Friday, February 8, 2013

IMAM HANAFI (Bag-1)

Ulama dan Pengusaha

Suatu ketika, di kota Kufah. Seekor kambing hasil curian, lari ke gerombolan kambing yang bukan curian, di lingkungan kediaman Imam Hanafi. Sang Imam lalu bertanya kepada ahli kambing? “Berapa umur paling tua seekor kambing?” Ahli kambing menjawab, “Tujuh tahun”. Sejak saat itu, Imam Hanafi tidak mau makan kambing selama tujuh tahun. Ia takut kalau-kalau, tanpa sengaja ia memakan kambing curian itu.


Begitulah kehati-hatian seorang Imam Hanafi. Sebenarnya, jika seseorang terlanjur memakan sesuatu yang ia tidak tahu halal atau haram, bukan sebuah masalah. Tetapi sang Imam bersikap ‘waro’.

ImamHanafi juga diketahui secara luas, selama 40 tahun ia melakukan sholat Isya dan Subuh dengan sekali wudhu (Isya). Berarti ia tidak melakukan hal-hal yang membatalkan wudhu, dan semalaman digunakan untuk beribadah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jika Ramadhan tiba, dalam sehari ia mengkhatamkan Al-Qur’an dua kali. Siang sekali, dan malam sekali. Begitulah sifat-sifat Umam Hanafi.

Nama aslinya An Nu’man bin Tsabit bin Zautha bin Mah. Ia dilahirkan di Kufah (Irak) pada 80 Hijriah (699 Masehi). Ayahnya keturunan Persia yang pindah ke Kufah sebelum ia lahir. Jadi, ia ‘Ajam’ (non-Arab). Pemerintahan Islam waktu itu di tangan Abdul Malik bin Marwan (raja Bani Umayyah yang ke-5). Menurut sebuah riwayat, Tsabit (sang Ayah) waktu kecil pernah diajak datang berziarah oleh sang kakek, Zautha, menghadap Ali bin Abi Thalib RA. Pada waktu itu, Ali bin Abi Thalib mendoakan Tsabit agar ada anak keturunannya yang menjadi ‘rijal’ (tokoh) yang baik, luhur, dan pintar. Ternyata doa Ali dikabulkan Allah.

An Nu’man, setelah punya beberapa anak, ada yang dinamainya Hanifah. Maka menurut tradisi orang Arab, ia dipanggil Abu Hanifah. Menurut riwayat lain, karena Imam Hanafi ini sifatnya baik, luhur, lurus, maka ia dipanggil Abu Hanifah, yang berarti “lurus” atau “cenderung kepada kebenaran”, sebagaimana pengikut Nabi Ibrahim pada masa Nabi Muhammad disebut orang-orang Hanif.

Menurut riwayat lain, Hanifah dalam bahasa Arab dialek Irak berarti “tinta” karena ia selalu membawa tinta, dan ia disebut sebagai Bapaknya Tinta (Abu Hanifah). Setelah ajaran-ajaran fiqihnya disebarkan oleh murid-muridnya, maka madzhab itu dinamakan Madzhab Hanafi, dan Abu Hanifah disebut Imam Hanafi.

Salah satu gurunya adalah Imam Amir bin Syaharil Asy Syu’bi (wafat 104 H). Setelah melihat dan memperhatikan keadaan pribadi dan kecerdasannya, sang guru menasehatinya supaya rajin mempelajari ilmu pengetahuan, dan supaya mengambil tempat belajar yang tertentu di majelis-majelis para ulama dan para cendekiawan ternama masa itu. Sejak saat itu, Hanafi menjadi sangat rajin belajar.

Bersambung....

No comments:

Post a Comment