Nikmat yang tak jauh berbeda dengan nikmat indera melihat, mendengar, mencium, dan meraba, adalah mengecap. Sungguh karunia yang tiada terkira dan susah dibahasakan oleh lisan kita. Kita merasakan manis, pahit, getir, asam, asin, pedas, kesat, empuk, pulen, dan hambar, melalui jaringan syaraf yang terdapat pada lidah kita dari ujung ke ujung. Daging yang tak bertulang, lunak, elastis, basah, dan berliur ini, memiliki struktur dan sifat yang sangat sempurna. Mahasuci Allah atas segala ciptaan-Nya.
Alangkah hinanya diri kita jika tak mampu mensyukuri karunia Allah yang setiap saat kita gunakan itu. Agar kita tidak menjadi hamba yang ingkar dengan nikmat-Nya, sudah sepatutnya kita membangkitkan kesadaran kita untuk mengecap, mengenal, mengerti, memahami, dan meyakini keberadaan dan kekuasaan Allah melalui indera ini.
Pertama ; mengecap. Meskipun kita setiap hari makan dan minum, belum tentu kita mampu menggunakan dan memanfaatkan indera pengecapan kita secara baik. Kita jarang sekali mengecap makanan dan minuman dengan kesadaran indera. Kita hanya terjebak pada rutinitas makan dan minum tanpa merasakan setiap kecap kenikmatan rasa. Cobalah ajak lidah kita untuk menikmati makanan dari mulai makanan masuk melalui mulit, dan bersentuhan dengan lidah. Ajaklah bagaimana rasanya lidah bekerja menyerap, mengecap, dan mersakan jenis makanan.
Kedua ; mengenal. Untuk mengenal rasa manis saja, kita tak sanggup untuk mengurai begitu banyak berbagai macam jenis rasa manis. Bayangkan, rasa manis antara buah yang satu dengan yang lain saja, kita tak sanggup menjelaskan. Kita hanya bisa mersakan dan membedakan dengan indera, tapi tak mampu menjelaskan dan membahasakan apa manis itu. Kadar manis yang dimiliki antara buah sejenis saja kita tak sanggup, apalagi buah yang berbeda. Oleh karena itu, seringkali kita menggunakan jenis manis itu sesuai dengan bendanya, misalnya seperti manis madu, manis gula merah, manis gula pasir, manis buah mangga, dan sebagainya. Meskipun berjuta-juta rasa manis yang tersebar pada jenis makanan dan minuman, tetapi berjuta-juta kali pula kita hanya mampu membedakan jenisnya tanpa bisa kita menguraikan bagaimana rasanya secara jelas.
Ketiga ; mengerti. Pernahkah kita mencoba mengerti daimana sebenarnya rasa manis itu berasal?. Bukankah ilmu pengetahuan tak cukup mengurai asal usul rasa manis. Mungkin fisiologi modern mampu mendeteksi saraf sebelah mana yang merespons rasa manis, tapi kapan dan mengapa rasa manis itu hadir dan dimiliki oleh makhluk bernama manusia, pasti kita tak cukup ilmu untuk menjawabnya. Jika jiwa seseorang terlalu sombong untuk mengerti hal ini, selamanya ia tak akann pernah mengerti apa maksud Allah memberi raasa manis. Malaikat yang kita anggap hebat saja tak mungkin dapat merasakan apa rasa manis itu. Kesadaran tentang pengertian indera pengecapan mestinya menyadarkan kita tentang arti sebuah rasa bagi manusia.
Ke-empat ; memahami. Seseorang yang sudah mampu mamahami betapa hebat indera pengecap nya, pasti ia tak akan ragu untuk mengajak jiwanya untuk bersyukur atas nikmat dan anugerah yang diberikan Allah kepadanya. Orang yang mengaku telah memahami apa itu indera pengecapan, tentu akan mudah memahami apa maksud penciptaan indera itu untuk dirinya. Mengabaikan dan menyia-nyiakan begitu saja ciptaan Allah berarti telah mengingkari nikmat-Nya.
Kelima ; meyakini. Jika kita sudah mampu mengecap, mengenal, mengerti, dan memahami apa itu manis, pahit, getir, asam, asin, pedas, dan hambar, dalam kesadaran indera, maka ajaklah jiwa kita untuk meyakni dengan sepenuh keyakinan (haqqul yaqin) bahwa Allah-lah yang menciptakan dan menganugerahkan nikmat itu untuk kita. Apakah tidak cukup bukti tentang kekuasaan Allah, meskipun kita setiap hari mengecap rasa dalam makan dan minum kita?. Bukankah sepiring gado-gado yang kita makan dalam santap siang bisa menjadi saksi keagungan Allah?.
Bermacam-macam rasa kita kecap dari sesendok gado-gado. Pedas, manis, asin, asam, bersatu dalam cipta rasa yang menggugah selera. Kadang pedas menendang bibir dan lidah kita. Kadang rasa manis muncul dan disambut rasa asam dan asin dengan komposisi yang menyegarkan, menggiurkan, dan mencipta rasa nikmat dan mengenyangkan. Gado-gado itu masuk ke mulut, dikunyah dengan bantuan gigi dan lidah, lalu masuk ke tenggorokkan, dan perlahan-lahan masuk keruang pencernaan di dalam perut, dicerna mennjadi energi bagi tubuh. Apakah kita ragu dengan keyakinan kita?. Jika ragu, cobalah kita ciptakan indera pengecap sendiri, dan ciptakanlah rasa yang berbeda dari rasa dan indera pengecap yang pernah diciptakan Allah sebelumnya. Bukankah segala sesuau telah lengkap tercipta untuk kita. Kita hanya mampu meracik, membuat komposisi dan formula, serta mengubah dari zat satu ke zat yang lain, namun kita tak sanggup menciptakan zat, indera pengecap, dan rasa dengan bahan yang kita ciptakan sendiri.
Dari bermacam-macam indera yang kita uraikan tadi di atas, dan hasil penangkapan dengan penghayatan cipta rasa, akhirnya menyentuh rasa gembira dan bahagia, sedih, dan duka terekspresi oleh pancaran wajah. Menjadikan arti indera dan seluruh rasa memuncak pada sikap syukur yang begitu kuat pada Sang Pencipta itu sendiri, yaitu Allah, tuhan Semesta Alam.
Dikutip dari buku “Ya Allah, izinkan aku mengenal-Mu”
Penulis : Mas Gun.
No comments:
Post a Comment