SUNAN BONANG
Dalam Deretan walisongo, posisi
Sunan Bonang sangatlah signifikan. Tak
hanya karena keilmuannya yang matang, tapi juga kepiawaiannya dalam mengemas
dakwah Islam. Ditangannya, Islam, yang tadinya asing dan baru bagi masyarakat
Nusantara, menjadi akrab di dengar, mudah dipahami, dan nyaman diresapi.
Seolah-olah, Islam bukanlah barang asing, melainkan sesuatu yang sangat dekat
dengan kehidupan mereka. Kenandalan Sunan Bonang itu diakui oleh para wali
lain. Tak aneh, kalau Sunan Kalijaga yang dikenal sebagai budayawan nyentrik
pernah berguru kepada Sunan Bonang.
Melihat latar belakang keluarga,
kecemerlangan Sunan Bonang memang bukan hal yang mengherankan. Ia adalah putra
buah pernikahan Sunan Ampel dengan Nyi Ageng Manila, putri seorang adipati di
Tuban. Nama kecilnya adalah Raden Makhdum Ibrahim, lahir sekitar 1465 M.
Sebagai putra ulama terpandang, semenjak kecil, Makhdum belajar agama langsung
dari sang ayah di Ampel Denta. Ia dikenal cerdas dan berwawasan luas. Ia mahir
ilmu-ilmu agama, sastra, tasawuf, sampai ilmu bahasa.
Menginjak usia muda, Makhdum
Ibrahim menjelma menjadi seorang pelajar yang tekun dan mubalig berkharisma.
Meski demikian, ia tetap merasa butuh mematangkan ilmunya. Mulai dari bahasa
dan sastra Arab, Melayu, serta berbagai cabang ilmu agama yang penting seperti
fiqih, ushuluddin, tafsir Al-Qur’an, hadits dan tasawuf. Ia pun bermaksud
menuntut ilmu ke Mekkah. Dalam perjalanan, ia sempat singgah di Malaka dan
Pasai untuk berguru pada ulama disana. Pasai, saat itu, memang menjadi salah
satu pusat kajian Islam yang disegani. Tak hanya di Nusantara, api juga Asia.
Disana, sebagaimana catatan
sejarah Melayu, Makhdum mempelajari bahasa dan sastra Arab lebih mendalam.
Disamping juga ilmu-ilmu lain. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya ke
Mekkah. Untuk beberapa tahun lamanya, ia tekun mempelajari ilmu agama di tanah
kelahiran Islam tersebut. Selesai ngungsi kawruh, ia kembali ke kampung halaman
untuk menyampaikan ilmunya kepada masyarakat. Setibanya dirumah, ia ditugaskan
oleh ayahnya untuk berdakwah turun ke bawah.
Ia pun berkelana di berbagai
pelosok Pulau Jawa. Mula-mula ke Kediri, yang mayoritas masyarakatnya beragama
Hindu. Disana ia mendirikan Masjid Sangkal Daha. Di tempat itu, ia memulai
karirnya pertama kali sebagai pendakwah. Namun demikian, jiwa kelana Makhdum
tak merelakannya berdiam di satu tempat. Ia pun terus berkelana menjelajahi
tanah Jawa. Ia acap berkunjung ke daerah-daerah terpencil di Tuban, Pati,
Madura maupun Pulau Bawean.
Sebab itulah, kiprah dakwa Raden
Makhdum kian meoncer. Ak heran kalau ia kemudian di daulat menjadi imam resmi
pertama Kesultanan Demak. Bahkan sempat menjadi panglima tertinggi. Di bawah
pimpinannya, masjid agung itu berkembang cepat menjadi pusat keagamaan dan kebudayaan
terkemuka. Dalam melaksanakan tugas itu, ia dibantu oleh Sunan Kalijaga dan Ki
Ageng Selo. Namun sekitar 1503 M, ia berselisih paham dengan Sultan Demak. Ia
pun memutuskan meletakkan jabatan sebagai imam masjid agung.
Dari Demak, Makhdum pindah dan
menetap di Bonang, sebuah desa kecil di Lasem, Jawa Tengah, sekitar 15
kilometer arah timur kota Rembang. Di desa itulah ia membangun tempat pesujudan
sekaligus pondok pesantren yang kini dikenal dengan nama Watu Layar. Di tempat
itu, ia memsatkan dakwahnya. Berawal dari situlah, sebutan Sunan Bonang melekat
padanya.
Dalam berdakwah, Sunan Bonang
kerap memadukan ajaran ahlussunnah bergaya tasawuf dan salafy. Pilihan pada
tasawuf itu sangatlah tepat mengingat masyarakat Nusantara yang mayoritas Hindu
saat itu gandrung akan spiritualitas dan kedalaman makna kehidupan. Dan tasawuf
menyediakan itu. Ditambah keahliannya dalam berbagai disiplin ilmu, membuatnya
mudah dalam menyampaikan dakwah. Ia begitu gampang berbaur dan leluasa
menyampaikan ajaran Islam yang sudah dikemas dengan demikian lentur. Sehingga
masyarakat menjadi nyaman, dan perlahan tapi pasti menerima Islam.
No comments:
Post a Comment