Saturday, October 26, 2013

BENDE MATARAM "Pengejaran" Jilid 4g

bende mataram
Dua hari mereka berjalan. Pada suatu sore mereka berada di atas jalan besar. Tujuan mereka mengarah ke selatan. Selama itu si pemuda selalu mengaku suami Sapartinah bila sedang menginap di rumah orang.

Diam-diam hati Sapartinah mulai tenteram. Meskipun demikian ia selalu berwaspada. Senjata si pemuda yang berupa tongkat selalu diawasi. Tekadnya, bila si pemuda kurang ajar terhadapnya, ia akan merebut senjata itu, ia akan menyerangnya atau bunuh diri. Tetapi si pemuda bersikap sopan-santun.

Tata-susilanya tak tercela. Inilah suatu kelicinan yang lembut. Sapartinah tak pandai meraba lebih dalam.

Pemandangan seberang menyeberang sangat indah. Tetanaman ladang hijau meriah. Melihat tetanaman itu Sapartinah teringat suaminya. Ia lantas berduka.

Mendadak di kejauhan tampaklah debu mengepul tebal di udara. Sepasukan kuda mendatangi sangat cepat. Pemimpinnya yang berada di depan berteriak-teriak nyaring.


Sapartinah ketakutan. Tubuhnya lantas saja menggigil. Kesan malapetaka yang menimpa ketenteraman rumah tangganya mengamuk dalam dirinya. Tanpa sadar, ia lantas menjajari kuda si pemuda.

Si pemuda nampak tenang-tenang. Wajahnya tidak berubah. Pandangnya tajam ke depan. Dahinya yang lebar menggerenyit sedikit. Ia seperti berpikir, tetapi mulutnya tidak mengucapkan sepatah katapun.

Pasukan kuda dengan cepat telah berada di depan mereka. Serentak kuda-kuda lari berpencaran dan mengepung. Sapartinah takut bukan main. Ia menoleh kepada si pemuda mencari kesan. Tetapi si pemuda tetap tenang. Ia bahkan menjejak perut kudanya dan berlari maju.

“Siapa pemimpinmu!” serunya nyaring.

Sapartinah heran melihat keberaniannya. Diam-diam perhatiannya terhadap si pemuda bertambah baik.

Pada waktu itu perjalanan mereka mencapai batas kerajaan Yogyakarta. Pasukan berkuda itu adalah pasukan pengiring raja dari Yogyakarta. Begitulah tatkala mereka mendengar seruan si pemuda sekonyong-konyong terjadilah suatu perubahan. Kuda-kuda berlari berputaran. Salah seorang yang berkuda di antara mereka lantas menghampiri.

“Siapa yang berani kurang ajar ini? Apa kau termasuk kawanan perusuh?” bentaknya.

“Kawanan perusuh macam apa?” si pemuda heran. “Kamu dari pasukan mana?”

“Kami dari pasukan raja, sedang mengejar beberapa kawanan perusuh penentang raja .”

“Hm.” Si pemuda memotong. Sambil menegakkan tubuh, “Sekarang tebak, siapa aku?”

“Jangan kau berteka-teki. Siapa sudi mendengarkan omonganmu.”

“Keparat! Kamu mengaku pasukan pengawal dari raja. Kelompok mana? Kelompok Pangeran Natakusuma atau Ratu Kencono Wulan. Bilang!”

“Bangsat!” maki orang itu. Pandangnya mencurigai si pemuda. “Pasti kamu tadi yang memasuki istana kepatihan.”

Si pemuda kini menjadi kaget. Pandangnya berubah, la merogoh sesuatu benda. Sambil memperlihatkan benda itu, “Kau bisa membaca, tidak? ... kau bisa mengenal tanda ini tidak?”

Mendadak setelah melihat benda itu, orang itu lantas saja meloncat dari kudanya. Dia terus bersujud. Tubuhnya agak gemetaran.

“Maaf. Hamba kira siapa. Kiranya Pangeran Bumi Gede.”

Sapartinah yang menyaksikan peristiwa itu dari jauh, terguncang hatinya. Apa artinya ini semua? Selama dalam perjalanan, ia ragu pada si pemuda yang masih asing baginya. Kalau ia ikut serta, semata-mata karena merasa diri tidak berteman dan berkeluarga lagi. Mau ke mana? Ia merasa diri menjadi seorang janda kini. Rasanya tabu mengikuti seorang pemuda.

Tetapi di luar dugaan, sikap pemuda itu lembut dan berkesan keningrat-ningratan.

Mendadak sekarang dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan, bagaimana pemimpin pasukan berkuda itu lantas saja meloncat dari kudanya dan bersujud.

Terdengar kemudian orang itu berseru nyaring, “Semuanya turun! Pangeran Bumi Gede!”

Mereka yang berkuda cepat-cepat meloncat dari atas kudanya. Semuanya lantas mendekat dan berdiri hormat.

“Pangeran Bumi Gede?”—pikir Sapartinah. “Siapakah dia!”—ia mencoba menebak-nebak.

“Gusti. Sebenarnya hambamu patut dihukum,” kata orang itu. “Tapi kami mendapat perintah Gusti Patih Danurejo untuk mengejar seorang perusuh yang menyusup ke Istana Kepatihan.”

“Hm. Siapa jahanam itu?” sahut si pemuda yang ternyata adalah Pangeran Bumi Gede.

“Menurut laporan, orangnya bukan sembarangan. Dengan seorang diri dia merusak istana dan menggempur penjagaan. Ia lenyap dengan tiba-tiba. Kata orang, ia lagi mencari seseorang.”

Mendengar ucapan orang itu, Pangeran Bumi Gede terkesiap. Ia menduga sesuatu.

Jangan-jangan salah seorang dari kawanan rombongan penari telah mengenal dirinya. Kemudian salah seorang memasuki kota hendak membalas dendam.

“Kami menduga barangkali kaki-tangan raja ,” kata orang itu menambahi. “Karena itu atas ijin Gusti Patih kami menggunakan pasukan berkuda kepatihan atas nama raja.”

Mendadak terdengarlah derap kuda berputaran. Orang itu menoleh. Ia terkesiap . Dilihatnya salah seorang meloncati kuda dan hendak melarikan diri.

“Celaka! Itu si Wongsokaryo.”

“Siapa dia?”

“Sudah lama hamba curiga. Dia mata-mata Pangeran Natakusuma, mungkin pula kaki-tangan Ratu Kencono Wulan. Ah, pengkhianat! Setelah mendengar pembicaraan kita ini, dia akan mengadu kepada majikannya. Bukan mustahil kepada Sri Sultan juga. Celaka!” orang itu berbicara gopoh setengah mengeluh. Kemudian dengan tergagap-gagap memberi perintah kepada pasukannya. “Kejar! Tangkap!”

Mendengar perintahnya, seluruh pasukan berkuda jadi sibuk. Karena yang dikejar sudah berada sepuluh langkah jauhnya, mereka jadi kelabakan. Lakunya tergopoh-gopoh dan melompati kudanya asal jadi. Gntung tadi, kuda si pelari bukan kuda jempolan. Kalau tidak, mana mungkin mereka mengejarnya.

“Ih, pasukanmu belum teratur. Bagaimana kalian berani memusuhi raja!” Kata Pangeran Bumi Gede dengan tenang. Orang itu tak berani membuka mulut.

“Biarlah kutolong!” kata Pangeran Bumi Gede, karena dia merasa berkepentingan pula. Ia menjejak kudanya sambil memeluk Sanjaya erat-erat. “Sanjaya! Lihat, bagaimana aku menghajar seorang jahanam.”

Kudanya meloncat, karena terkejut dua puluh langkah dia berderap. Tongkat rahasianya dicabut. Tahu-tahu dengan suatu gerakan aneh ia menjepret. Orang yang melarikan diri jatuh terjungkal dari atas kudanya.

Seluruh pasukan berkuda terkejut sampai mulutnya melongo. Mereka lantas berhenti serentak.

“Mengapa berhenti? Kepung! Kepung!” teriak si pemimpin pasukan dengan membanting-bantingkan kakinya.

Sapartinah kagum menyaksikan kegesitan Pangeran Bumi Gede. Diam-diam ia memuji dalam hati, hebat, gagah pemuda ini. Dan tanpa disadari sendiri, ia menarik kendali kudanya dan maju menyongsong. Ia sadar waktu sudah berada di depan Pangeran Bumi Gede. Cepat-cepat ia membelokkan perhatiannya kepada Sanjaya.

“Semestinya kamu ikut Ibu!” Kata Sapartinah pura-pura menyesali.

Pangeran Bumi Gede tersenyum. Sahutnya mewakili si anak, “Dia seorang laki-laki. Sudah sepantasnya dia mengikuti jejak seorang laki-laki. Begitu kan, Nak?”

Sanjaya tak dapat menyatakan perasaan hatinya. Tetapi matanya berkilat-kilat menerjemahkan isi lubuk hatinya.

Sapartinah berbesar hati menyaksikan anaknya mempunyai benih keberanian. Tapi justru teringat hal itu, ingatannya melayang kepada ayah si bocah. Wajahnya lantas saja berubah.

Pada saat itu, pasukan berkuda sibuk merubung orang yang jatuh terjungkal. Mereka kaget berbareng kagum. Orang itu ternyata telah mati terjengkang. Di antara mereka lantas mendatangi pemimpinnya dan melaporkan keadaan si pelari.

“Bagus! Bawa dia masuk ke kota! Laporkan kepada Gusti Patih, dia ditewaskan si perusuh yang memasuki istana.”

Yang diberi perintah membungkuk hormat dan memutar kudanya.

Bulu kuduk Sapartinah mendadak menggeridik sendiri. Tak dapat ia menelaah peristiwa pada sore hari itu. Tetapi hatinya merasa seperti melihat suatu permainan kotor dan licik. Permainan apa itu, ia tak mengerti. Karena itu ia diam.

Orang yang memimpin pasukan berkuda itu bersikap tambah hormat kepada Pangeran Bumi Gede.

“Gusti. Hamba ingin membicarakan keadaan negeri.”

Pangeran Bumi Gede tersenyum. Ia memberi isyarat dengan mengerlingkan mata kepada Sapartinah.

“Tak ada waktu aku mendengarkan segala tetek-bengek. Aku ingin cepat pulang ke Bumi Gede. Apa malam ini aku bisa menginap di suatu kelurahan?”

Orang itu mengerti maksud Pangeran Bumi Gede.

“Tentu, tentu! Mengapa tidak? Kami akan ...”

“Nah! Pergilah kalian menangkap jahanam itu. Dia sudah lama membuat susahku. Sekiranya memungkinkan tangkaplah hidup-hidup. Kalau melawan kalian tahu cara menyelesaikannya. Aku senang, jahanam itu kau bayarkan kepadaku untuk jasaku tadi.”

Sehabis berkata begitu, ia memutar kudanya dan mengajak Sapartinah meninggalkan pasukan berkuda. Kini perjalanan mereka mengarah ke timur.

Bersambung.....

No comments:

Post a Comment