Tuesday, February 5, 2013

MUHAMMAD NAFIS AL-BANJARI



Penganjur Aktivisme – Sufistik dari Banjar

Dalam deretan ulama Banjar, nama Muhammad Nafis al-Banjari tak kalah moncer dibanding Muhammad Arsyad al-Banjari. Kalau Muhammad Arsyad dikenal sebagai ahli syariat, maka Muhammad Nafis dikenal sebagai pakar ilmu kalam dan tasawuf. Dengan keilmuannya, ia berhasil menorehkan prestasi sebagai salah seorang ulama terkemuka Nusantara.

Nama lengkapnya adalah Muhammad Nafis bin Idris bin Husay al-Banjari. Tak banyak data yang mengungkap masa kecilnya. Diperkirakan, ia lahir sekitar 1148 / 1735 di Martapura, dari keluarga bangsawan Banjar. Ada juga yang menyebutkan kelahirannya pada 1160 H/1745M. Ini mengacu pada tahun penulisan kitab karangannya, “al-Durr al-Nafis, 1200H/1785M, sedang pada saat itu ia berusia sekitar 40 –an. Yang jelas, ia hidup sekurun dengan Muhammad Arsyad.


Sejak kecil, ia belajar ilmu agama dari para ulama setempat. Ia dikenal sebagai anak cerdas. Sebab itulah, sebagaimana Syekh Muhammad Arsyad, ia dikirim oleh Sultan Banjar untuk menimba ilmu di Mekkah. Keberadaannya di Mekkah diperkuat dengan penjelasannya sendiri dalam kitab “al-Durr al-Nafis : “Dia yang menulis risalah ini…yaitu Muhammad al-Nafis bin Idris bin al-Husayn..yang dilahirkan di Banjar dan hidup di Mekkah”.

Namun, tak diketahui dengan pasti, kapan ia berangkat ke Mekkah. Sebagian ahli berpendapat, masa belajar Muhammad Nafis tak jauh dari masa Muhammad Arsyad al-Banjari. Bahkan, para masyasyikh-nya juga kebanyakan sama, yakni Muhammad bin Abdul Karim al-Samman al-Madani, Muhammad al-Jauhari, Abdullah bin Hijazi al-SyarqWI AL-Mishry (syekh al-Azhar sejak 1207H/1794M), Muhammad Shiddiq bin Umar Khan (murid al-Sammani) dan Abdurrahman bin Abdul Aziz al-Maghribi.

Dari pars gurunya itu, Muhammad Nafis banyak belajar tasawuf. Sekian lama ia mematangkan pengetahuan dan lelaku tasawuf sampai ia diberi gelar kehormatan “Syekh Mursyid”. Dengan gelar itu, ia beroleh ijasah untuk mengajarkan dan membimbing ilmu tasawuf kepada orang lain. Pencapaian itu tentunya tak mudah dan instan, tapi membutuhkan waktu latihan dan perenungan yang sangat lama.

Sekian lama berada di Mekkah, ia akhirnya kembali ke Nusantara, diperkirakan pada 1210H/1795M. Saat itu yang memerintah di Banjar adalah Sultan Tahmidillah (Raja Islam Banjar XVI, 1778-1808M). Tapi, karena Nafis tak suka dekat dengan kekuasaan, ia memilih meninggalkan Banjar dan berhijrah ke Pakulat, Kelua, sebuah daerah yang terletak sekitar 125 km dari Banjarmasin. Alasan lain adalah pengembangan Islam di daerah sekitar Martapura dan Banjar sudah ditangani oleh Syekh Muhammad Arsyad.

Sedang daerah Kelua, termasuk daerah pedalaman, masih belum terjangkau oleh dakwah Islamiyah ulama Banjar. Dengan gigih, Muhammad Nafis mengenalkan Islam disana. Berkat kegigihannya, daerah itu kemudian menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Kalimantan Selatan. Juga menjadi daerah yang turut melahirkan para pejuang anti Belanda.

Dalam berdakwah, Muhammad Nafis dikenal sebagai sosok pengembang tasawuf yang andal. Meski di Banjar saat itu terjadi pertentangan antara kubu Muhammad Arsyad dengan Syekh Abdul Hamid Abulung yang didakwa sebagai pengembang ‘wujudiyyah’, dakwah tasawuf ala Muhammad Nafis berlangsung dengan lancar dan damai. Ini tak lepas dari corak tasawuf yang di usungnya, yakni “merukunkan” tasawuf sunni dan falsafi yang diposisikan secara diametral.

Ia juga tampak tak terikat dengan satu tarekat secara total. Sehingga, menurut pengakuannya sendiri, ia adalah pengikut tarekat Qadariyah, Syathariyah, Naqsabandiyah, Khalwatiyah, dan Sammaniyah. Keikutsertaan Muhammad Nafis dalam ragam tarekat Mu’tabarah itu seolah menunjukkan bahwa suluk menuju Tuhan bisa dilakukan lewat berbagai jalan, tak hanya mengandalkan satu jalan saja. Juga menunjukkan betapa pengetahuan tasawuf Muhammad Nafis sangatlah mendalam.

Ciri khas ajaran tasawuf Muhammad Nafis adalah semangat aktivisme yang kuat, bukan sikap pasrah. Ia dengan gamblang menekankan transendensi mutlak dan keesaan Tuhan sembari menolak determinisme fatalistik yang bertentangan dengan kehendak bebas. Menurutnya, kaum muslim harus aktif berjuang mencapai kehidupan yang lebih baik, bukan hanya berdiam diri dan pasrah pada nasib.

Sebab itulah, ajaran tasawuf ala Muhammad Nafis turut membangkitkan semangat masyarakat Banjar untuk berjuang lepas dari penjajah. Malah, konon, setelah membaca kitab karangannya, orang menjadi tak takut mati. Situasi ini jelas membahayakan Belanda, karena akan mengobarkan jihad. Tak heran kalau kemudian berbagai intrik dilakukan oleh Belanda untuk menghentikan ajaran Muhammad Nafis, mulai dari kontroversi ajaran, sampai pelarangan. Namun, dakwah Muhammad Nafis terus berlanjut sampai ia wafat.

Tak banyak karya yang ditinggalkannya. Namun, karya-karyanya senantiasa menjadi rujukan, tak hanya bagi kaum muslim Nusantara, tapi juga manca negara. Di antara kitabnya adalah “al-Durr al-Nafs fi Bayan Wahdat al-Af’al wa al-Asma’ wa al-Sirat wa al-Dzat”. Kitab itu membicarakan sufisme dan tauhid, menjelaskan maqam-maqam perjalanan (suluk) untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Corak tasawuf dalam kitab ini adalah kombinasi tasawuf Sunni dan Falsafi.

Kitab itu ditulis atas permintaan sahabat-sahabatnya ketika berada di Mekkah. Menurut penuturannya, ia menulis kitab itu untuk menyelamatkan para ‘salik’ (perambah jalan Tuhan) dari syirik khafi dan penyakit riya’ yang umum menghinggapi umat muslim. Kitab itu ditulis dalam bahasa Melayu Arab untuk memudahkan umat membaca dan memahaminya. Karena mutu dan ajarannya yang tinggi, kitab itu dicetak berkali-kali, baik di dalam maupun di luar negeri.

Kitab lain adalah “Majmu’ al-Asrar li Ahl Allah al-Athyar” yang juga berisi tentang ajaran tasawuf.

Sebagai penganjur aktivisme-sufistik, kontribusi Muhammad Nafis al-Banjari dalam membangun Islam di Banjar sangatlah besar. Ak aneh kalau kemudian ia diberi gelar “Maulana al-Allamah al-Fahhamah al-Mursyid ila Tariq as-Salamah” (Yang mulia, berilmu tinggi, terhormat, pembimbing ke jalan kebenaran) sebagai bentuk penghormatan masyarakat atas jasa-jasanya. Menimbang pencapaian dan prestasinya, gelar itu memang tak berlebihan baginya.


No comments:

Post a Comment