Friday, March 15, 2013

Ulama-Satrawan Dari Tuban (bag-1)



SUNAN BONANG

Dalam Deretan walisongo, posisi Sunan Bonang sangatlah  signifikan. Tak hanya karena keilmuannya yang matang, tapi juga kepiawaiannya dalam mengemas dakwah Islam. Ditangannya, Islam, yang tadinya asing dan baru bagi masyarakat Nusantara, menjadi akrab di dengar, mudah dipahami, dan nyaman diresapi. Seolah-olah, Islam bukanlah barang asing, melainkan sesuatu yang sangat dekat dengan kehidupan mereka. Kenandalan Sunan Bonang itu diakui oleh para wali lain. Tak aneh, kalau Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai budayawan nyentrik pernah berguru kepada Sunan Bonang.


Melihat latar belakang keluarga, kecemerlangan Sunan Bonang memang bukan hal yang mengherankan. Ia adalah putra buah pernikahan Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila, putri seorang adipati di Tuban. Nama kecilnya adalah Raden Makhdum Ibrahim, lahir sekitar 1465 M. Sebagai putra ulama terpandang, semenjak kecil, Makhdum belajar agama langsung dari sang ayah di Ampel Denta. Ia dikenal cerdas dan berwawasan luas. Ia mahir ilmu-ilmu agama, sastra, tasawuf, sampai ilmu bahasa.

Menginjak usia muda, Makhdum Ibrahim menjelma menjadi seorang pelajar yang tekun dan mubalig berkharisma. Meski demikian, ia tetap merasa butuh mematangkan ilmunya. Mulai dari bahasa dan sastra Arab, Melayu, serta berbagai cabang ilmu agama yang penting seperti fiqih, ushuluddin, tafsir Al-Qur’an, hadits dan tasawuf. Ia pun bermaksud menuntut ilmu ke Mekkah. Dalam perjalanan, ia sempat singgah di Malaka dan Pasai untuk berguru pada ulama disana. Pasai, saat itu, memang menjadi salah satu pusat kajian Islam yang disegani. Tak hanya di Nusantara, api juga Asia.

Disana, sebagaimana catatan sejarah Melayu, Makhdum mempelajari bahasa dan sastra Arab lebih mendalam. Disamping juga ilmu-ilmu lain. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya ke Mekkah. Untuk beberapa tahun lamanya, ia tekun mempelajari ilmu agama di tanah kelahiran Islam tersebut. Selesai ngungsi kawruh, ia kembali ke kampung halaman untuk menyampaikan ilmunya kepada masyarakat. Setibanya dirumah, ia ditugaskan oleh ayahnya untuk berdakwah turun ke bawah.

Ia pun berkelana di berbagai pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ke Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama Hindu. Disana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Di tempat itu, ia memulai karirnya pertama kali sebagai pendakwah. Namun demikian, jiwa kelana Makhdum tak merelakannya berdiam di satu tempat. Ia pun terus berkelana menjelajahi tanah Jawa. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati, Madura maupun Pulau Bawean.

Sebab itulah, kiprah dakwa Raden Makhdum kian meoncer. Ak heran kalau ia kemudian di daulat menjadi imam resmi pertama Kesultanan Demak. Bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Di bawah pimpinannya, masjid agung itu berkembang cepat menjadi pusat keagamaan dan kebudayaan terkemuka. Dalam melaksanakan tugas itu, ia dibantu oleh Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Selo. Namun sekitar 1503 M, ia berselisih paham dengan Sultan Demak. Ia pun memutuskan meletakkan jabatan sebagai imam masjid agung.

Dari Demak, Makhdum pindah dan menetap di Bonang, sebuah desa kecil di Lasem, Jawa Tengah, sekitar 15 kilometer arah timur kota Rembang. Di desa itulah ia membangun tempat pesujudan sekaligus pondok pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Di tempat itu, ia memsatkan dakwahnya. Berawal dari situlah, sebutan Sunan Bonang melekat padanya.

Dalam berdakwah, Sunan Bonang kerap memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan salafy. Pilihan pada tasawuf itu sangatlah tepat mengingat masyarakat Nusantara yang mayoritas Hindu saat itu gandrung akan spiritualitas dan kedalaman makna kehidupan. Dan tasawuf menyediakan itu. Ditambah keahliannya dalam berbagai disiplin ilmu, membuatnya mudah dalam menyampaikan dakwah. Ia begitu gampang berbaur dan leluasa menyampaikan ajaran Islam yang sudah dikemas dengan demikian lentur. Sehingga masyarakat menjadi nyaman, dan perlahan tapi pasti menerima Islam.

Bersambung .......



No comments:

Post a Comment