Sepuluh kali gempuran telah berlangsung dengan cepat. Baik Wirapati dan mereka, tak mau mengalah. Mendadak terdengarlah suara suitan nyaring dua kali dari kejauhan. Mereka lantas mengundurkan diri dengan berbareng. Wirapati heran. Pandangnya menebak-nebak. Tak usah dia menunggu lama atau nampaklah batang-batang pohon telah terbakar hangus. Semak belukar dan ranting-ranting liar sebentar saja terbakar pula. Asap hitam bergulungan menutupi penglihatan.
Alangkah terkejut Wirapati. Tiba-tiba, api bisa membakar batang-batang pohon begitu cepat. Ia mengeluh dalam hati, matilah aku sekarang. Apa dosaku?
Teringatlah dia akan sungai yang letaknya tak jauh dari gerumbulan tempat persembunyiannya. Dengan cepat ia lari ke sana. Sekonyong-konyong di antara bunyi gemeretak pepohonan yang sedang terbakar, terdengar suit panjang bersahut-sahutan. Wirapati menghentikan langkahnya. Ia menajamkan pendengaran.
“Tunggu sampai mereka mati hangus. Pemuda itu tak gampang dirobohkan,” sahut suara dari sebelah utara.
Hati Wirapati tergetar. Ia bimbang. Dijenguknya arus sungai yang keruh berlumpur. Ingin ia cepat-cepat terjun ke dalamnya, tapi teringatlah kemudian nasib Wayan Suage.
“Hai bangsat muda! Cepat menyerah! Kau akan segera kami tolong!” ancam suara dari arah selatan. “Apa perlu buang nyawa dengan sia-sia?”
Wirapati mulai mempertimbangkan ancaman itu. “Aku tak bermusuhan dengan mereka. Maksud mereka semata-mata hanya mau merebut pusaka itu. Apa perlu aku berkepala batu. Apa keuntunganku? Baiklah kuserahkan saja, barangkali mereka mau mengampuni orang itu pula.”
la menoleh ke arah gerombolan. Tetapi pikiran yang lain segera mengendapkan. Bagaimana mungkin aku berbuat begitu. Aku murid ityai Kasan. Kalau aku mendengarkan ancaman mereka, berarti aku tahluk. Apa nama perburuanku tak terseret juga? Ah, tak mungkin aku menurunkan martabat perguruanku.
Mendapat pikiran demikian, hilanglah keragu-raguannya. Ia melesat ke gerumbulan. Niatnya sudah tetap. Ia hendak mendukung Wayan Suage dan akan bersama-sama terjun 'ke dalam sungai. Sekiranya di ujung sana mereka menghadang dia takkan menyerah. Mama perguruan akan diutamakan. Kalau perlu akan meninggalkan Wayan Suage dan menerjang mereka sebisa-bisanya.
Selagi ia mau memasuki gerumbul, tiba-tiba La mendengar suara suitan panjang tiga kali berturut-turut. Kemudian terdengarlah suara teriakan bergema melintasi udara. Pohon-pohon tergetar oleh pantulan suara itu.
Wirapati tertegun. Suara apa itu, ia berteka-teki, mendongak ke udara. Suara teriakan itu berulang lagi. Kali ini lebih dahsyat. Tiba-tiba saja terdengarlah kesibukan di setiap penjuru.
“Hajar! Hajar! Hajar!” terdengar suara orang yang tadi mengancam. Dan lainnya segera menyambung. Suara mereka agak bergetar membayangkan kesan rasa takut.
Wirapati benar-benar tercengang. Tak habis mengerti mengapa mereka jadi ketakutan. Suara yang menggema tadi memang dahsyat Apa suara raksasa? Ah, apa mungkin raksasa hidup di jaman ini. Apa itu suara binatang?
“Hajar datang! Celaka!” terdengar suara menjerit.
Hajar! Apa itu, Wirapati berteka-teki. Pada saat itu nyala api kian menjadi-jadi. Hawa sangat panas dan asap hitam bertambah menyesakkan pernapasan. Sekonyong-konyong ia mendengar teriakan dahsyat lagi. Kali ini sangat dekat. Dia heran membayangkan kecepatan itu. Tadi suara teriakannya berada lebih kurang seribu langkah. Dalam tiga kali teriakan rasanya sudah begini dekat. Bagaimana mungkin, kalau bukan seekor burung garuda yang mempunyai kecepatan terbang tak terkatakan. Kuda yang dapat lari sangat cepat pun takkan mampu menempuh jarak seribu langkah dalam sekejap. Tiba-tiba rasa herannya kian melonjak. Dengan suara gedebukan, terjadilah kesibukan seorang demi seorang terdengar jatuh terpental. Kemudian menyusul ara tertawa berkakakkan. Ah, manusia! usia macam apa?
“Hayo ngaku! Di mana dia?” terdengar bentakan gemuruh.
“Ampun ... ampun ...”
“Bagus! Kalian tak mau jawab.”
Bluk! Terdengar orang menjerit dan tak bersuara lagi. Jelas orang itu mati kena hantaman.
Wirapati tak tahan lagi digulung asap dan nyala api. Ia ingin segera memasuki gerumbulan menolong Wayan Suage. Tetapi sebatang pohon yang terbakar hangus roboh menimpa gerumbulan. Ia melesat ke tebing dan menerjunkan diri ke dalam sungai.
Di seberang sana, suara gedebukan berlangsung sangat cepat. Berkali-kali orang yang
sebut Hajar membentak-bentak.
“Kalau tidak mau buka mulut, aku habisi nyawa kalian!”
“Dia tadi ... dilarikan ...”
“Siapa yang dilarikan? Pusaka atau tuan rumah?”
“Dia bersama-sama ...!”
Bluk! Orang itu menjerit dan mati terjengkang. Wirapati tak sempat lagi mendengarkan kesibukan itu. Perhatiannya kini mengarah kepada gerumbul. Celaka, pikirnya. Gerumbulan terbakar. Apa dia mati terbakar?
Dengan sekuat tenaga, ia mencoba merangkaki tebing. Tetapi panas api tak tertahankan lagi. Terpaksa ia menjauhi dan akhirnya mendaki tebing seberang.
Ia melihat suatu keajaiban di daratan. Orang-orang yang mengepungnya tadi, menggeletak berserakan di atas tanah. Bulu kuduknya menggeridik. Tak terbayangkan macam apa Hajar itu, yang begitu gampang membinasakan orang-orang Banyumas.
***
ORANG yang disebut Hajar itu sesungguhnya Hajar Karangpandan tamu Wayan Suage dan Made Tantre. Setelah dia berpesan kepada tuan rumah agar menyimpan kedua pusaka Pangeran Semono baik-baik untuk anak-anaknya, lantas saja dia pergi dengan suatu kecepatan mengagumkan. Sengaja dia berbuat demikian, agar mengesankan tuan rumah. Pikirnya, kalau aku tak memperlihatkan sedikit kemampuanku, pastilah mereka akan menyia-nyiakan pesanku. Sayang, kalau kedua pusaka keramat itu jatuh ke tangan orang-orang yang haus kekuasaan.
Pada petang hari sampailah dia di Dusun Bandangan. Niatnya hendak mengadakan perjalanan ke timur. Mula-mula akan dijenguknya kota Magelang. Kemudian Yogyakarta. Dan dari sana akan kembali ke pertapaannya di kaki Gunung Lawu di Dusun Karangpandan. Di Desa Bandangan ia berhenti di sebuah kedai kopi. Seharian dia kehujanan, dan pakaiannya basah kuyup. Meskipun tubuhnya kuat perkasa, tapi lambat-laun dingin air meresap ke kulit dagingnya. Gntuk menghangatkan tubuh, e perlu minum kopi barang segelas.
Hari telah menjadi gelap. Awan hitam datang berarak-arak. Ia mendekati tungku api sambil menenangkan pikiran. Kopinya diteguknya sedikit demi sedikit dan dinikmati selama mungkin.
Mendadak selagi memikirkan perjalanan yang akan ditempuhnya, terdengarlah bunyi kentungan tanda bahaya, la menegakkan kepala. Di jalan terjadilah suatu kesibukan, dampaklah kemudian dua orang polisi desa berlari-larian. Tertarik pada kesibukan itu lantas saja ia melompat ke jalan.
Ia adalah seorang pendeta bekas pendekar liar. Sejak muda gemar merantau dan berbuat , kebajikan untuk kepentingan umum. Ia benci Belanda dan menyatakan diri sebagai musuh utamanya. Karena kebenciannya itu, sering-kali ia membunuh orang-orang yang mau bekerja sama dengan Belanda. Lambat laun usianya kian menjadi tua, merubah peranannya sedikit demi sedikit, la berusaha mengendalikan diri. Akhirnya menjadi seorang pendeta sebagai penebus kesalahan-kesalahan yang lampau. Meskipun demikian hatinya yang penuh gejolak petualang tak gampang hilang dari perbendaharaan. Setiap kali melihat atau mendengar suatu peristiwa yang bertentangan dengan kepentingan umum, selalu saja ia usilan. Itulah sebabnya, begitu ia melihat kesibukan dan mendengar bunyi kentung tanda bahaya terus saja mengejar dua orang polisi desa tadi.
“Kentung tanda bahaya apa itu?” tanyanya.
“Terang sekali tanda bahaya kebakaran dan pembunuhan,” jawab polisi desa serempak.
“Di mana ada kebakaran dan pembunuhan?”
“Siapa yang tahu? Bunyi kentung dari arah barat.”
Mendapat keterangan” itu, bergegas ia kembali ke kedai membayar kopi. Ia masih mempunyai sisa uang perjalanan lima kelip. Kemudian pamit dan lari ke arah barat.
Di sepanjang jalan ia mencari keterangan. Tatkala sampai di Desa Kamarankan, terdengarlah suatu warta yang mengejutkan.
“Desa Karangtinalang menjadi lautan api. Enggak jelas, rumah siapa yang mula-mula terbakar.” Kata seorang polisi desa.
Hajar Karangpandan mempercepat langkahnya. Dengan cepat sampailah dia di batas Desa Karangtinalang. Benar saja, di sebelah oarat nampakiah api menjilat langit. Mendadak saja ia melihat salah seorang rombongan Banyumas yang telah dikenalnya dalam pertempuran tadi sore. Ia bekuk orang itu dan diseretnya ke tepi sawah.
“Apa yang telah terjadi?” desaknya. Orang u gemetaran ketika mengenal dirinya dart tak capat menjawab pertanyaan Hajar Karangpandan dengan cepat. Tahulah dia akibatnya, “etapi Hajar Karangpandan tak dapat diperlakukan menurut pertimbangannya. Dia mendesak lagi sambil memijat pundak. Orang itu berteriak kesakitan. Maka dengan terpaksa ia menerangkan malapetaka yang telah menimpa .eluarga Wayan Suage dan Made Tantre.
Seketika itu berubahlah wajah Hajar Karangpandan. Ia pucat bergetaran, karena sedih bercampur marah. Hatinya begitu menyesal dan lantas saja menjadi sesak. Ia tahu, kalau malapetaka itu terjadi akibat kedua pusaka sakti yang diberikan kepadanya.
“Siapa pemimpinmu? Gandi?”
“Gandi sudah mati terbunuh di tengah jalan.”
“Lantas siapa?”
“Kodrat. Orangnya tinggi jangkung, tapi banyak pula di antara kami yang berperawakan tinggi.”
“Sekarang dia di mana? Bilang?”
“Dia membawa seorang perempuan dan seorang anak.”
Mendidih darah Hajar Karangpandan. Ia tak dapat mengendalikan amarahnya. Dan tanpa ampun lagi. Orang itu dibantingnya mati ke tanah.
Bersambung...
No comments:
Post a Comment