Darah kesatria Wirapati kian menjadi meluap-luap. Ia harus cepat bertindak, mengingat di dalam rumah terdapat dua orang perempuan dan dua orang kanak-kanak. Maka dengan memusatkan perhatian, ia menerjang si pemuda sambil berteriak, “Cepat keluar! Rumah akan terbakar!”
Kepala Kampung Karangtinalang dan Kepala Kampung Krosak yang kena dipatahkan lengan serta kakinya oleh si pemuda, terkejut mendengar teriakan itu. Mereka sadar akan bahaya, maka dengan sempoyongan dan meloncat-loncat lari menghampiri pintu.
Tetapi waktu itu, rombongan penari dari Banyumas sudah menyerbu memasuki rumah. Mereka berteriak-teriak kalang kabut.
Kekacauan segera terjadi. Api mulai menjilat dinding rumah dan telah pula membakar atap ruang tengah. Wayan Suage segera membungkuki Rukmini yang masih saja jatuh pingsan. Ia menggapai isterinya. Tetapi isterinya tidak melihat. Masih saja dia mendekap mukanya, sedang Sanjaya dipeluknya erat-erat.
Waktu itu, Wirapati sedang mendesak si pemuda dengan serangan bertubi-tubi. la ingin menyelesaikan pertempuran secepat mungkin. Sebaliknya si pemuda tak gampang dapat dikalahkan, la dapat bergerak dengan gesit. Gerak-geriknya aneh pula, bahkan kini mulai memperlihatkan tongkatnya.
Mendadak saja si pemuda yang bermata tajam melihat Wayan Suage membungkuki mayat Made Tantre, sedang kedua tangannya menggenggam dua pusaka sakti, la tak berniat mengadu kepandaian dengan Wirapati. Tujuannya memasuki rumah panjang semata-mata hendak merampas kedua pusaka sakti. Maka dengan dahsyat ia mencoba mengundurkan Wirapati. Maksud itu sudah barang tentu tak mudah dilakukan. Penjagaan Wirapati rapat dan tidak memberinya bidang gerak. Ia mengeluh dalam hati. Kemudian meloncat tinggi dan berjumpalitan di udara. Ketika kedua kakinya telah meraba tanah, sekali melesat ia menghampiri Wayan Suage sambil melepas senjata rahasianya. Ternyata senjata rahasianya berbentuk butiran-butiran lada dan disembunyikan di dalam tongkatnya yang dibuatnya sebagai jepretan.
Wayan Suage menyadari datangnya bahaya. Untung, bidikan si pemuda dilakukan dengan gugup karena dirintangi Wirapati. Meskipun demikian, senjata rahasianya mengenai juga mata kaki Wayan Suage yang seketika itu juga menjerit roboh.
Wirapati terkejut. Cepat ia melesat dan menyambar punggung si pemuda. Si pemuda terpaksa mengelak, sehingga gagal merampas kedua pusaka. Ia bermurung dan memaki-maki dalam hati. Dalam kemurungannya itu mendadak ia teringat akan kecantikan Sapartinah. Tanpa kesulitan lagi, ia menerkam lengan Sapartinah. Kemudian ibu dan anak diangkat tinggi. Dalam hatinya ia akan mempergunakan mereka sebagai perisai, jika Wirapati tiba-tiba menyerang.
Tetapi kala itu, Wirapati memikirkan akibat bidikan senjata rahasia si pemuda yang mengenai mata kaki Wayan Suage. Buru-buru ia melolos belatinya dan memangkas kaki Wayan Suage sekali pagas. Itulah satu-satunya jalan buat menahan menjalarnya racun berbahaya. Kemudian ia menotok urat nadi sambil berdiri di depannya siap melindungi serangan-serangan si pemuda yang mungkin datang lagi.
Mendadak ruang tengah telah terbakar habis. Rombongan penari benar-benar telah menyerbu. Kedua kepala kampung yang bernasib malang kena ditumpas mati. Tubuh mereka terjengkang di dekat ambang pintu dan sebentar saja telah digerumit nyala api.
Melihat bahaya, si pemuda tak mempedulikan kedua pusaka sakti yang masih tergenggam erat-erat dalam tangan Wayan Suage. Pikirnya, yang penting aku harus menyingkir. Kedua pusaka itu perlahan-lahan akan dapat kujejak di kemudian hari.
Tubuh Sapartinah dan Sanjaya diringkusnya erat-erat kemudian ia meloncat menubruk dinding. Dinding rumah terbuat dari papan. Di ujung sana telah terbakar hangus. Itulah sebabnya sisa dinding tidak sekokoh semula. Maka dengan mudah si pemuda dapat menggempur roboh dan melesat melintasi lautan api.
Wirapati tak dapat berpikir lama-lama. Ia harus segera mengambil keputusan. Dilihat-nya tubuh Rukmini dan anaknya menggeletak di atas tanah. Gntuk menolong mereka sekaligus tidaklah mungkin, sedangkan rombongan penari mulai menghujani senjata. Pedang, tombak dan belatinya dilontarkan membabi buta.
Wirapati tak menjadi gugup. Ia mengendapkan kepalanya sambil menyabetkan belatinya. Dengan kecekatan yang telah dilatihnya semenjak berguru di Gunung Damar, ia dapat menangkis hujan senjata itu dengan sekali sabet. Kemudian ia mencengkeram ikat pinggang Wayan Suage sambil berpikir, mereka datang untuk merebut pusaka sakti. Aku tak dapat membiarkan mereka mencapai maksudnya. Baiklah kuselamatkan dulu orang ini. Mereka boleh mengejarku, masa aku tak mampu.
Ia melesat ke dinding. Seperti laku si pemuda, ia menggempur dinding dan melintasi lautan api. Ia mendengar rombongan penari itu berteriak-teriak tinggi. Tapi tak usahlah dia khawatir, karena lautan api menjadi batas pagar yang cukup sentosa.
“Kejar dia!” terdengar suara si tinggi jangkung yang telah dikenalnya. “Pusaka ada padanya. Perempuan dan anak itu, biar aku yang mengurusi.”
Mendengar seruan si tinggi jangkung, hati Wirapati bersyukur. Rukmini dan anaknya pasti dapat diselamatkan. Sekarang ia memusatkan perhatiannya ke tujuan melarikan diri. Ke mana dia akan lari? Dalam gelap, ia kehilangan kiblat arah. Lagi pula jalan Desa Karangtinalang sama sekali belum dikenalnya.
Tanpa berpikir ia lari terus dan lari terus. Ia mendengar desa menjadi ribut oleh kentungan tanda bahaya. Kentungan tanda bahaya itu segera disahut dari desa ke desa.
Celaka! pikirnya dalam hati. Kalau aku lewat jalan besar aku kena cegat penduduk desa. Baiklah aku menyeberang sawah, moga-moga hilanglah jejakku. O hujan, turunlah kau!
Kalau tadi ia merasa dirintangi turunnya hujan kini ia berdoa sebaliknya. Larinya dipercepat dan dipercepat. Ia tak mengenal lelah sampai akhirnya tak terdengar lagi kentung tanda bahaya. Dengan hati lega ia memperlambat larinya. Ia mencium daun-daun hutan, muncullah harapan untuk membebaskan diri. Sekarang ia menaruh Wayan Suage di atas tanah. Ia memeriksa lukanya. Ternyata Wayan Suage jatuh pingsan, karena darahnya bercecer sepanjang jalan.
Ih! jejakku mungkin akan hilang dihisap air tanah tapi darah inipikir Wirapati
Karena merasa tidak aman. Wirapati segera merobek lengan baju Wayan Suage dan dibalutkan pada kakinya yang buntung. Kemudian ia memapahnya dan dibawanya berlari lagi. Sewaktu fajar menyingsing sampailah dia di tepi sebuah kali. Diseberanginya kali itu dan ia beristirahat di dalam gerumbul pohon tembelekan yang rimbun.
Ia memeriksa keadaan Wayan Suage. Hatinya bersyukur karena Wayan Suage ternyata masih hidup. Racun senjata rahasia si pemuda bisa dipunahkan, berkat ia memotong ujung kakinya sebatas setengah betis. Segera ia membebat luka.
Tak lama kemudian, terdengar rintih Wayan Suage. Wirapati gembira. Ia memijat kedua pundak Wayan Suage.
“Bagaimana keadaanmu?”
Antara sadar tak sadar, Wayan Suage membuka matanya. Ia mencoba bangun, tetapi tenaganya habis. Agaknya dia hampir kehabisan darahnya.
“Tak usah kaubangun!” kata Wirapati lagi. “Sekarang kamu telah terhindar dari bahaya.
Aku tak dapat menemanimu lebih lama lagi. ljinkanlah aku pergi.”
“Pergi?” gumam Wayan Suage. “Mengapa tak kaurampas kedua pusaka ini?”
“Sungguh pun kedua pusaka itu mempunyai riwayat khayal yang menarik hati, tetapi apa hakku merebutnya. Pusaka itu bukan milikku atau hak warisku.”
“Bagaimana keadaanmu?”
Wayan Suage terbelalak heran. Ia tak percaya mendengar ujar Wirapati. Ia menduga, Wirapati sedang mengatur tipu muslihat.
“Kau ... kau ... apa lagi yang mau kaulakukan?” Tuduh Wayan Suage. Ia mencoba berdiri, tiba-tiba kakinya terasa sangat sakit. Tatkala melihat kakinya yang sebelah menjadi buntung, ia memekik kaget dan menjatuhkan diri ke tanah. “Kausiksa aku? Mengapa kau ... kau ...” Pekik Wayan Suage marah.
“Aku dan kamu baru semalam berkenalan. Lagi pula antara aku dan kamu tidak ada permusuhan. Mengapa kau menuduh aku menyiksamu? Kakimu itu memang akulah yang memagas buntung, tapi demi keselamatanmu semata. Semalam kaukena senjata beracun.”
Lamat-lamat Wayan Suage teringat peristiwa semalam. Mata kakinya seperti kena tusukan halus dan tiba-tiba menjadi kaku. Tahulah dia, mata kakinya kena senjata rahasia. Siapa pembidiknya, ia tak tahu. Maka ia menuduh Wirapati.
“Jiwaku berada dalam genggamanmu. Nah. bunuhlah aku! Jangan kau menyiksaku begini caranya. Aku tak mau kauhina!” katanya garang.
Wirapati menarik napas dalam. Ia tahu, pikiran Wayan Suage belum jernih. Maka ucapannya yang pedas tajam itu, tak dihiraukan. Malahan ia mencoba tersenyum. Kemudian ia bergerak hendak melangkah pergi.
Wayan Suage mendadak memeluk kakinya sambil mengerang. Mendengar erang itu. Wirapati tak sampai hati meninggalkan seorang diri.
Dia luka parah. Seorang diri pula di tengah alam yang serba asing. Apa jadinya kalau kutinggalkan begitu saja. Ah, biarlah kurampungkan sekalian soal ini. Menolong seseorang dengan separuh hati apa guna, pikir Wirapati.
“Kawan, siapa namamu?” tanyanya lunak.
“Apa perlu kau menanyakan namaku. Aku bernama setan, iblis atau jin, apa pedulimu?” sahut Wayan Suage galak.
Wirapati tersenyum pahit mendengar ucapan Wayan Suage.
“Aku hanya ingin tahu namamu, apa itu anat? Kau terluka parah. Seandainya kau tak mendapat pertolongan cepat, nyawamu akan melayang karena kehabisan darah. Dan alau aku tahu namamu, aku akan dapat “membawa pusaka itu kepada keluargamu.”
Wayan Suage mengerang dalam sambil memeluk kedua pusaka yang digenggamnya semenjak semalam. Wirapati jadi trenyuh. Ia seriba.
“Apa untungnya mempunyai pusaka itu. Serahkan saja kepada orang-orang Banyumas ang berhak memiliki. Kudengar tadi mereka —erawat salah seorang keluargamu. Kalau kamu bisa berdamai dengan mereka, kau can dapat berkumpul kembali dengan ke-keluargamu,” katanya lembut.
Mendengar disebutnya nasib keluarganya, sixoh Wayan Suage menggigil. Teringatlah ia pada masa sebelum peristiwa itu terjadi. Dia hidup tentram damai. Jauh dari segala asalah keriuhan kota-kota besar. Siapa sangka, mendadak datanglah badai topan yang menghancurkan segalanya yang telah pupuknya semenjak enam tujuh tahun yang ampau. Ini gara-gara datangnya kedua pusaka Pangeran Semono, hadiah tamu asing pada rari pesta penobatan.
“Diserahkan? Diserahkan?” ia berteriak seperti meradang. “Kepada siapa?”
“Orang-orang Banyumas. Bukankah kedua pusaka itu hak milik mereka?”
“Tidak! Tidak! Kedua pusaka ini bukan miliknya!” teriaknya lagi. Tubuhnya menggigil, kemudian menangis terisak-isak. Terdengar dia berkata di antara sedu-sedannya, “Pusaka ini, kami yang punya! Kami telah membayarnya dengan sangat mahal. Bagaimana mungkin terlepas dari tangan begitu gampang. Lihat, adikku Made Tantre mati karena pusaka ini. Keluarganya hancur pula. Sekarang di mana isteri dan anaknya? Kau apakan mereka?”
Rombongan penari yang mengepung rumah mulai berteriak dan merangsak maju. Terasa kini udara jadi panas. Wirapati menoleh.
Ah! la mengeluh dalam hati. Rupanya tali yang melingkar rumah bukan tali beracun, melainkan tali berminyak tanah. Mereka bermaksud membakar rumah.
Bersambung....
No comments:
Post a Comment