Seperti yang saya alami, ternyata mencari sumber kegelisahan itu bukan dari luar diri, tetapi dari dalam diri. Karena faktor luar diri itu tidak dominan, Meskipun kita mampu menyelesaikan problem itu dengan cara menyelesaikan pokok masalahnya dari luar, tapi ia akan dirundung kegelisahan dalam bentuk lain. Begitu seterusnya tak pernah selesai.
Sebagai contoh, ketika kita berada pada puncak kesedihan karena masalah ekonomi,
kadang kita tidak memperhatikan bahwa dititik kulminasi itu ada rasanya. Kita malah terbuai dengan hal lain yang mengganggu pikiran kita. Padahal di titik kesedihan itu ada geliat jiwa yang berpotensi untuk menyelesaikannya. Biarkan jiwa kita merasakan getaran “sedih” itu. Rasakan bagaimana ia menemukan penyelesaian dengan kejernihan hati dan kepasrahan kepada Tuhan, Sang Pemilik Jiwa. Dialah yang memberi ketenangan dan kedamaian hati. Lepaskan duka kita kepada Allah. Biarlah Dia yang membimbing dan menuntun hati kita. Berserah dirilah kepada-Nya secara total.
Jangan sampai kita malah terjebak pada hasrat, keinginan, harapan, cita-cita, dan angan belaka, tanpa mengetahui apa hakikat jiwa. Buang jauh-jauh prasangka buruk pada diri dan pada Allah. Uang tak akan menyelesaikan masalah kita. Meskipun pada waktu itu uang dapat menyelesaikan problem ekonomi kita, tapi kita akan mendapat kegelisahan dan kesedihan berikutnya, baik dalam bentuk yang sama ataupun dalam bentuk yang berbeda.
Namun jika pada saat kesedihan kita itu memuncak, lalu kita mengembalikan segala sesuatu pada Allah : “Dari-Mu dan kepada-Mu akan kembali, ya Allah”, maka kita akan menemukan dan memahami titik kesedihan yang sebenarnya.
Lalu, jiwa kita akan bertanya dan bertanya lagi, apa setelah kembali pada Allah? Hidup dan matiku untuk-Mu. Ya Allah. Makan minumku untuk siapa? Kerja dan pengabdianku untuk siapa? Untuk apa? Mengapa? Bagaimana? Dimana? Dan sederet pertanyaan-pertanyaan geliat jiwa lainnya yang dipersembahkan kepada Allah. Pada titik itu kita pasti akan menyadari dan berkata, “Ya Allah, segala hidupku dari-Mu dan kepada-Mu akan kembali.
Jadi menurut saya, sumber dan penyebab kegelisahan seseorang adalah jiwa. Sementara pengaruh luar hanya instrumen saja. Jiwalah pusat segala macam apa yang terjadi pada diri kita. Maka hanya dengan mengolah jiwa, seseorang akan sanggup melepaskan kegelisahannya. Caranya, dengan mengembalikan seluruh persoalan kepada jiwa dan Sang Pemilik Jiwa : Tuhan.
Inilah fitrah manusia yang sesungguhnya. Manusia membutuhkan tempat untuk berlindung, mengadu, dan bergantung. Hanya Allah lah yang sanggup menjawab itu semua. Pengaduan dan pengolahan jiwa ini bukan hanya berlaku pada kesedihan, tetapi juga pada seluruh rasa yang lain seperti gembira, cemas, iba, takut, malu, dan lain sebagainya.
Sayangnya manusia tidak segera menangkap hal ini. Meskipun berkali-kali Allah memperlihatkan tanda-tanda atau fenomena, namun kesadaran dalam diri nyaris tak tersentuh. Kita tak pernah berusaha memanfaatkan potensi diri untuk memahami jiwa.
Bagi seorang Muslim, mestinya mudah tergugah dengan panggilan adzan yang menggema, atau dapat merasakan getaran hati saat bacaan Al-Quran dilantunkan. Cobalah bagaimana merasakan suara itu masuk ke telinga, mendengarkan bagaimana tarikan suaranya, menghayati maknanya, lalu masukkan kedalam hati dan bertanya pada diri : Siapa aku? Darimana aku? Akan kemana aku? Mengapa aku? Untuk apa dan apa tujuan hidupku?
Hal itu sebenarnya bisa dilakukan. Namun terkadang kita lebih senang melampiaskan titik kulminasi itu dengan hal-hal yang negatif. Kita melupakan hakikat diri kita sendiri. Kita tidak mudah tersentuh oleh hal-hal yang sangat mendasar dalam hidup. Padahal logika orang-orang di masa kini seharusnya lebih maju dibandingkan dengan orang zaman dulu, yang bahkan membaca saja tidak bisa. Mestinya kita memahami ini.
Seorang bintang film misalnya, ia dapat terkenal dan meraup uang yang banyak dari karier yang digelutinya. Mengapa ia tak sanggup melihat titik kulminasi kesedihan atau kebahagiaan? Padahal ia mampu membuktikan potensi diri dan target yang dapat diraihnya. Begitu juga dengan seorang pengusaha, ia mampu menjadi kaya dan sukses dalam mengelola perusahaan. Ini adalah potensi diri yang telah teraih secara baik, namun mengapa ia tak mampu melihat titik kesedihan atau kegelisahan dalam hidupnya?.
Pernahkah artis atau pengusana itu menyadari bahwa selama ini “daya” jiwalah yang melahirkan proses kreatifnya, mendorongnya untuk bekerja keras, mengajarkan tentang keuletan, membimbingnya untuk membuat inovasi dan pembaharuan dalam kerjanya dan sebagainya, hingga ia mencapai kesuksesan sebagai artis atau pengusaha?.
Kalau kita mau jujur dengan hati nurani, setiap saat kita akan mampu melihat bagaimana menggeliatnya jiwa. Setiap hari, setiap saat, entah terasa atau tidak, selalu ada geliat jiwa yang membuncah.
Bahkan, menurut saya, seorang pelacur sekalipun, Ia bisa merasakan getar dan kehadiran Tuhan, kalau ia sanggup dan menyadarinya. Tuhan milik semua mahluk. Tak peduli warna kulit, kedudukan, adat istiadat, bahasa, tradisi, dan budaya apa pun, jiwa manusia dapat didorong untuk mencapai dan mengenal hakikat Tuhan. Lalu Tuhan akan membantu, membimbing, menolong, melindungi, dan memberi apa pun juga.
Memang tidak mudah untuk menemukan kesadaran diri semacam itu. Kita harus mengolahnya, harus mempunyai tekad untuk berlatih, rela melapaskan diri dari belengu yang datang dari faktor luar, serta bersemangat dan bersenanghati untuk belajar.
Dikutip dari buku berjudul : "Ya Allah, Izinkan aku Mengenalmu"
Penulis : Mas Gun
No comments:
Post a Comment