran Bumi Gede sekonyong-konyong menoleh. Pandang matanya tajam seperti lagi mengancam. Tak terasa tersiraplah darah Pangeran Bumi Gede.
Ih! Mengapa dia memandangku seperti itu? pikirnya menggeridik.
Sekonyong-konyong dari simpang jalan nampaklah dua kanak-kanak lari menyeberang jalan. Orang-orang menjerit kaget. Tak terkecuali Pangeran Bumi Gede; Penunggang kuda lantas saja menarik kendali sambil menjejak punggung. Ia terloncat ke atas dengan berjumpalitan. Kudanyapun seperti ikut tertarik, la terloncat dan melintasi kepala dua kanak-kanak itu tanpa menyinggung sehelai rambutnya. Tatkala kakinya turun ke jalan, si penunggang turun dari udara dan jatuh tepat di atas pelana.
Pangeran Bumi Gede tercengang-cengang. Siapa dia?—ia menebak-nebak. Kenapa harus melarikan kudanya seperti setan?
Karena itulah ia segera mempercepat jalannya. Ia ingin tahu ada apa. Dia seorang pemuda yang gesit dan tangkas. Sebentar saja ia dapat mengejar larinya kuda dengan jarak tetap. Tetapi orang-orang yang dilalui pada heran. Mereka mengira, dialah pemilik kuda yang sedang mengejar si pencuri.
Pangeran Bumi Gede tak menghiraukannya. Perhatiannya terpusat kepada si penunggang kuda. Kalau aku belum mengetahui jelas siapa dia, biar aku berlari-lari sepanjang malam. Sayang, kalau seseorang sepandai itu berada di pihak raja. Dia harus dapat kutarik ke pihakku, pikirnya.
Makin lama makin menggilalah lari si kuda putih. Ia jadi khawatir akan kehilangan jejak. Sekonyong-konyong di depan Istana Kepatihan kuda putih itu berhenti. Penunggangnya lantas saja melompati penjagaan dan menggempur penjaga-penjaga.
“Ih!” Pangeran Bumi Gede terkejut. “Mengapa memusuhi kepatihan? Apa dia yang bikin onar dalam Istana Kepatihan?”
Ia lantas berdiri menonton di pinggir jalan. Waktu itu si penunggang kuda menyerang penjaga-penjaga dengan cepat. Sebentar saja belasan orang penjaga jatuh berserakan di atas tanah, la tak terkalahkan. Bahkan sekarang berdiri tegak menghadap gapura. Berkata nyaring, “Hai kalian begundal-begundal Belanda! Inilah Hajar Karangpandan! Kalau kalian sakit hati kejarlah aku!”
Setelah berkata demikian ia melompati kudanya lagi dan melesat pergi. Penjaga-penjaga yang berada di dalam gapura membunyikan genta tanda bahaya. Tak lama kemudian sepasukan tentara berkuda keluar dari gapura memburu Hajar Karangpandan. Tetapi mereka tak dapat mengejarnya. Melihat bayangannya saja tidak sempat.
Pangeran Bumi Gede berdiri tertegun menyaksikan kejadian itu. Hebat! Hebat orang itu, pikirnya. Ternyata dia benci kepada orang-orang yang bekerja sama dengan Belanda.
Patih Danureja memang bersahabat dengan kompeni. Dan aku bersekutu dengan Patih Danureja. Bukanlah setali tiga uang? katanya di dalam hati. Ih! Kalau aku kepergok orang itu ... akupun akan ...
Ia mendapat firasat buruk. Teringatlah dia akan Sapartinah. Maka cepat-cepat ia kembali ke penginapan. Lega hatinya saat melihat Sapartinah masih ada di dalam kamarnya.
Keesokan harinya ia menyuruh Sapartinah berganti pakaian dan bersolek secara isteri orang ningrat. Kemudian disewanya sebuah kereta. Ia khawatir terlihat oleh si penunggang kuda semalam. Siapa tahu orang itu mengganggu Sapartinah. Grusan bisa runyam nanti, pikirnya. Biarlah kuantarkan pulang dulu Sapartinah, katanya di dalam hati. Setelah beres kucari orang itu. Sayang! Sungguh sayang jika orang itu terlepas dari tanganku. Kalau aku bersikap bijaksana pasti dia dapat kutarik ke pihakku.
Memikir demikian hatinya tenteram kembali. Sapartinah dan Sanjaya dinaikkan ke dalam kereta tertutup. Dia tetap menunggang kuda mengamatamati dari jauh.
Bersambung.....
No comments:
Post a Comment