Rumah Siapakah yang Berbentuk Panjang itu?
RUMAH itu sendiri berdiri di pinggir Desa Karangtinalang. Dindingnya terbuat dari papan. Pekarangannya luas dan berada di dekat sungai. Seumpama tidak berkesan mentereng, letaknya mirip sebuah padepokan (pertapaan) seorang pendeta yang mulai mengasingkan diri dari pergaulan ramai.
Penghuni rumah terdiri dari dua keluarga berasal dari pulau Bali. Keluarga pertama bernama, Wayan Suage. Keluarga kedua, Made Tantre. Mereka berasal dari kerajaan Klung-kung yang merantau ke Pulau Jawa, karena tak senang menyaksikan perang saudara antara sesama kerajaan (Kerajaan Bali terpecah menjadi sembilan kerajaan. Terdiri dari : Klungkung, Karangasem, Buleleng, Tabanan, Gianjar, Jernbrana, Bangli, Menguwi, dan Badung). Di Pulau Jawa mereka kawin. Isteri Wayan Suage bernama Sapartinah, dan isteri Made Tantre bernama Rukmini. Isteri mereka kebetulan berasal dari satu kampung pula. Maka persahabatan antara Wayan Suage dan Made Tantre bertambah erat bagaikan saudara sekandung.
Setelah beberapa tahun menikah, secara kebetulan pula mereka mempunyai anak laki-laki. Hari kelahirannya terpaut beberapa bulan saja. Anak Wayan Suage lahir pada bulan Maulud dan anak Made Tantre bulan Sura. Anak Suage bernama Sanjaya dan anak Made Tantre bernama Sangaji. Keduanya kini sudah berumur enam tahun. Mereka merupakan teman sepermainan yang tak pernah terpisah. Maklumlah, kedua orangtuanya bertempat tinggal dalam satu rumah pula.
Penghidupan Wayan Suage dan Made Tantre dari bercocok tanam. Mereka memilih hidup tentram, menjauhi segala urusan negara. Pada setiap sore sehabis bekerja di ladang, mereka duduk di ruang tengah. Kemudian membicara-kan tentang adat-istiadat tanah airnya dahulu dan sekarang. Kadangkala menyinggung pula tentang nasib kerajaan Bali yang terpecah belah. Mereka keturunan prajurit Bali yang dekat pada raja. Karena itu pula, seringkali membicarakan juga tentang jenis kekebalan dan kesaktian.
Sore hari itu, mereka pulang sebelum waktu Ashar. Hujan turun sangat lebat. Angin meniup keras pula. ltulah sebabnya mereka tak betah di ladang.
"Rupanya pada hari penobatan Sultan Yogyakarta ini, tak boleh kita bekerja terlalu lama," ujar Wayan Suage sambil tertawa.
”Itulah kesalahan kita, tak tahu menghormati hari besar. Mari kita menyembelih ayam dan bikin kopi hangat!" sahut Made Tantre.
Sudah barang tentu ajakan itu amat menyenangkan hati. Mereka berdua kemudian menangkap empat ekor ayam dan segera diberikan kepada isterinya masing-masing.
"Ah, dapur kita harus satu saja. Apa perlu mesti memasak masing-masing?" kata Sapartinah.
"Usul bagus!" seru Wayan Suage. "Dinda Rukmini tak usah ribut-ribut lagi."
"Mengapa memanggilku Rukmini? Bukan-kah aku nyonya Tantre!"
"Oho... Itu pun bagus. Tapi maksudku, pada hari pesta penobatan ini hendaklah dinda Rukmini tegak berdiri sebagai orang Jawa. Begitu juga dinda Sapartinah. Sedangkan kami berdua ini hanyalah dua orang perantau yang mendapat anugerah dewa memetik dua tangkai bunga melati dari Pulau Jawa. Pendek kata pada hari pesta penobatan ini, yang memegang peranan adalah dinda Rukmini dan dinda Sapartinah. Dan kami berdua hanya hamba-hambamu. Bukankah begitu Made Tantre?"
Made Tantre mengangguk sambil tersenyum lebar. Ia menyetujui ujar Wayan Suage.
"Kami sudah menyerahkan empat ekor ayam. Akan dimasak apa terserah. Kami akan berusaha memakannya habis sampai ke tulang-tulangnya. Perkara Sangaji dan Sanjaya, kami berdua yang akan mengasuh."
Dengan memberi isyarat kepada Wayan Suage, ia mencari Sanjaya. Ternyata Sanjaya lagi main petak-petakan dengan Sangaji. Kemudian dipapahnya dan dibawa duduk di ruang tengah.
"Kamu berdua kelak harus menjadi sahabat seperti ayah-ayahmu," ujar Made Tantre.
"Ya, tentu. Harus pula sepenanggung-sependerita. Seia-sekata, bahu-membahu ... Pendek kata suka duka harus bersama," sahut Wayan Suage.
Mereka berdua nampak bergembira. Masing-masing memangku anaknya laki-laki dan saling dihadapkan. Si anak sudah barang tentu belum mengerti benar makna kata-kata orang-tuanya, tetapi oleh kesan keriuhan itu mereka tertawa lebar. Mereka didorongkan ke depan dan disuruh berpeluk-pelukan. Tanpa membantah mereka segera berpelukan.
"Lihat!" kata Wajan Suage. "Alangkah mudah menjalinkan rasa bersatu dalam hati kanak-kanak. Bila menyaksikan kejadian ini, ra-sanya sedih ingat kelakuan orang-orang tua yang katanya sudah merasa diri menjadi makhluk penuh kesadaran. Mereka malahan saling bertengkar dan berebut sesuatu seakan-akan dunia miliknya seorang."
Mereka kemudian mengalihkan pembicaraan ke masalah tata hidup, keadaan negara Bali dan perangai orang-orang ningrat.
"Disinipun terjadi pula sejarah seperti di Bali," sahut Made Tantre. "Coba kalau kita mendengarkan sejarah perang Giyanti, perang Mangkunegoro dan Perang Kompeni. Ah, bukankah banyak terjadi pengkhianatan yang menjijikkan hati belaka? Apa yang mereka perebutkan, selain kedudukan, harta-benda dan perempuan?"
Wayan Suage menarik napas panjang. Ia melemparkan pandang ke luar pintu. Hujan di luar bertambah lebat. Udara gelap oleh awan hitam, sehingga sore hari bagai waktu rembang petang. Tiba-tiba ia mengerutkan dahi. Ia melihat seseorang berjalan di tengah hujan.
Orang itu mengenakan pakaian pendeta dan berjalan amat cepatnya.
"Tantre, lihat! Apa akan kita biarkan dia berjalan di tengah hujan?"
Made Tantre berdiri. Diletakkan anaknya di atas meja, kemudian berjalan menghampiri pintu. Diam-diam ia heran menyaksikan ketangkasan orang itu.
"Dia bukan sembarang orang. Langkahnya tegap dan kuat. Kecekatannya melebihi orang biasa. Baiklah kita panggil dia untuk singgah. Berkenalan dengan orang seperti dia, tidak ada ruginya."
"Tuan! Hari masih panjang. Mengapa tergesa-gesa di tengah hujan badai?" seru Wayan Suage.
Orang itu menghentikan langkahnya. Ia menoleh sambil mengerutkan dahi. Kemudian dengan langkah lebar ia memasuki halaman rumah.
"Kami sedang merayakan pesta penobatan. Kami akan senang jika Tuan sudi mencicipi masakan kami," kata Wayan Suage lagi.
Tanpa menjawab sepatah katapun juga, ia memasuki serambi. Dikebutkan sebuah ta-ngannya, sedang yang lain menurunkan sebuah kantong berwarna coklat gelap. Matanya disiratkan kepada Wayan Suage dan Made Tantre seperti mencurigai, kemudian berpaling ke jalan.
Melihat sikap tamunya yang mencurigai dirinya, Made Tantre merasa tak senang. Ia kini memandangnya seperti lagi menyiasati. Kemudian menghela napas panjang.
"Apakah Tuan tak mau masuk?" tegurnya.
Tamu itu berpaling kepadanya, kemudian melangkah ke ambang pintu. Made Tantre menyambut hendak bersalaman. Dalam hati ia sengaja akan mencoba kekuatan orang itu. Tetapi ia kecele. Ternyata tangan orang itu kuat seperti besi. Dia kena digenggam dan rasa nyeri menusuk sampai ke ketiak.
Melihat Made Tatre kesakitan, Wayan Suage tak berani berlaku sembrono. Segera ia meng-alihkan perhatian.
"Mari Tuan masuk! Beginilah rumah orang kampung."
Si tamu melepaskan genggamannya dan memasuki ruang tengah tanpa mempedulikan Made Tantre. Ia mengedarkan pandangannya. Mendeham dua kali, kemudian menarik kursi dan duduk terhenyak.
"Logat kata-katamu seperti bukan orang Jawa. Benarkah itu?" katanya. Suaranya berat dan mengesankan.
"Benar. Kami berdua berasal dari Pulau Bali," jawab Wayan Suage.
"Siapa anak-anak itu?" dia seperti tak mendengarkan jawaban Wayan Suage.
"Mereka anak-anak kami."
Tamu itu menaikkan alisnya. Ia melemparkan pandang kepada Wayan Suage dan Made Tantre.
"Dimanakah ibunya?" tegurnya.
Wayan Suage segera memanggil Sapartinah dan Rukmini. Kedua orang itu muncul dari pintu dapur. Tangan dan mukanya penuh arang.
"Apakah kalian benar-benar sudah lapar?" kata mereka berbareng.
Tiba-tiba mereka melihat tamu itu. Mereka saling memandang. Mukanya merah tersipu. Cepat-cepat mereka hendak mengundurkan diri ke dapur, tiba-tiba Wayan Suage berkata,
"Perkenalkan, ini tamu kita. Bagaimana kalau nanti kita makan bersama? Nah, dia tamu undangan kami."
Tamu yang bersikap kaku itu, mendadak saja berubah menjadi ramah. "Maaf, maaf! Aku mengganggu. Namaku Hajar Karangpandan." Setelah berkata demikian, ia menghampiri Sangaji dan Sanjaya. Dengan jari-jarinya yang kaku, ia meraba pipi mereka.
"Hm ... mataku yang sudah tua bisa salah lihat. Maafkan! Kukira kalian sedang memasang jebakan."
"Jebakan?" sahut Made Tantre. Hatinya masih mendongkol, karena rasa nyerinya belum juga hilang. "Tuan kira, kami ini siapa?"
"Duduklah, nanti kuterangkan."
Hajar Karangpandan kemudian membuka goni yang ditaruh di atas meja. Disontakkan goni itu dan terdengarlah suara gemerincing hening.
"Hai! Apa itu?" seru Wayan Suage dan Made Tantre berbareng.
"Ini sebuah bende dari perunggu campur besi berani. Namanya Bende Mataram. Sedangkan keris ini bernama Kyai Tunggulmanik. Konon kabarnya, benda ini milik Pangeran Semono di jaman dulu."
Tiba-tiba Hajar Karangpandan menjadi gusar dan menggempur meja. Wayan Suage dan Made Tantre sudah barang tentu tercengang-cengang melihat perangainya. Belum lagi mereka habis menimbang-nimbang perangainya, tiba-tiba dia berkata lagi. "Karena benda ini, banyaklah terjadi pembunuhan dan pengkhianatan. Aku datang dari Banyumas. Di tengah jalan aku bertemu dengan rombongan manusia-manusia rendah. Kuhajar mereka kalang kabut."
"Mengapa?"
"Mengapa?" ulangnya. "Karena mereka membawa benda ini. Kautahu, kedua benda ini mula-mula tersimpan baik-baik di museum Belanda di Jakarta. Orang-orang yang gila kekayaan dan martabat, sudah hampir melupakan adanya benda itu. Tapi apa yang terjadi? Keturunan Sultan Cirebon datang ke Jakarta untuk minta dihadiahkan kedua benda ini kepadanya. Nah semenjak itu, terjadilah keributan-keributan lagi. Kedua benda ini dengan cepat berpindah tangan. Mereka saling membunuh, memfitnah dan meracun. Mereka bersedia berhamba pada Belanda, asalkan saja dapat memiliki. Cuh, aku tak bisa memberi tempat hidup bagi manusia-manusia serendah itu?"
Tertarik kepada keterangan Hajar Karangpandan, kedua orang itu lantas saja duduk mendekat.
"Apa untungnya memiliki benda ini?" kata Wayan Suage.
"Tanyalah pada setan dan iblis! Kata mereka, barang siapa yang memiliki kedua benda ini akan dapat memerintah seluruh Nusantara. Dia akan sakti, kebal dan berpengaruh. Setiap katanya akan didengar oleh sekalian raja-raja di kepulauan Nusantara ini. Hah—bukankah itu omong kosong belaka?"
Wayan Suage dan Made Tantre bertambah tertarik hatinya. Dengan cermat mereka mengamat-ngamati kedua benda itu. Yang disebut Bende Mataram, adalah sebuah canang terbuat dari perunggu agak ke-hitam-hitaman. Benda itu berkesan kuno. Sedangkan keris Tunggulmanik tak beda dengan keris-keris yang lazim dikenakan orang-orang Jawa. Bentuknya panjang lurus.
"Nah apa yang istimewa dari kedua benda ini," kata Hajar Karangpandan. "Meskipun demikian orang-orang yang gila nama saling berebut dengan sungguh-sungguh."
"Tetapi bagaimanakah pendapat Tuan?" potong Made Tantre.
Hajar Karangpandan menarik napas dalam. Selagi ia hendak berkata, tiba-tiba Sapartinah muncul dari ambang pintu dapur membawa niru penuh masakan. Asap kuahnya meluap ke udara dan menyebarkan bau harum segar.
"Ah! Masakan apa itu?" Hajar Karangpandan mengalihkan pembicaraan. Dikibas-kibaskan pakaiannya yang basah kuyup kemudian memperbaiki duduknya.
Wayan Suage dan Made Tantre cepat-cepat mengurungkan niatnya hendak mendengarkan pendapat tamunya. Mereka berdiri se-rentak dan menyambut niru. Diletakkanlah di atas meja dengan penuh nafsu. Sangaji dan Sanjaya datang merubung.
"Sabar, sabar! Tunggu nasinya dulu. Baru kita makan bersama," dengus Wayan Suage.
Sebentar kemudian Rukmini datang meng-hantarkan sebakul nasi. Dan tanpa dipersi-lakan lagi, masing-masing telah melebarkan mulut menggerumuti masakan hangat. CJdara di kala itu, dingin basah. Hujan belum juga berhenti. Karena itu, masakan sehangat itu benar-benar nikmat.
Sangaji dan Sanjaya ikut makan pula. Mereka berdua tidak takut lagi kepada tamunya yang galak. Mereka bahkan berani mendekati dan Hajar Karangpandan bersikap ramah menyenangkan. Dengan jari-jarinya yang kuat ia membelah ingkung ayam (ayam panggang), kemudian dibaginya amat cekatan. Ia kelihatan gembira dan tak segan-segan pula. Menyaksikan perubahan sikapnya Wayan Suage dan Made Tantre diam-diam bersyukur dalam hati.
"Tentang kedua benda ini, menurut pendapatku tak lebih dari benda-benda kuno lainnya," ujar Hajar Karangpandan tak terduga.
"Sayang, aku bukan keturunan priyayi atau begundal negeri. Seumpamanya aku keturunan seorang priyayi atau salah seorang begundal negeri-pun, agaknya usiaku tak mengijinkan memimpikan kekuasaan yang bukan-bukan. Kautahu, aku seorang pendeta. Eh, apa tampangku sama sekali tak mirip dengan seorang pendeta? Baiklah, setidaknya ada cita-citaku untuk jadi seorang pendeta."
Ia berhenti mendongakkan kepalanya. Dahinya mengerinyit seolah-olah sedang teringat pada sesuatu yang mengerikan. Tak lama kemudian ia tertawa perlahan.
"Masakan ini sedap dan enak. Meskipun tak punya uang, aku akan berusaha membayar."
"Tidak, tidak," Wayan Suage dan Made Tantre berkata berbareng. "Tuan kami undang berpesta."
Hajar Karangpandan tertawa. "Sepuluh tahun yang lalu, tak mau aku membayar makanan yang disuguhkan padaku! Kalau aku mengemplang botak penyuguhnya, sudah untung." Ia berhenti mengesankan. Meneruskan, "aku seorang jahanam. Sudah terlalu banyak menyusahkan orang-orang yang mencoba berlaku baik kepadaku. Sebab aku terlalu curiga kepada siapa saja. Aku terlalu benci melihat kelemahan orang."
Bersambung.....
No comments:
Post a Comment